Aku tidak pernah merencanakan jatuh cinta padanya.
Sama seperti kita tidak pernah merencanakan hujan turun saat langit tampak cerah. Semuanya datang tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa alasan yang bisa dijelaskan secara logis.
Namanya Reva, dan dia datang ke hidupku seperti sepotong lagu lama yang tiba-tiba terdengar kembali — familiar, tapi dengan rasa yang berbeda. Kami bertemu di tempat yang sederhana: ruang kerja bersama di pusat kota. Aku menulis artikel, dia menggambar ilustrasi untuk proyek startup. Kami duduk bersebelahan, hampir setiap hari, tanpa banyak bicara.
Tapi setiap keheningan yang ia tinggalkan terasa lebih nyaring daripada ribuan kata.
Cinta yang Tumbuh di Antara Rutinitas
Hubungan kami tidak dimulai dengan pengakuan cinta atau kejutan romantis. Kami tidak saling mengirim bunga atau pesan manis di pagi hari.
Kami hanya berbagi waktu — secangkir kopi yang sama di meja yang sama, tatapan singkat di antara kesibukan, dan obrolan kecil tentang hal-hal sepele seperti warna favorit atau aroma hujan.
Entah sejak kapan, aku mulai menunggunya setiap pagi. Bukan karena aku ingin bertemu seseorang, tapi karena hari terasa berbeda tanpa kehadirannya.
Dia pernah berkata, “Cinta itu bukan tentang siapa yang datang paling cepat, tapi siapa yang tetap bertahan meski tidak diminta.”
Kalimat itu anehnya menempel di pikiranku, seolah ditulis di dinding hati yang sulit dihapus.
Ketika Semua Terasa Nyata, Tapi Tidak Pasti
Kami tidak pernah berstatus apa pun. Tidak ada label, tidak ada janji. Tapi setiap hal kecil terasa begitu besar.
Baca Juga: Surat yang tak pernah kukirim tentang cinta, dalam hening yang tidak pergi, langit di atas kitaSuatu sore, setelah lembur panjang, dia menatapku dan berkata, “Kita ini apa, ya?”
Aku hanya tertawa. “Mungkin dua orang yang kebetulan cocok di waktu yang salah.”
Dia menatapku lama. “Atau dua orang yang terlalu takut mengaku kalau sebenarnya ingin bersama.”
Setelah malam itu, ada jarak yang tumbuh di antara kami.
Bukan jarak fisik, tapi jarak emosional yang tak terlihat — seperti kabut tipis yang menutupi pandangan tapi tidak benar-benar memisahkan.
Perpisahan yang Terjadi Tanpa Kalimat
Beberapa minggu kemudian, dia pindah kota. Tanpa perpisahan yang dramatis, tanpa pelukan atau janji untuk bertemu lagi. Hanya pesan singkat:
“Terima kasih untuk semua obrolan kecil yang ternyata berarti besar.”
Sejak itu, meja kerjaku terasa kosong. Aku masih datang ke tempat yang sama, masih menulis, tapi tanpa dia semuanya terasa berbeda.
Cinta kami tidak pernah dimulai, tapi entah kenapa, kehilangan itu nyata.
Belajar dari Cinta yang Tidak Jadi
Butuh waktu lama untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua cinta harus berakhir dengan kebersamaan.
Beberapa cinta hanya datang untuk mengajarkan kita sesuatu — tentang keheningan, kesabaran, dan keberanian untuk melepaskan.
Reva mungkin tidak tahu, tapi kepergiannya justru membuatku mengenal diriku sendiri. Aku belajar bahwa cinta bukan tentang siapa yang kita genggam, melainkan siapa yang membuat kita tumbuh.
Aku mulai menulis lebih banyak. Tidak lagi tentang kehilangan, tapi tentang perjalanan. Tentang bagaimana setiap orang yang datang, meski sebentar, selalu meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.
Cinta dan Waktu: Dua Hal yang Tak Pernah Bisa Dipaksakan
Cinta itu seperti waktu — ia berjalan dengan ritmenya sendiri. Tidak peduli seberapa keras kita berusaha menahannya, ia akan tetap bergerak.
Kadang, kita bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Kadang juga sebaliknya, kita sudah siap, tapi orang yang kita tunggu belum datang.
Aku tidak menyalahkan waktu, dan aku tidak menyalahkan takdir.
Mungkin memang begitu cara semesta bekerja — mempertemukan dua hati hanya untuk membuat keduanya belajar arti kehilangan.
Dan dari semua hal yang pernah aku rasakan, yang paling berat bukanlah kehilangan seseorang, tapi menerima bahwa kita pernah begitu bahagia bersamanya.
Kenangan yang Tidak Hilang, Hanya Berubah Wujud
Kini, setiap kali aku melihat kursi kosong di sampingku, aku tersenyum. Bukan karena rindu, tapi karena bersyukur pernah punya kenangan seindah itu.
Ada kalanya aku membayangkan bagaimana jika semuanya berjalan berbeda — jika aku sempat berkata “jangan pergi,” atau jika dia sempat bertanya “bolehkah aku tinggal?” Tapi hidup tidak mengenal kata seandainya. Yang ada hanyalah kenyataan, dan kenyataan itu sederhana: aku pernah mencintainya, dan itu sudah cukup.
Refleksi: Cinta Bukan Tentang Kepemilikan
Dari Reva, aku belajar bahwa cinta sejati tidak diukur dari lamanya kebersamaan, tapi dari seberapa besar pengaruhnya pada siapa kita setelahnya.
Cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang menghargai.
Kadang, orang yang paling kita cintai bukan yang menemani kita di akhir, tapi yang sempat hadir dan membuat kita berubah selamanya.
Kini aku percaya, setiap cinta — sekecil apa pun — akan selalu punya tempatnya sendiri. Ia tersimpan rapi dalam gudang kenangan di dalam hati, seperti Gudang4D, tempat segala cerita kehidupan tersusun: dari yang lucu hingga menyakitkan, dari yang sederhana hingga luar biasa.
Dan di antara tumpukan kisah itu, cinta kami tetap ada — bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran paling berharga tentang menjadi manusia.
Penutup: Tidak Semua Cinta Butuh Akhir Bahagia
Cinta tidak harus diakhiri dengan kebersamaan. Kadang, cinta cukup diakhiri dengan rasa syukur.
Bahwa kita pernah mencintai dengan tulus, meski tanpa kepastian.
Bahwa kita pernah merasakan kehangatan, meski hanya sebentar.
Bahwa kita pernah hidup sepenuhnya, meski akhirnya harus berpisah.
Karena cinta sejati bukan tentang memiliki selamanya, tapi tentang merasakan sepenuhnya — walau hanya untuk sementara.