Aku tidak pernah merencanakan perjalanan itu. Semua terjadi begitu saja, setelah hari-hari terasa terlalu sesak. Ada masa ketika rumah terasa asing, pekerjaan terasa seperti pengulangan tanpa ujung, dan waktu tidak benar-benar bergerak maju. Kala itu aku memutuskan pergi, tanpa menetapkan tujuan jelas. Aku hanya membawa tas kecil, buku catatan, dan kamera yang lensa depannya sudah tergores sedikit.
Kereta berangkat sebelum matahari terbit. Jendela dipenuhi embun, dan aku melihat pantulan wajahku sendiri tanpa benar-benar mengenal siapa yang kutatap. Ada bagian dari diriku yang aku tinggalkan, ada juga bagian yang terus ikut meski aku tidak memintanya.
Aku turun di sebuah kota kecil di dekat pegunungan. Tidak banyak orang yang datang ke sana. Kota itu tidak menawarkan pusat perbelanjaan atau objek wisata yang terkenal. Justru karena itu aku memilihnya. Aku ingin tempat yang tidak menuntut apa pun dariku.
Aku menginap di sebuah homestay sederhana dengan dinding kayu dan halaman kecil. Pemiliknya adalah perempuan tua ramah bernama Raras. Ia tidak banyak bertanya, dan aku bersyukur untuk itu. Ia hanya menunjukkan kamar yang akan kutempati, dapur yang boleh kugunakan, dan sebuah ruang penyimpanan kecil di ujung lorong yang diberi nama Gudang4D, entah kenapa.
"Mungkin dulu tempat itu punya empat pintu," kata Raras sambil tersenyum. "Atau mungkin dulu ada empat orang yang menyimpannya. Aku juga tidak tahu. Nama itu sudah ada sejak lama."
Aku hanya mengangguk. Bagiku, itu tidak penting. Tapi nama itu melekat di ingatanku tanpa alasan yang jelas.
Di halaman belakang homestay, ada satu bangku kayu di bawah pohon flamboyan. Dari sana pegunungan terlihat samar, tertutup kabut pagi. Aku sering duduk di sana, terkadang berjam-jam, hanya mendengarkan suara angin.
Hari ketiga aku bertemu dia.
Namanya Lila.
Ia menginap di kamar sebelahku. Awalnya aku hanya mendengar langkahnya di lorong, suara pintu terbuka dan tertutup, dan kadang suara buku yang ditutup pelan. Aku tidak tahu kenapa aku memperhatikan hal itu. Mungkin karena ia berjalan dengan ritme yang tenang, seolah tidak sedang mengejar apa-apa.
Pertemuan benar-benar pertama kami terjadi di dapur. Ia sedang membuat teh. Aku sedang menuang kopi.
"Air panasnya baru dimasak. Masih penuh," katanya tanpa menoleh.
Aku hanya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ada kesunyian yang nyaman sesudahnya.
"Kamu sedang berlibur?" tanyanya.
"Aku sedang berhenti," jawabku.
Ia menoleh sebentar, seperti memahami maksud yang tidak aku jelaskan.
"Kadang berhenti memang perlu," katanya.
Kami tidak bicara lagi. Tapi kalimat itu tinggal lama di kepalaku.
Baca Juga: cinta di hal-hal kecil, arsip hujan roman surat, pulang paling sunyi
Hari keempat, kami duduk bersama di halaman belakang, tanpa rencana. Aku sedang menulis catatan kecil. Ia sedang membaca. Tidak ada percakapan panjang, hanya sesekali saling bertukar komentar pendek tentang cuaca, daun yang jatuh, atau suara burung dari kejauhan.
Aneh rasanya bagaimana kedekatan bisa tercipta tanpa upaya. Tidak ada yang memulai, tidak ada yang menuntut.
Aku mulai mengetahui hal-hal kecil tentangnya. Lila bekerja sebagai editor lepas. Ia sering berpindah tempat untuk bekerja, katakanlah semacam nomaden modern. Ia datang ke kota ini lagi setelah bertahun-tahun, karena katanya ini tempat terakhir ia merasa damai.
