Surat Pertama
Kepada seseorang yang pernah menjadi rumahku,
Aku menulis ini bukan untuk meminta kamu kembali, juga bukan untuk menjelaskan mengapa aku bertahan begitu lama dalam penantian yang mungkin tak pernah memiliki jawaban. Aku hanya ingin mencatat apa yang pernah kita lalui, sebelum kenangan menjadi terlalu kabur untuk tersentuh.
Waktu itu—kita terlalu muda untuk memahami apa yang sedang kita genggam. Kita mengira cinta adalah nyala api yang harus terus kita jaga agar tidak padam, padahal cinta, pada dasarnya, adalah air yang mengalir. Ia mengikuti bentuk wadahnya, mengikuti arah yang diberikan oleh waktu dan keadaan.
Aku ingat, kita sering berjalan tanpa tujuan. Hanya memutari kota yang kita kenal luar-dalam, seolah jarak yang pendek sudah cukup untuk membuat kita merasa memiliki dunia yang lengkap. Kita duduk di bangku taman yang catnya mulai mengelupas. Kita bicara tentang masa depan, tapi sebenarnya kita tidak benar-benar tahu apa itu masa depan. Kita hanya menyebutnya seperti sebuah bayangan yang akan datang entah kapan.
Baca Juga: surat yang tak pernah kukirim tentang, dalam diam yang sama cinta yang kembali, setelah hujan reda cinta yang belajar
Aku menyukai tatapanmu ketika kamu berpikir. Ada sesuatu yang begitu hidup di sana, meskipun kamu selalu terlihat tenang. Aku menyukai caramu diam, karena diam bersamamu tidak pernah terasa sunyi. Kamu adalah rumah pada masa ketika aku bahkan belum tahu bagaimana mendefinisikan rumah.
Namun waktu berjalan, dan seperti yang selalu terjadi, hidup meminta kita untuk memilih jalan yang berbeda. Kita tidak bertengkar. Kita tidak berpisah dengan cara yang menyakitkan. Kita hanya berhenti berjalan ke arah yang sama.
Dan di situlah semuanya berubah.
Aku masih sering bertanya-tanya apakah kita bisa memilih lebih baik. Tapi aku belajar, penyesalan adalah bentuk lain dari rasa sayang yang tidak menemukan tempat untuk kembali.
Hari ini, aku menulis bukan untuk menghidupkan apa yang telah lama berlalu. Aku menulis hanya untuk mengingat bahwa aku pernah mencintaimu dengan tulus, tanpa syarat, tanpa syarat apa pun selain ingin melihatmu bahagia, meski itu bukan denganku.
Semoga kamu baik, di manapun kamu berada.
R.
Surat Kedua
Untuk diriku sendiri,
Aku menulis surat ini karena mungkin aku yang paling sering aku abaikan. Aku terlalu sibuk mencintai orang lain sampai lupa bahwa aku juga membutuhkan diriku sendiri. Aku sering menunggu pesan yang tidak datang, menahan kata-kata yang ingin terucap, berharap seseorang membaca diamku seperti aku membaca diam mereka.
Aku lupa bahwa aku pantas didengar.
Ada hari-hari di mana aku bertanya apakah aku terlalu keras mencintai. Atau justru terlalu takut untuk jujur. Namun pelan-pelan aku belajar bahwa rasa sakit bukan tanda kelemahan, tapi bukti bahwa perasaan ini pernah begitu hidup.
Aku mulai mencoba melakukan hal-hal sederhana. Seperti membuat sarapan untuk diriku sendiri, bukan untuk seseorang. Seperti membeli bunga bukan karena ada orang yang harus kuhadiahi, tetapi hanya karena aku ingin sesuatu yang indah berada di meja makan. Seperti berjalan tanpa menunggu seseorang menemani. Seperti duduk di kafe dan menikmati waktu tanpa paksaan untuk terlihat bahagia.
Kuharap diriku sendiri suatu hari mengerti bahwa mencintai tidak perlu selalu berarti memiliki. Aku boleh merindukan seseorang tanpa harus kembali padanya. Aku boleh mengenang tanpa harus membuka luka.
Aku masih belajar. Namun aku mulai mengerti.
Terima kasih, diriku, karena masih bertahan.
R.
Surat Ketiga
Kepada seseorang yang baru hadir dalam hidupku,
Aku menyadari sesuatu ketika pertemuan kita tidak lagi terasa kebetulan. Kamu hadir bukan dengan gebrakan, bukan dengan kata-kata yang dibuat indah, bukan dengan janji yang menggema. Kamu hadir perlahan, seperti pagi yang tidak memaksa malam pergi semuanya sekaligus.
Kamu tidak bertanya tentang masa laluku, dan aku tidak memintamu menceritakan seluruh hidupmu. Kita hanya berbicara tentang hal-hal kecil yang membuat dunia tetap berjalan. Tentang kopi yang terlalu pahit, tentang buku yang terlalu menyentuh, tentang hujan yang turun terlalu lama. Obrolan sederhana, tapi cukup untuk membuatku merasa bahwa kehadiranmu membuka ruang yang sebelumnya terkunci.
Kadang kita bertemu secara daring, dalam percakapan acak yang tidak kita rencanakan. Nama-nama seperti gudang4d atau ruang-ruang lain yang penuh orang lalu-lalang membuat percakapan kita terlihat seolah hanya kebetulan. Tapi aku mulai percaya bahwa beberapa kebetulan membawa arah.
Aku tidak tahu apa yang sedang tumbuh ini. Aku tidak ingin tergesa-gesa memberi nama. Aku hanya ingin kita berjalan, tanpa harus menuntut bentuk apa yang harus dicapai.
Jika kamu datang untuk tinggal, aku akan memberi ruang.
Jika kamu datang hanya sebagai perhentian sementara, aku akan menghargainya.
Karena kali ini, aku tidak ingin memaksa apa pun.
Aku hanya ingin merasakan kehadiran yang tulus.
R.
Surat Keempat
Untuk cinta yang mungkin datang lagi suatu hari,
Jika kamu datang nanti, saat aku sudah lebih matang, saat hatiku sudah tidak lagi berlari mengejar atau mundur karena takut, aku harap kamu datang bukan sebagai sesuatu yang besar, tetapi sebagai sesuatu yang tenang.
Aku berharap kamu datang sebagai senyum kecil, bukan badai.
Sebagai langkah pelan, bukan gemuruh.
Sebagai seseorang yang juga telah belajar mencintai dirinya sendiri.
Kita akan berbicara seperti manusia, bukan seperti dua hati yang ketakutan.
Kita akan saling memberi ruang, tanpa harus menjelaskan setiap detik.
Kita akan memahami bahwa cinta bukan tentang memiliki kendali, tetapi tentang saling percaya.
Aku tidak tergesa.
Cinta akan datang ketika kita siap.
R.