Kota itu tidak pernah benar-benar tidur. Selalu ada lampu yang menyala, jalanan yang bernafas, dan langkah-langkah yang entah menuju ke mana. Di tengah hiruk pikuknya, ada sebuah kafe kecil di sudut jalan, hampir tidak terlihat kalau tidak benar-benar memperhatikannya. Kafe itu bernama Gudang4D.
Namanya terdengar aneh bagi yang baru mendengarnya. Namun bagi orang-orang yang pernah singgah, kafe itu seperti ruang bagi hal-hal yang tidak bisa diucapkan: percakapan yang tertunda, perasaan yang tak selesai, kenangan yang masih bernapas.
Di sana, kisah ini bermula — atau mungkin, kembali bernafas.
Mira masuk ke kafe itu pada suatu sore yang mendung, ketika langit tampak seperti menahan hujan yang tidak ingin jatuh. Ia hanya ingin mencari tempat untuk duduk, menghangatkan diri, dan memberi ruang pada pikirannya yang terlalu penuh. Ia memilih meja dekat jendela, seperti biasa. Dari sana, ia bisa melihat orang-orang lewat, dan membiarkan pikirannya mengembara tanpa batas.
Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka. Suara lonceng kecil tergantung di atas pintu berbunyi pelan.
Seseseorang masuk.
Raka.
Mira tidak langsung menoleh, tetapi tubuhnya merasakan kehadiran itu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan ketika seseorang yang pernah mengisi ruang besar dalam hidup kita tiba-tiba muncul lagi, tanpa aba-aba.
Raka melihat sekeliling. Lalu tatapannya berhenti pada Mira.
Ia mendekat.
"Kamu masih suka duduk di dekat jendela," katanya pelan.
Mira menutup buku yang tadi berpura-pura ia baca. "Dan kamu masih suka datang tanpa prasangka."
Raka tersenyum kecil. "Kamu keberatan kalau aku duduk?"
Mira tidak menjawab langsung. Tapi ia menggeser cangkirnya sedikit, memberi ruang. Itu sudah cukup untuk menjadi jawaban.
Raka duduk.
Keduanya terdiam selama beberapa detik yang terasa jauh lebih panjang. Kebisuan kadang bukan kekosongan. Ia bisa penuh. Terlalu penuh.
"Aku tidak menyangka kamu masih datang ke sini," kata Mira akhirnya.
"Aku juga tidak menyangka kamu masih mengingat tempat ini," jawab Raka.
Mira tertawa pelan, bukan karena lucu, tetapi karena ia tidak punya jawaban lain. "Tempat ini... tidak pernah benar-benar pergi."
Dan memang begitu adanya. Kafe itu adalah tempat mereka dulu duduk berjam-jam, ketika dunia terasa sederhana, ketika mereka yakin bahwa cinta saja sudah cukup untuk membuat segala sesuatu berhasil.
Raka memesan kopi hitam. Mira memesan cokelat panas. Sama seperti dulu.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Raka.
"Aku baik. Atau berusaha menjadi baik," jawab Mira.
Raka mengangguk. "Aku mengerti."
"Bagaimana denganmu?" giliran Mira bertanya.
Raka tertawa samar, bukan tawa bahagia, tetapi tawa seseorang yang menyadari bahwa hidup seringkali berjalan tidak seperti rencana.
"Aku berjalan. Tidak selalu lurus, tetapi berjalan." Ia mengaduk kopinya, lalu menatap Mira. "Ada banyak hal yang berubah. Tapi ada juga yang tetap."
Mira mengerti arah kalimat itu. Atau mungkin ia hanya ingin mengerti.
Mereka dulu bersama selama tiga tahun. Tiga tahun yang penuh awal dan akhir kecil, penuh ketidakpastian yang mereka pikir bisa mereka taklukkan. Tetapi hidup nyata tidak selalu mengikuti kemauan hati. Ada ambisi, ada jarak, ada mimpi yang tidak searah. Mereka berpisah bukan karena berhenti mencintai, tetapi karena sudah terlalu lelah berusaha tetap berada di tempat yang sama ketika kaki ingin melangkah.
"Kenapa kamu kembali ke kota ini?" tanya Mira akhirnya.
Raka menarik napas. "Karena aku sadar aku pergi terlalu cepat. Aku pikir meninggalkan semuanya akan membantuku menemukan apa yang aku cari. Tapi ternyata aku kehilangan hal-hal yang seharusnya aku jaga."
Mira menunduk. Kata-kata itu membuat hatinya bergerak, tetapi ia tetap hati-hati. Ia tidak ingin berharap pada sesuatu yang belum jelas bentuknya.
"Kamu datang untuk memperbaiki apa yang dulu rusak?" tanyanya, suaranya tenang, tetapi hatinya bergetar pelan.
Raka tidak menjawab dengan cepat. Ia menatap luar jendela, seperti mencari kata yang tepat di antara langkah orang-orang yang lewat.
"Aku datang untuk meminta maaf," katanya akhirnya. "Bukan untuk memulai lagi. Bukan untuk mengulang. Hanya... untuk menyelesaikan yang pernah tertinggal."
Kalimat itu membuat waktu seperti berhenti sejenak.
Mira mengangkat kepalanya, menatap Raka dalam-dalam. Bukan untuk mencari penyesalan, tetapi untuk mencari kebenaran.
"Aku sudah memaafkanmu," kata Mira pelan. "Sudah lama."
Raka terdiam. "Tapi kamu tidak lupa."
"Beberapa hal tidak dimaksudkan untuk dilupakan."
Suasana kafe terasa hangat. Bukan karena suhu, tetapi karena kejujuran yang tidak terburu-buru.
"Kita dulu mencintai dengan tergesa," kata Mira. "Seolah dunia akan berhenti jika kita tidak melakukannya sekarang juga. Kita lupa memberi ruang bagi diri kita sendiri."
Raka mengangguk. "Aku tahu."
Mira tersenyum tipis. "Sekarang kita berbeda. Kamu berjalan ke arahmu. Aku berjalan ke arahku. Dan tidak ada yang salah dengan itu."
Raka menatapnya lama. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa perasaan itu tidak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk."
"Perasaanku juga begitu," jawab Mira. "Tapi itu tidak berarti kita harus kembali menjadi sesuatu yang dulu."
Raka menunduk. Ada kelegaan di sana. Ada sedih juga. Tetapi itu adalah kesedihan yang lembut, yang tidak menuntut apa-apa.
Mereka menghabiskan minuman mereka. Tidak ada janji setelah itu. Tidak ada rencana bertemu lagi. Tidak ada keharusan apa pun.
Ketika mereka keluar dari kafe Gudang4D, hujan mulai turun. Tidak deras. Hanya rintik-rintik kecil yang jatuh pelan, seperti kenangan yang kembali tanpa meminta izin.
Raka berjalan ke kiri. Mira berjalan ke kanan.
Mereka tidak menoleh.
Namun keduanya tahu, beberapa cinta tidak perlu dimiliki untuk tetap berarti. Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajarkan bagaimana cara melihat diri sendiri dengan lebih utuh.
Dan cinta mereka adalah cinta yang sempat singgah — lalu pergi, tanpa benar-benar hilang.