Ada cinta yang datang terlambat, tapi tetap terasa benar.
Ada pula cinta yang sempat pergi, hanya untuk kembali ketika hati sudah lebih tenang.
Dan mungkin, kisah cinta antara Sinta dan Deno adalah perpaduan keduanya.
Mereka pernah saling memiliki, lalu kehilangan, lalu tanpa diduga dipertemukan lagi ketika keduanya sudah berhenti mencari.
Awal dari Sebuah Kenangan
Dulu, Sinta dan Deno adalah pasangan yang semua orang kagumi. Mereka bertemu di kampus, saat keduanya menjadi panitia acara seni. Deno adalah vokalis band kampus, sementara Sinta menjadi penulis naskah teater.
Mereka punya mimpi yang besar — hidup sederhana tapi bahagia, membangun rumah kecil, dan saling mendukung dalam karier masing-masing.
Tapi kenyataan tak selalu seperti yang dibayangkan.
Deno lulus lebih dulu dan diterima bekerja di luar kota. Sementara Sinta harus menyelesaikan skripsi sambil bekerja paruh waktu. Komunikasi yang dulu hangat mulai dingin. Kesibukan, jarak, dan ego membuat cinta mereka pelan-pelan berubah bentuk.
Hingga suatu malam, sebuah pesan singkat mengakhiri segalanya.
“Mungkin kita memang harus berhenti dulu. Aku lelah berjuang sendirian.”
Sinta tidak membalas. Ia hanya menatap layar ponsel lama-lama sebelum akhirnya menangis dalam diam.
Dan sejak malam itu, nama Deno hilang dari hidupnya — setidaknya untuk waktu yang lama.
Tahun-Tahun yang Sepi
Waktu berlalu cepat. Lima tahun kemudian, Sinta sudah menjadi editor di sebuah penerbit ternama. Hidupnya stabil, kariernya berjalan baik, tapi ada ruang kosong di hatinya yang tak pernah benar-benar terisi.
Sesekali, ia membuka album lama di ponselnya. Foto-foto bersama Deno masih tersimpan di sana. Ia tidak menghapusnya — bukan karena masih berharap, tapi karena beberapa kenangan terlalu berat untuk dilenyapkan.
Hingga suatu sore, di tengah kesibukan kantor, ia menerima pesan tak terduga di media sosial:
“Hai, masih ingat aku?”
Nama pengirimnya: Deno Prasetya.
Sinta menatap layar cukup lama. Ada ragu, ada marah, tapi juga ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Butuh waktu sepuluh menit sebelum akhirnya ia membalas:
“Sulit untuk lupa.”
Pertemuan yang Tak Disangka
Beberapa hari kemudian, mereka bertemu di sebuah kafe di sudut kota. Deno tampak lebih dewasa, wajahnya tak lagi seperti anak band penuh energi, tapi pria yang tenang dengan tatapan matang.
“Kamu masih suka kopi hitam tanpa gula?” tanya Deno sambil tersenyum.
Sinta menatapnya lama. “Dan kamu masih suka datang terlambat,” jawabnya datar, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa haru.
Baca Juga: satu surat untuk langit kisah cinta, bintang terakhir di langit kota cerita, suara dari balik radio tua cinta yang
Obrolan mereka berlangsung lama. Tentang masa lalu, tentang pekerjaan, tentang hidup yang kini jauh berbeda. Tidak ada kata maaf di antara mereka, tapi suasananya penuh pengertian. Kadang diam, kadang tertawa, kadang saling menatap tanpa bicara — seperti dua orang yang pernah jatuh cinta tapi sudah belajar berdamai dengan waktu.
Menghadapi Masa Lalu yang Belum Usai
Setelah pertemuan itu, mereka mulai sering berkomunikasi lagi. Bukan untuk mengulang masa lalu, tapi seolah dunia memberi kesempatan kedua bagi mereka untuk saling mengenal ulang — kali ini tanpa terburu-buru.
Namun, perasaan lama itu ternyata tak benar-benar hilang.
Sinta mendapati dirinya menunggu pesan Deno setiap malam. Deno pun mulai mencari alasan untuk selalu hadir di hari-harinya.
Suatu malam, mereka berbicara di taman kota, ditemani lampu jalan yang temaram.
“Aku kira kita sudah selesai,” kata Sinta lirih.
“Aku juga,” jawab Deno. “Tapi mungkin kita cuma istirahat terlalu lama.”
Sinta menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Waktu bisa berubah banyak hal, Den.”
Deno mengangguk. “Termasuk cara aku mencintaimu. Sekarang, aku nggak mau terburu-buru lagi. Aku cuma mau jaga kamu, pelan-pelan.”
