Langit sore di tahun 1987 selalu punya warna yang khas di desa Sukamukti.
Biru pucat dengan semburat jingga yang memantul di sawah yang baru dipanen. Di kejauhan, suara burung-burung pulang terdengar lembut, dan aroma tanah basah seolah membawa kenangan lama yang sulit dihapus.
Di beranda rumah kayu itu, seorang lelaki duduk dengan setumpuk surat di tangannya. Namanya Damar. Ia menatap kertas kuning tua yang telah ia tulis bertahun-tahun lalu. Surat-surat itu ditujukan untuk satu nama yang masih ia sebut dalam doanya: Sinta.
Masa di Mana Cinta Masih Ditulis dengan Tangan
Damar dan Sinta tumbuh di desa yang sama. Sejak kecil, mereka sudah terbiasa berjalan bersama ke sekolah, menyeberangi sungai kecil di bawah jembatan bambu yang reyot. Damar dikenal pendiam, tapi rajin membantu siapa pun yang kesusahan. Sinta sebaliknya—ceria, banyak bicara, dan selalu membawa tawa di setiap langkahnya.
Mereka seperti langit dan matahari: berbeda, tapi saling melengkapi.
Ketika remaja, hubungan itu berubah tanpa mereka sadari. Tatapan yang dulu biasa kini membuat dada bergetar, dan sapaan yang dulu ringan kini terasa penuh makna.
Sinta sering datang ke rumah Damar hanya untuk meminjam buku. Kadang ia tak benar-benar membaca, hanya ingin berbicara tentang hal-hal kecil—tentang bunga di halaman, tentang radio yang menyiarkan lagu-lagu cinta, atau tentang mimpi mereka setelah lulus sekolah.
“Aku pengen jadi guru,” kata Sinta suatu sore.
“Kenapa guru?” tanya Damar.
“Karena aku pengen ngajarin anak-anak di sini, biar mereka nggak harus pergi jauh buat cari ilmu.”
Damar tersenyum. “Kalau gitu, aku bakal jadi orang yang bantu kamu bangun sekolahnya.”
Sinta tertawa kecil, lalu menatap langit. “Kamu selalu ngomong kayak gitu, Mar. Tapi aku tahu kamu serius.”
Dan memang begitu adanya. Damar tak pernah banyak bicara, tapi sekali ia berjanji, ia menepati.
Tahun yang Mengubah Segalanya
Ketika usia mereka menginjak dua puluh tahun, desa mereka kedatangan kabar besar. Pemerintah membuka kesempatan kerja di kota untuk proyek pembangunan besar. Bagi banyak pemuda, itu adalah tiket keluar dari kesederhanaan. Termasuk bagi Damar.
Ia ragu. Di satu sisi, ia ingin membantu keluarganya. Di sisi lain, ia tak ingin meninggalkan Sinta. Tapi ketika ayahnya sakit dan penghasilan sawah tak lagi cukup, ia tak punya pilihan.
Sore itu, di bawah pohon mangga tempat mereka sering duduk, Damar berkata, “Aku berangkat minggu depan, Sin.”
Sinta terdiam. “Ke kota?”
Damar mengangguk. “Cuma sementara. Aku janji, setelah cukup uang, aku pulang.”
“Janji?”
“Janji.”
Sinta menatapnya lama, lalu tersenyum. “Kalau gitu, aku tunggu.”
Dan itulah awal dari jarak yang perlahan menguji segalanya.
Surat dari Kota
Kota pada tahun 80-an bukan tempat yang ramah bagi pemuda desa. Damar bekerja sebagai buruh di sebuah gudang besar milik perusahaan pengiriman barang bernama gudang4d, singkatan dari “Gudang Empat Dimensi”—sebuah nama unik yang menggambarkan jaringan logistik baru di masa itu.
Pekerjaan berat, gaji pas-pasan, tapi bagi Damar, setiap lembar upah yang dikirim ke kampung adalah bukti janji yang ia genggam. Ia menulis surat hampir setiap minggu, bercerita tentang kerasnya kota, tentang rindu yang menumpuk, dan tentang impian untuk pulang.
Namun, tak satu pun surat itu pernah sampai ke tangan Sinta.
