ADEGAN 1 — PAGI DI KAFE KECIL
(Suara hujan tipis. Musik lembut terdengar. Kamera menyorot DARA, 27 tahun, bekerja sebagai penulis lepas. Ia duduk di meja dekat jendela, laptop terbuka, wajahnya serius tapi tenang.)
NARASI (VO DARA):
Kafe ini bukan sekadar tempat kerja. Ini ruang di mana aku menulis, berpikir, dan… tanpa sadar, jatuh cinta.
(Pintu terbuka. ARYAN, 30 tahun, barista sekaligus fotografer amatir, masuk sambil membawa nampan berisi dua cangkir kopi.)
ARYAN:
Kamu selalu pesan cappuccino, tapi kali ini aku buatkan mocha. Katanya, perubahan kecil bisa bikin hari jadi menarik.
DARA (tersenyum):
Kamu sedang eksperimen, atau lagi menggoda pelanggan tetap?
ARYAN:
Sedikit dua-duanya.
(Tawa kecil. Kamera menyorot dua cangkir di meja — satu milik Dara, satu milik Aryan. Simbol awal pertemuan sederhana yang perlahan jadi rutinitas penuh makna.)
ADEGAN 2 — HARI-HARI YANG MENJADI BIASA
(Montase: Dara menulis, Aryan menyeduh kopi, keduanya saling menatap sekilas. Waktu berlalu — pagi berganti sore, hari berganti minggu.)
NARASI (VO DARA):
Awalnya, aku datang karena butuh tempat tenang. Tapi lama-lama, aku datang karena tahu dia ada di sini.
(Suatu sore, kafe sepi. Hujan deras di luar. Aryan duduk di hadapan Dara.)
ARYAN:
Kamu percaya nggak, kalau dua orang bisa saling memahami tanpa banyak bicara?
DARA:
Percaya. Tapi biasanya, salah satu dari mereka akan mulai takut duluan.
ARYAN:
Takut kenapa?
DARA:
Takut kalau ternyata bukan cinta, cuma kebiasaan.
(Keheningan panjang. Kamera fokus pada jari-jari Aryan yang mengetuk meja. Hujan semakin deras.)
Baca Juga: Surat yang tak pernah kukirim tentang cinta, dalam hening yang tidak pergi, langit di atas kita
ADEGAN 3 — RUTINITAS YANG MULAI RETAK
(Beberapa bulan kemudian. Kafe ramai. Dara datang, tapi meja langganannya kosong. Aryan tidak terlihat. Barista lain melayani pesanan.)
BARISTA:
Aryan sedang keluar kota, Mbak. Ada tawaran kerja fotografi di Bali, mungkin agak lama.
NARASI (VO DARA):
Kadang, yang paling menyakitkan bukan perpisahan… tapi tidak sempat berpamitan.
(Dara menatap kursi kosong. Musik melambat.)
ADEGAN 4 — SURAT DARI BALI
(Dara di rumah. Ia menerima amplop berisi kartu pos. Foto pantai, dengan tulisan tangan di belakangnya.)
NARASI (DARA membaca surat):
“Bali indah, tapi rasanya sepi. Mungkin karena aku terbiasa melihat kamu setiap pagi, bukan laut. Aku tidak tahu kapan kembali, tapi kalau kamu datang ke kafe itu lagi, pesan mocha, ya. Itu kopi favoritku — karena kamu yang pertama kali suka.”
(Dara menatap foto itu lama. Kamera menyorot tumpukan naskah di meja. Ia mulai menulis sesuatu di laptop.)
ADEGAN 5 — TAHUN BERGANTI
(Setahun kemudian. Kafe yang sama, kini dengan desain baru. Dara duduk di kursi lamanya. Ia menatap sekitar, ada wajah-wajah baru, tapi aroma kopi tetap sama.)
NARASI (VO DARA):
Lucu ya, waktu bisa mengubah tempat, tapi tidak mengubah rasa.
(Suara pintu terbuka. Aryan masuk, sedikit lebih tua, membawa kamera di leher.)
ARYAN:
Kamu masih di sini.
DARA (tersenyum tipis):
Dan kamu masih suka terlambat.
(Mereka tertawa. Kamera mengambil close-up wajah keduanya. Ada kehangatan yang sama, tapi juga jarak yang tidak bisa dijelaskan.)
ARYAN:
Aku pikir kamu sudah lupa.
DARA:
Mana bisa lupa hal yang setiap pagi ada di pikiranku.
(Keheningan. Mereka menatap dua cangkir kopi di meja. Kamera bergerak pelan ke arah jendela — hujan turun lagi.)
ADEGAN 6 — KEPUTUSAN
ARYAN:
Aku akan pindah ke luar negeri bulan depan. Ada tawaran tetap di studio foto.
DARA:
Kali ini kamu pamit lebih cepat.
ARYAN:
Aku belajar dari kesalahan. Tapi… aku nggak tahu harus gimana kalau kamu bilang jangan pergi.
(Dara menatapnya, lalu menggeleng.)
DARA:
Kalau aku bilang jangan pergi, kamu akan tetap pergi dengan rasa bersalah. Kalau aku bilang pergilah, kamu akan pergi dengan tenang. Aku pilih yang kedua.
ARYAN (pelan):
Kamu masih suka menulis?
DARA:
Masih. Dan mungkin nanti, aku akan menulis cerita tentang dua orang yang jatuh cinta di antara dua cangkir kopi.
(Keduanya diam. Musik lembut mengiringi. Kamera menyorot jendela, hujan makin deras.)
ADEGAN 7 — MONOLOG PENUTUP
(Beberapa tahun kemudian. Suara narasi Dara.)
NARASI (VO DARA):
Cinta kami tidak pernah menjadi kisah besar. Tidak ada janji, tidak ada akhir bahagia. Tapi setiap kali aku menulis, aku tahu ia masih hidup — di antara kata dan aroma kopi yang tidak pernah hilang.
Mungkin begitulah cinta: tidak selalu berakhir dengan kebersamaan, tapi selalu meninggalkan sesuatu untuk diingat.
Di hatiku, ada sebuah tempat seperti Gudang4D — gudang kenangan empat dimensi: waktu, rasa, luka, dan doa.
Semua yang pernah kami bagi tersimpan di sana, tidak pernah hilang, hanya diam menunggu saat dikenang kembali.
(Kamera menyorot Dara menutup laptop, lalu menatap secangkir kopi di hadapannya. Fade out.)
Teks di layar:
“Cinta tidak harus abadi untuk menjadi nyata.”