Cinta yang Kedua Kalinya
Kehidupan Sinta berubah sejak saat itu. Ia mulai tersenyum lagi, mulai menulis lagi. Deno sering mengantar pulang, membantu memotret naskah-naskah untuk penerbitan, bahkan ikut mendengarkan setiap curahan hatinya.
Mereka seperti dua orang yang sudah pernah hancur, lalu belajar membangun ulang — dengan fondasi baru bernama ketulusan.
Namun, tak semua orang menganggap cinta kedua adalah hal baik.
Beberapa teman Sinta memperingatkan, “Kamu yakin? Dulu dia yang ninggalin kamu.”
Sinta hanya menjawab singkat, “Mungkin dulu aku juga salah. Cinta yang patah bisa sembuh kalau dua-duanya mau belajar.”
Cinta kali ini memang berbeda. Tidak lagi penuh drama, tidak lagi dipenuhi janji besar. Hanya ada kejujuran, pengertian, dan kesabaran.
Mereka tahu, cinta sejati bukan tentang siapa yang paling lama bertahan, tapi siapa yang berani kembali ketika semua sudah hancur.
Ujian yang Tak Pernah Usai
Suatu hari, Deno menerima tawaran kerja di luar negeri. Sebuah kesempatan besar yang sulit ditolak. Sinta menatapnya lama ketika kabar itu disampaikan.
“Kamu akan pergi lagi?”
Deno menghela napas. “Iya, tapi kali ini aku nggak akan pergi tanpa berpamitan.”
Sinta terdiam.
“Kalau aku minta kamu tinggal?”
Deno menatapnya dalam. “Aku akan tinggal, kalau kamu bilang kamu nggak bisa tanpaku.”
Sinta tersenyum samar. “Aku bisa tanpamu, tapi aku lebih bahagia kalau kamu ada.”
Mereka berpelukan dalam diam. Tak ada janji yang diucapkan, hanya keyakinan bahwa apa pun yang terjadi nanti, mereka akan saling menemukan lagi — seperti sebelumnya.
Beberapa Tahun Kemudian
Tiga tahun berlalu sejak Deno berangkat. Jarak dan waktu kembali menguji mereka, tapi kali ini keduanya sudah dewasa. Mereka tak lagi bertukar pesan setiap hari, tapi saling percaya tanpa harus selalu ada kabar.
Suatu pagi, Sinta menerima paket kecil dari luar negeri. Di dalamnya ada foto pemandangan pantai dan catatan tangan Deno:
“Aku masih memotret senja seperti dulu kamu minta. Dan setiap kali matahari turun, aku selalu ingat bahwa ada seseorang di ujung dunia sana yang menatap langit yang sama.”
Sinta menutup matanya, menahan air mata yang perlahan mengalir.
Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tapi justru karena itulah ia terasa nyata.
Makna dari Sebuah Kembali
Cinta yang datang kembali bukan berarti mengulang masa lalu, melainkan memperbaiki apa yang dulu terlewat. Sinta dan Deno membuktikan bahwa waktu bisa mengubah banyak hal — termasuk cara seseorang mencintai.
Cinta yang dulu penuh ego kini berganti dengan ketenangan.
Yang dulu banyak kata, kini cukup dengan tindakan kecil.
Yang dulu mudah menyerah, kini tahu bagaimana bertahan.
Dan di balik semua itu, mereka menyadari bahwa tidak semua perpisahan adalah akhir. Kadang, itu hanya jeda yang diberikan semesta agar dua hati bisa belajar lebih dulu sebelum akhirnya bersatu lagi.
Penutup: Saat Waktu Menyembuhkan Segalanya
Cinta sejati tidak selalu datang di waktu yang tepat, tapi ia akan datang di saat yang paling dibutuhkan.
Ketika hati sudah siap, ketika luka sudah sembuh, dan ketika dua orang yang pernah saling kehilangan akhirnya kembali saling menemukan.
Sinta dan Deno tidak tahu apakah mereka akan selamanya bersama. Tapi satu hal yang pasti — kali ini mereka tidak lagi takut kehilangan, karena keduanya tahu bagaimana cara kembali.
Cinta seperti mereka bukan lagi tentang kepemilikan, tapi tentang kedewasaan.
Tentang keberanian untuk memaafkan, dan kebijaksanaan untuk tetap mencintai meski waktu pernah memisahkan.
Dan seperti kehidupan yang terus berputar, setiap cinta yang pernah hilang akan selalu menemukan jalan pulangnya —
di tempat di mana harapan, keberuntungan, dan takdir bertemu.
Tempat di mana segala cerita, termasuk cinta yang teruji waktu, tersimpan dengan hangat — seperti Gudang4D, ruang abadi bagi setiap kisah manusia yang tak pernah benar-benar usai.