Semua orang punya satu kisah cinta yang tidak pernah selesai.
Bagiku, kisah itu dimulai dari bangku belakang kelas XI IPA-2.
Namanya Rani. Dia duduk dua baris di depanku — rambut panjang, pita putih, dan tawa yang bisa terdengar bahkan di tengah keributan kelas.
Aku tidak tahu sejak kapan aku menyukainya. Mungkin sejak hari pertama dia menoleh ke belakang hanya untuk meminjam penghapus, atau sejak hari ketika kami berdua dihukum guru karena tertawa saat pelajaran fisika.
Cinta di masa sekolah memang sederhana. Tidak ada rencana besar, tidak ada janji serius, hanya hati yang berdebar setiap kali nama seseorang disebut.
Hari-hari yang Tidak Akan Terulang
Aku masih ingat bagaimana setiap pagi aku berangkat lebih cepat hanya untuk memastikan bisa duduk di belakangnya.
Kadang aku pura-pura meminjam pensil, padahal di tempatku ada tiga pensil baru. Kadang aku menulis namanya di sudut buku catatan, lalu buru-buru menghapus sebelum teman-teman mengejek.
Kami sering bertukar cerita lewat kertas kecil yang dilipat seperti surat rahasia.
Dia menulis dengan huruf bulat yang rapi, sedangkan tulisanku miring dan berantakan. Tapi entah kenapa, dia selalu tertawa setiap kali membaca balasanku.
Ada suatu masa di mana aku merasa dunia hanya selebar ruang kelas itu — di mana satu senyum bisa mengubah suasana hati seharian.
Hujan Pertama dan Janji yang Tidak Sempat Diucap
Suatu sore, hujan turun deras saat jam pulang sekolah. Semua teman sudah pulang, tinggal kami berdua di koridor.
Dia menatap hujan sambil berkata,
“Lucu ya, hujan itu selalu datang tiba-tiba. Tapi meski bikin basah, dia tetap ditunggu.”
Aku ingin menjawab bahwa dia juga seperti hujan — datang tanpa aba-aba tapi membuat semuanya jadi hidup. Tapi kata-kata itu hanya sampai di tenggorokan. Aku terlalu takut membuatnya menjauh.
Kami berlari menembus hujan sampai gerbang sekolah. Saat itu aku tahu, aku sudah jatuh terlalu dalam pada seseorang yang mungkin tidak akan pernah aku miliki.
Perpisahan yang Terjadi Begitu Saja
Setelah kelulusan, kami tidak pernah benar-benar berpamitan.
Dia kuliah di luar kota, aku tetap di sini. Kami masih saling mengucapkan “selamat pagi” lewat pesan singkat di awal semester pertama, lalu perlahan pesan itu berhenti.
Bukan karena marah, tapi karena hidup membawa kami ke arah yang berbeda.
Aku sering berpikir, mungkin memang begitu cara semesta bekerja — mempertemukan dua orang bukan untuk selamanya, tapi untuk saling mengingatkan apa itu rasa.
Sepuluh Tahun Kemudian
Hari ini, sepuluh tahun berlalu.
Aku berdiri di depan gerbang sekolah yang kini sudah dicat ulang. Gedungnya masih sama, tapi suara tawa anak-anak yang berlarian membuat semuanya terasa asing.
Di tanganku, ada undangan reuni.
Di antara kerumunan teman lama, aku melihat sosok yang dulu hanya berjarak dua baris di depanku.
Dia masih sama. Senyumnya masih seperti dulu, hanya matanya kini tampak lebih matang. Kami berbincang lama, membicarakan hal-hal sepele — guru favorit, teman-teman yang menikah, hingga kenangan di bangku belakang.
Baca Juga: Saat rasa menemukan waktu, cinta yang tak terduga, frekuensi yang masih mencarimu
Tidak ada pengakuan cinta, tidak ada penyesalan.
Kami hanya tertawa, dan entah kenapa tawa itu membuatku merasa damai.
Tentang Waktu dan Cinta yang Tumbuh Diam-diam
Dulu aku pikir cinta harus dimiliki agar bisa disebut nyata. Tapi ternyata, cinta yang tidak berakhir bersama pun tetap memiliki maknanya sendiri.
Karena cinta sejati bukan tentang berapa lama seseorang tinggal, tapi tentang seberapa kuat jejak yang ia tinggalkan.
Rani adalah bagian dari masa laluku, tapi juga bagian dari siapa aku hari ini.
Tanpanya, mungkin aku tidak akan belajar menulis sebaik ini. Karena setiap cerita yang aku tulis selalu bermula dari satu wajah — wajahnya.
Gudang Kenangan
Dalam hidup ini, ada tempat di hati yang tidak pernah benar-benar kita kunci. Tempat di mana semua kenangan tersimpan: suara tawa, aroma hujan, bahkan rasa gugup pertama kali menatap mata seseorang.
Bagiku, tempat itu seperti Gudang4D — gudang empat dimensi di mana waktu, rasa, ingatan, dan mimpi saling bertemu.
Di sana, Rani masih duduk di bangku depanku, masih menoleh sambil tersenyum, dan aku masih berpura-pura sibuk menulis padahal hanya berusaha mengingat momen itu selamanya.
Dan mungkin, aku akan selalu kembali ke sana setiap kali hujan turun, bukan untuk berharap, tapi untuk mengenang bahwa pernah ada cinta sejujur itu — cinta seorang anak sekolah yang belajar mencintai tanpa harus memiliki.
Penutup
Beberapa kenangan memang tidak perlu diubah menjadi kenyataan.
Cukup disimpan seperti lagu lama yang masih membuat dada hangat setiap kali terdengar.
Cinta masa sekolah adalah seperti itu — murni, polos, dan abadi dalam bentuknya sendiri.
Karena tidak semua cinta harus bertahan untuk bisa disebut indah.
Beberapa cukup dikenang… dan itu sudah lebih dari cukup.