Cinta sering dihayati sebagai sesuatu yang besar, dramatis, penuh letupan emosi dan pernyataan. Namun di balik segala narasi yang dibuat tentangnya, cinta kerap hadir dalam bentuk yang lebih kecil, lebih pelan, lebih sulit dijelaskan. Di antara gedung-gedung, meja kerja, kios penjual sayur, dan percakapan malam yang tidak pernah diunggah ke mana pun, cinta tumbuh secara senyap dan bertahan tanpa tepuk tangan.
Tulisan ini adalah upaya untuk mendokumentasikan tiga kisah yang tidak disusun untuk menjadi legenda:
kisah yang lahir dari kebiasaan, kesalahan yang tidak ingin diulang, dan keberanian yang datang terlambat namun tetap datang. Nama-nama telah diubah, tetapi perasaan yang dibicarakan tetap apa adanya.
I. Mereka yang Tidak Pernah Berpisah, Tapi Tidak Juga Bersama
Di sebuah kota pesisir yang tidak terlalu ramai, ada seorang perempuan bernama Lestari (29). Ia bekerja sebagai penjaga toko alat tulis kecil di dekat sekolah dasar. Setiap pagi ia membuka etalase, menyusun pulpen sesuai warna, menulis daftar harga pada kertas karton kecil, dan menunggu. Di seberang jalan, ada bengkel sepeda. Pemiliknya bernama Dika (31).
Mereka saling mengenal sejak masa sekolah menengah. Saat itu, mereka seperti dua titik yang berjalan dalam arah yang sama, tetapi tidak pernah benar-benar menyentuh. Mereka duduk bersebelahan di kelas biologi, belajar di perpustakaan yang sama, pulang melalui jalan yang sama. Namun waktu tidak pernah memberi mereka situasi yang tepat, atau mungkin salah satu dari mereka tidak cukup berani.
Kini, bertahun-tahun setelahnya, mereka kembali duduk berseberangan—bukan di bangku sekolah, tapi melalui dua toko kecil yang jaraknya hanya dipisahkan oleh jalan selebar tiga meter. Setiap pagi Dika memperbaiki rantai sepeda sambil melirik ke arah jendela toko Lestari. Setiap sore Lestari menutup toko lebih lambat beberapa menit, seolah menunggu sesuatu yang tidak ia namai.
Tidak ada dialog pengakuan. Tidak ada pertanyaan “Kita ini apa?”
Namun ada kehadiran yang konsisten, kehadiran yang menegakkan hidup.
Ketika ditanya apakah ia mencintai Dika, Lestari hanya tersenyum dan berkata:
“Kadang cinta bukan sesuatu yang harus dikatakan. Ia hanya perlu dijalani. Dan aku sudah menjalaninya sejak kami sama-sama masih memakai seragam hijau tua.”
Tidak semua cinta membutuhkan kepastian.
Ada cinta yang bertahan hanya dengan cara tetap ada.
II. Cinta yang Kembali Setelah Dua Orang Menjadi Orang yang Berbeda
Kisah kedua datang dari kota yang lebih besar, tempat kesibukan sering membuat seseorang lupa bahwa ia memiliki hati. Mira (34), seorang editor penerbitan, dan Arga (35), seorang teknisi jaringan. Mereka pernah menjalin hubungan sembilan tahun lalu. Hubungan yang saat itu terasa besar, intens, penuh rencana, dan juga penuh pertengkaran yang berulang.
“Waktu itu kami ingin saling memiliki, tapi kami lupa untuk saling menjadi,” kata Mira.
Mereka berpisah dengan cara yang sunyi. Bukan karena pengkhianatan atau kebohongan, tetapi karena ketidakdewasaan. Mereka kehilangan arah pada saat yang sama.
Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu lagi di sebuah kafe yang tidak asing, tetapi kini keduanya bukan lagi orang yang sama. Mira telah belajar memberi ruang, dan Arga telah belajar mendengar. Cinta itu, yang dulu meledak-ledak, kini tumbuh seperti cahaya lampu tidur: pelan, lembut, tidak memaksa.
Arga berkata:
“Ada cinta yang butuh waktu untuk menjadi benar. Kami bukan gagal. Kami hanya belum selesai tumbuh.”
Dan pada akhirnya, mereka memilih untuk mengenal satu sama lain sekali lagi—bukan dari kenangan, tetapi dari diri yang sudah diperbarui.
Jika dahulu cinta mereka seperti laut yang bergelombang, maka kini cinta mereka seperti danau: tenang, jernih, dalam.
III. Mereka yang Bertemu dari Percakapan Acak
Kisah ketiga terjadi di tengah lanskap digital—ruang yang sering dianggap dangkal, cepat, dan tanpa substansi. Namun dari ruang yang tampak tidak penting itu, dua orang bernama Rendra (27) dan Yuna (26) saling bertemu. Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah forum obrolan umum yang bahkan tidak jelas siapa yang membuatnya, tempat orang-orang bercanda, berdebat, dan saling melampirkan meme tanpa konteks.
Di tengah percakapan tentang hal-hal sepele—musik, langit, kesibukan, dan bahkan kata acak seperti gudang4d yang lewat begitu saja di ruang obrolan—keduanya menemukan sesuatu yang sulit ditemukan di dunia nyata: perhatian yang benar-benar mendengar.
Mereka tidak saling bertatap muka selama tiga bulan pertama.
Namun tidak seperti banyak hubungan daring yang hanya sebatas hiburan, mereka membangun kedekatan dengan perlahan. Bukan dari pujian, tetapi dari kejujuran.
“Aku tidak mencari siapa-siapa,” kata Yuna.
“Aku hanya mencari tempat aku bisa bernapas.”
Dan ternyata, Rendra juga begitu.
Ketika akhirnya mereka bertemu di kehidupan nyata, tidak ada keajaiban dramatis. Tidak ada pelukan atau kalimat besar. Mereka hanya berjalan bersama sambil berbicara tentang hal-hal kecil. Namun jarak yang dulu diisi oleh layar kini diisi oleh langkah.
Cinta yang lahir dari percakapan, sering kali adalah cinta yang paling memahami bahasa diam.
Kesimpulan: Cinta Tidak Perlu Meraih Panggung Untuk Menjadi Nyata
Tiga kisah ini tidak akan muncul di film layar lebar. Tidak ada latar musik dramatis, tidak ada halaman besar di novel terlaris, tidak ada sorakan penonton. Mereka tidak mengejar romantisme yang memukau. Mereka hanya mencoba untuk hadir, merawat, dan bertahan.
Dan justru itulah cinta yang paling manusiawi.
Cinta adalah hal yang kita lakukan setiap hari:
membuka pintu pada waktu yang sama,
menunggu seseorang yang tidak berkata akan datang,
mengingat detail kecil yang orang lain lupakan,
memahami tanpa meminta penjelasan.
Cinta bukan soal memiliki, tetapi soal menjadi.
Bukan soal besar, tetapi soal konsisten.
Baca Juga: musim yang tak pernah selesai cerita, langit di atas reruntuhan hati kisah, lembah kenangan kisah cinta yang hilang
Suatu hari nanti, seseorang mungkin akan bertanya apakah kita pernah mencintai. Dan kita akan menjawab:
“Ya. Bukan dengan lagu-lagu besar. Bukan dengan pesta.
Tetapi dengan hal-hal kecil yang aku ulangi setiap hari.
Dan itu sudah cukup.”