"Dan kamu?" tanyanya suatu sore. "Kenapa kamu datang?"
Aku butuh waktu sebelum menjawab.
"Aku merasa tidak lagi mengenali hidupku."
Lila menutup bukunya. "Itu tidak selalu hal yang buruk."
"Tentu saja buruk," jawabku. "Bagaimana bisa hidup yang kita jalani setiap hari terasa seperti bukan milik kita?"
Lila tersenyum samar. "Karena kita tumbuh. Dan kadang, kita tumbuh menjauhi tempat yang dulu membuat kita nyaman. Tapi itu bukan kehilangan. Itu hanya perubahan."
Kata-katanya terasa seperti sesuatu yang pernah ingin kuucapkan, tetapi tidak menemukan bentuknya.
Sejak hari itu, kami menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Tidak pernah dengan kesepakatan. Hanya mengikuti aliran. Kami berjalan menyusuri jalanan berbatu, mengunjungi warung kecil, atau hanya duduk menunggu senja di bangku kayu yang sama.
Aku memperhatikan caranya melihat dunia. Ia melihat pelan, seolah memberi ruang bagi hal-hal kecil yang sering dilewati orang. Ia mengamati warna langit dengan sabar, mendengarkan suara jauh tanpa mencoba menafsirkannya, dan merasakan keheningan tanpa rasa canggung.
Aku mulai merasa hidupku bergerak lagi. Tidak cepat. Tidak tiba-tiba. Tapi ada sesuatu yang kembali tumbuh.
Namun tidak ada cerita yang tidak dipertanyakan oleh waktu.
Hari itu kami duduk di tepi bukit, memandangi lembah luas yang hijau. Angin membawa aroma tanah dan kayu basah. Senja hampir turun.
"Besok aku pergi," katanya.
Kalimat itu terjatuh begitu saja, seperti daun yang melepaskan diri dari cabangnya.
Aku tidak bertanya ke mana. Aku tidak bertanya kenapa. Aku hanya diam.
"Aku selalu pergi," lanjutnya. "Bukan karena aku ingin meninggalkan. Tapi karena aku tidak pernah bisa tinggal terlalu lama di satu tempat."
Aku menatapnya.
"Kamu menemukan apa yang kamu cari?" tanyaku.
Ia menatap pegunungan. "Belum. Tapi aku merasa aku sedikit lebih dekat."
Angin berhembus pelan.
"Kamu bisa tinggal," kataku, meski aku tahu jawabannya.
Lila menggeleng pelan. "Kalau aku tinggal sebelum aku siap, aku akan berubah menjadi seseorang yang bahkan aku tidak kenal. Dan aku tidak ingin memberi itu kepada siapapun."
Kami pulang tanpa banyak bicara. Di lorong, ia berhenti di depan pintunya.
"Terima kasih sudah duduk bersamaku," katanya.
Aku mengangguk. "Terima kasih sudah datang tepat saat aku berhenti."
Ia tersenyum. Senyum yang tidak meminta apa pun.
Keesokan paginya, ia pergi. Tidak ada pelukan. Tidak ada janji. Tidak ada kata sampai jumpa.
Hanya suara langkah yang menjauh.
Aku tetap tinggal beberapa hari lagi. Duduk di bawah flamboyan yang sama. Membiarkan hari berjalan. Di sudut lorong, pintu bertuliskan Gudang4D tetap tertutup. Seperti ruang yang menyimpan hal-hal yang tidak kita ungkapkan, tetapi tetap menjadi bagian dari kita.
Aku pulang beberapa minggu kemudian. Hidup masih sama. Tapi aku tidak lagi merasa asing pada diriku sendiri.
Aku belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki atau menetap. Kadang cinta adalah seseorang yang menemani kita untuk menemukan jalan kembali ke diri sendiri.
Dan beberapa pertemuan, meski singkat, tinggal jauh lebih lama dari yang kita kira.