Kepada seseorang yang pernah menjadi segalanya,
Aku menulis surat ini bukan untuk mengulang masa lalu,
melainkan untuk mengingat bahwa aku pernah hidup sepenuhnya — saat mencintaimu.
Sudah bertahun-tahun berlalu sejak kita terakhir berbicara. Waktu telah menenggelamkan banyak hal, tapi tidak semuanya. Ada sebagian diriku yang masih tersisa di tempat yang dulu pernah kita lewati, pada senja yang menyimpan tawa, pada hujan yang pernah kita hindari bersama.
Aku tidak tahu apa kabarmu sekarang. Aku tidak tahu apakah kamu masih suka memotret langit sore, atau masih menulis puisi di kertas kecil seperti dulu. Tapi aku tahu, di antara semua hal yang hilang, kenangan kita masih tersimpan dengan baik — meski bukan di tanganmu, melainkan di hatiku yang belum sepenuhnya belajar melupakan.
Ketika Waktu Masih Milik Kita
Aku masih ingat malam pertama kita bicara panjang — tentang hidup, mimpi, dan hal-hal kecil yang ternyata penting. Kamu bercerita tentang masa kecilmu, tentang ibumu yang suka menanam bunga, dan aku tertawa ketika kamu bilang tidak pernah bisa merawat apa pun, kecuali kenangan.
Lucunya, justru kenangan itu yang kini merawatku.
Aku mengingat suaramu, pelan tapi tegas. Aku mengingat caramu menatap dunia seolah kamu bisa melihat keindahan bahkan di tengah luka. Mungkin itu sebabnya aku jatuh cinta — bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu membuat dunia terasa lebih lembut.
Kita tidak pernah merencanakan cinta itu. Ia datang seperti musim hujan yang tiba lebih awal — mengejutkan, tapi hangat. Dan meski aku tahu setiap musim punya akhirnya, aku tidak pernah menyesal pernah berada di dalamnya.
Setelah Kepergianmu
Hari-hari setelah kamu pergi tidak mudah.
Ada banyak hal yang kupelajari, sebagian besar melalui rasa sakit. Aku belajar bahwa rindu tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya berubah bentuk. Kadang menjadi udara yang tiba-tiba sesak, kadang menjadi bayangan di antara langkah.
Aku mencoba melanjutkan hidup, tapi hidup ternyata tidak pernah sama. Aku berjalan di kota yang sama, melewati jalan yang sama, tapi tanpa kamu semuanya terasa asing.
Aku tidak marah pada waktu, dan aku tidak menyalahkan perpisahan.
Mungkin memang begitu caranya cinta mengajarkan kedewasaan:
bukan dengan memiliki, tapi dengan berani melepaskan.
Tentang Cinta yang Tak Selesai
Setelah bertahun-tahun, aku menyadari sesuatu.
Cinta kita tidak pernah benar-benar berakhir. Ia hanya berhenti tumbuh, tapi tidak mati. Ia bersembunyi di sela-sela kehidupan, diam-diam menjaga agar hatiku tidak membeku.
Ada orang baru yang datang, ada kebahagiaan lain yang tumbuh,
tapi setiap kali aku menatap senja, aku tahu kamu masih di sana — di antara warna jingga yang dulu kamu bilang “warna paling jujur dalam langit.”
Cinta yang seperti ini bukan untuk diperjuangkan, tapi untuk dikenang.
Ia tidak memerlukan janji, tidak memerlukan kepastian. Ia hanya memerlukan satu hal: keikhlasan.
Jika Aku Boleh Jujur
Aku masih sering bertanya pada diriku sendiri,
apa yang akan terjadi jika waktu dulu sedikit lebih sabar?
Jika kita sedikit lebih berani, atau sedikit lebih egois untuk tidak menyerah?
Tapi hidup bukan tentang pertanyaan “jika”. Hidup adalah tentang menerima bahwa beberapa hal memang ditakdirkan untuk indah sebentar, bukan untuk selamanya.
Dan meski aku tidak lagi menunggumu, aku masih berterima kasih pada takdir karena pernah mempertemukan kita — karena dari cintamu, aku belajar bagaimana mencintai tanpa syarat.
Gudang Kenangan
Sekarang, setiap kali aku menulis, aku seperti membuka kembali sebuah gudang kenangan.
Di dalamnya, ada tawa kita, ada air mata, ada keheningan panjang yang dulu terasa nyaman.
Mungkin begitulah cinta bekerja — ia tidak benar-benar pergi, hanya berubah menjadi bagian dari dirimu yang lain.
Aku menamakan gudang itu “Gudang4D” — bukan karena angka,
tapi karena di sana tersimpan empat dimensi kehidupan yang kita bagi:
doa, duka, damai, dan diam.
Doa — karena aku selalu mendoakanmu, bahkan ketika kamu sudah tidak di sisiku.
Duka — karena setiap perpisahan meninggalkan luka yang tidak kasat mata.
Damai — karena kini aku bisa mengenangmu tanpa rasa sesak.
Dan diam — karena kadang cinta paling murni hanya bisa disampaikan lewat keheningan.
Penutup: Tentang Memaafkan dan Mengikhlaskan
Mungkin kamu tidak akan pernah membaca surat ini.
Dan itu tidak apa-apa, karena aku menulisnya bukan untukmu, tapi untuk hatiku sendiri.
Agar aku bisa berdamai dengan masa lalu, agar aku bisa mengingatmu tanpa ingin kembali.
Jika suatu hari kita bertemu lagi, aku tidak akan bertanya kenapa kamu pergi.
Aku hanya akan tersenyum dan berkata,
“Terima kasih, karena pernah membuatku percaya pada cinta.”
Baca Juga: Surat yang tak pernah kukirim tentang cinta, dalam hening yang tidak pergi, langit di atas kita
Cinta kita tidak sempurna, tapi nyata.
Dan mungkin itu sudah lebih dari cukup.
Salam,
Seseorang yang Pernah Kamu Cintai dalam Diam