Di kantor, cinta sering kali dianggap gangguan — sesuatu yang tidak profesional, tidak efisien, dan tidak produktif.
Tapi siapa yang bisa mengatur hati di antara tumpukan berkas dan layar komputer?
Namaku Raka, 32 tahun, karyawan biasa di sebuah perusahaan konsultan. Aku tidak pernah berniat jatuh cinta di tempat kerja. Tapi seperti banyak hal lain dalam hidup, cinta juga tidak pernah datang sesuai rencana.
Namanya Mira. Ia bergabung sebagai staf desain dua tahun lalu. Awalnya, dia hanya rekan kerja di tim yang sama. Kami jarang bicara, kecuali soal proyek atau jadwal rapat. Tapi perlahan, setiap percakapan kecil mulai terasa berbeda. Ada sesuatu dalam caranya tertawa, caranya mendengarkan, bahkan caranya menatap layar monitor dengan fokus — yang entah kenapa membuatku betah memperhatikannya lebih lama dari seharusnya.
Antara Profesional dan Perasaan
Hubungan kami sederhana: dua orang yang bekerja di meja bersebelahan, saling bertukar ide, saling mengoreksi laporan. Tapi di sela-sela percakapan itu, tumbuh sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Kami mulai sering pulang bersamaan. Kadang makan malam di tempat yang sama, kadang hanya duduk di lobi sambil berbagi keluh kesah soal pekerjaan. Tidak ada janji, tidak ada kata cinta, hanya dua manusia yang saling mengisi keheningan.
Suatu malam setelah lembur, dia berkata,
“Lucu ya, kita menghabiskan separuh hidup di kantor, tapi jarang benar-benar hidup.”
Aku tersenyum.
“Mungkin karena kita terlalu sibuk mengejar target, sampai lupa mengejar rasa.”
Dia tertawa pelan. Tapi di balik tawa itu, aku melihat sesuatu yang rapuh — mungkin kesepian, mungkin juga cerminan dari diriku sendiri.
Cinta yang Tumbuh di Tempat yang Salah
Ada banyak alasan kenapa cinta di tempat kerja dianggap rumit. Karena setiap perasaan punya risiko, dan setiap keputusan punya konsekuensi.
Aku tahu, Mira sudah punya seseorang — tunangan yang bekerja di luar kota. Ia pernah menyebutnya sekali, sambil menatap jauh ke luar jendela.
Sejak saat itu, aku belajar mencintainya dalam diam.
Aku datang lebih pagi hanya untuk menyapanya duluan. Aku pura-pura butuh bantuan desain, padahal hanya ingin berbicara lebih lama. Aku tahu batasnya, tapi perasaan tidak mengenal etika kerja.
Baca Juga: Fragmen cinta di dalam gudang4d, di antara waktu dan cinta, malam yang tidak pernah benar-benar usai
Kami tetap dekat, tapi selalu ada jarak tak terlihat di antara kami.
Sampai suatu hari, kabar itu datang: dia akan pindah divisi ke kantor pusat di Surabaya. Aku berusaha tenang, seolah tidak terguncang. Tapi malam itu, aku menatap layar komputer lebih lama dari biasanya, berharap bisa menulis sesuatu yang tidak akan pernah kukirim.
Hari Terakhir
Hari terakhirnya bekerja di kantor kami adalah hari yang aneh. Semua orang sibuk memberi selamat, mengucapkan “sukses selalu”, sementara aku hanya berdiri di kejauhan.
Sebelum pulang, dia menghampiriku dan berkata,
“Terima kasih ya, Rak. Kamu selalu bikin kerja terasa ringan.”
Aku hanya mengangguk.
“Semoga kamu bahagia di tempat baru.”
Dia tersenyum, dan mungkin untuk terakhir kalinya, aku melihat tatapan itu — tatapan yang membuatku jatuh cinta tanpa pernah berani mengakuinya.
Ketika pintu lift tertutup, aku sadar, cinta bisa berakhir bahkan tanpa pernah dimulai.
Setelah Kepergiannya
Hidup di kantor berjalan seperti biasa, tapi tidak benar-benar sama.
Meja di sampingku kini kosong, tapi setiap kali aku menoleh, aku masih bisa membayangkan dia di sana — mengetik cepat, mengernyit saat revisi datang, atau menatapku sekilas ketika aku melamun.
Waktu berjalan. Aku tetap bekerja, berpura-pura sibuk, berpura-pura lupa.
Tapi di sela-sela kesibukan, ada kalimat yang terus berputar di kepalaku: “Kita menghabiskan separuh hidup di kantor, tapi jarang benar-benar hidup.”
Kini aku paham, mungkin yang dimaksud Mira bukan tentang pekerjaan, tapi tentang keberanian mencintai. Bahwa terkadang, yang membuat hidup terasa “benar-benar hidup” bukan pencapaian, melainkan seseorang yang membuat hari terasa berarti.
Pelajaran dari Cinta yang Tidak Terucap
Cinta yang tak terbalas memang menyakitkan, tapi juga mendewasakan.
Ia mengajarkan cara mencintai tanpa memiliki, cara menerima tanpa harus berharap.
Dalam dunia kerja yang serba cepat dan dingin, cinta seperti ini menjadi pengingat bahwa kita masih manusia — masih punya hati yang bisa bergetar di antara rapat dan laporan keuangan.
Mira telah pergi, tapi perasaan itu tidak benar-benar hilang. Ia hanya berubah menjadi sesuatu yang lebih tenang. Kadang, saat larut malam di kantor, aku menatap layar kosong dan bertanya pada diri sendiri: apakah dia juga pernah merasakan hal yang sama?
Aku tidak pernah tahu jawabannya, dan mungkin memang tidak perlu tahu.
Karena cinta yang tulus tidak selalu butuh kepastian. Ia cukup menjadi bagian kecil dari perjalanan hidup — seperti secangkir kopi di tengah lembur panjang, memberi hangat sebentar sebelum dingin kembali.
Gudang4D: Tempat Semua Rasa Disimpan
Dalam hati setiap orang, ada ruang kecil tempat kenangan disimpan rapi.
Bagiku, ruang itu seperti Gudang4D — empat dimensi yang menampung rasa: waktu, rindu, kehilangan, dan ketulusan.
Di sana, setiap kenangan tetap hidup, tidak untuk disesali, tapi untuk diingat sebagai bagian dari siapa kita pernah jadi.
Di dalam ruang itu, Mira masih duduk di meja sebelahku, tersenyum di bawah cahaya lampu kantor yang redup. Dan aku masih menulis, mencoba menyelesaikan laporan yang sama — laporan tentang cinta yang tidak pernah sempat dia baca.
Penutup
Cinta tidak selalu harus diumumkan, kadang cukup dipahami.
Dan meski tidak berujung bersama, tidak berarti sia-sia.
Sebab dalam setiap perasaan yang tidak terucap, selalu ada pelajaran tentang keikhlasan, keberanian, dan arti bahagia tanpa memiliki.
Beberapa cinta tidak ditakdirkan untuk menjadi cerita besar.
Namun justru dari cinta seperti itu, kita belajar menjadi manusia yang lebih utuh.