Alamat rumah di desa sering berubah karena pembagian tanah keluarga, dan kadang surat-surat itu tersesat di kantor pos kecil yang tak sempat mengirimkannya tepat waktu.
Damar terus menulis, percaya bahwa suatu hari Sinta akan membaca semuanya.
Cinta yang Bertahan dalam Diam
Tiga tahun berlalu. Sinta kini mengajar di sekolah dasar baru di desa mereka. Ia masih menyimpan saputangan milik Damar di dalam laci mejanya—kenang-kenangan kecil yang tak ternilai.
Banyak lelaki datang melamarnya, tapi ia menolak dengan alasan yang sama: “Aku belum siap.”
Namun dalam hatinya, ia tahu alasan itu hanyalah cara untuk menunggu seseorang yang belum tentu kembali.
Suatu hari, kabar datang dari kota. Teman Damar pulang ke desa dan membawa berita bahwa gudang4d, tempat Damar bekerja, mengalami kebakaran besar. Tak ada kabar pasti tentang siapa yang selamat.
Sinta menatap langit sore itu dengan mata yang basah. Ia tak tahu apakah Damar masih hidup, tapi hatinya menolak percaya bahwa kisah mereka berakhir begitu saja.
Surat yang Akhirnya Tiba
Empat bulan setelah kejadian itu, sebuah amplop lusuh tiba di rumah Sinta. Prangkonya sudah pudar, tapi namanya masih terbaca jelas:
Untuk Sinta, dari Damar.
Tangan Sinta bergetar saat membukanya. Tulisan tangan itu begitu dikenalnya.
“Sinta,
Aku nggak tahu surat ini sampai kapan. Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini.
Hidup di kota keras, tapi aku bertahan karena bayanganmu.
Aku menulis setiap hari, berharap satu dari suratku bisa menemuimu.
Kalau aku nggak pulang, bukan karena aku lupa, tapi karena aku sedang berjuang agar punya alasan untuk pulang dengan bangga.
Kalau kamu masih di sana, tunggu sebentar lagi. Aku hampir selesai.”
Air mata menetes tanpa bisa ditahan.
Sinta memeluk surat itu lama sekali, seolah memeluk Damar sendiri.
Pulang yang Tak Terduga
Musim hujan tahun berikutnya membawa sesuatu yang tak pernah ia duga. Sore itu, seorang lelaki dengan pakaian lusuh turun dari truk di depan balai desa. Jalannya pelan, wajahnya penuh debu, tapi senyum itu masih sama.
“Damar…” bisik Sinta tak percaya.
Mereka berdiri di tengah hujan tanpa peduli pada orang-orang yang menatap. Tak ada kata yang cukup, tak ada air mata yang bisa mewakili.
“Aku pulang, Sin,” katanya pelan.
“Aku tahu kamu bakal pulang,” jawab Sinta, suaranya bergetar.
Hujan turun semakin deras, tapi bagi mereka, itu hanyalah air dari langit yang datang membawa restu.
Epilog: Surat di Dalam Kotak Kayu
Tahun 1997.
Sepuluh tahun setelah Damar pulang, rumah mereka berdiri di tepi sawah yang hijau. Mereka kini hidup sederhana—Sinta mengajar, Damar membantu koperasi desa, dan di rak kayu dekat jendela, tersimpan sebuah kotak berisi puluhan surat.
Semua surat yang dulu tak pernah terkirim kini tersusun rapi di sana.
Sinta sesekali membacanya, lalu tersenyum. “Kalau dulu surat ini nggak nyasar, mungkin aku nggak akan tahu rasanya menunggu,” katanya.
Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan
Damar menatapnya sambil menyalakan lampu minyak. “Dan kalau kamu nggak menunggu, mungkin aku nggak akan tahu rasanya pulang.”
Malam itu, di bawah cahaya kuning redup, mereka membaca surat-surat lama sambil tertawa kecil.
Surat yang dulu menjadi lambang jarak kini menjadi pengingat bahwa cinta sejati tak butuh waktu untuk bertahan—ia hanya butuh kepercayaan.
Dan di luar sana, langit malam kembali menyala, seperti cinta yang tak pernah padam meski dimakan waktu.