(Sebuah dokumenter kisah cinta yang tak selesai)
[Narasi Pembuka]
Tidak semua cinta berakhir dengan kehilangan. Kadang, sebagian hanya berhenti di tengah jalan, menggantung di udara seperti lagu yang tak sempat selesai.
Di sebuah kota kecil di pinggiran Bandung, tim dokumenter kami bertemu dengan seorang perempuan bernama Mira, usia 33 tahun. Ia bekerja sebagai penyiar radio lokal. Di meja kerjanya, ada sebuah kotak kayu berisi surat-surat, tiket bioskop, dan selembar foto polaroid yang warnanya sudah mulai pudar.
Ketika kami tanya apa isinya, ia hanya tersenyum. “Itu sisa masa lalu,” katanya.
Dan seperti banyak kisah masa lalu lainnya, semuanya berawal dari satu pertemuan yang tak disengaja.
[Rekaman Wawancara: Mira]
“Aku bertemu Arvin di kampus, tahun terakhir kuliah. Dia fotografer acara, aku jadi MC untuk seminar kampus. Setelah acara selesai, dia mendekat dan bilang, ‘Kamu ngomong di depan orang kayak baca puisi ya.’
Waktu itu aku anggap dia aneh, tapi aku senyum juga. Karena entah kenapa, di antara banyak suara, suaranya paling aku ingat.”
Mira tertawa kecil saat mengingatnya.
“Dia bukan tipe lelaki romantis. Tapi dia tahu cara membuatku nyaman. Kami sering duduk di warung kopi sampai larut malam, bicara soal apa saja — musik, film, bahkan hal-hal bodoh seperti ‘kalau hidup ini permainan angka, siapa yang menang duluan’.
Aku masih ingat, dia bilang: ‘Kalau hidup ini undian, aku cuma mau menang satu hal — kamu.’
Dan sejak malam itu, aku berhenti percaya pada kebetulan.”
[Transkrip Pesan – 12 Desember 2017]
Arvin: “Kau percaya nggak, kalau ada orang yang ketemu di waktu yang salah tapi hatinya tetap di tempat yang benar?”
Mira: “Mungkin. Tapi orang seperti itu biasanya terlalu baik buat dunia ini.”
Arvin: “Atau terlalu bodoh buat pergi.”
Mira: “Kamu yang mana?”
Arvin: “Mungkin dua-duanya.”
[Narasi]
Hubungan mereka bertahan hampir dua tahun. Tak pernah benar-benar resmi, tapi juga tak pernah benar-benar hilang.
Mira bekerja di radio, Arvin sering bepergian sebagai fotografer lepas. Mereka saling berkabar lewat pesan, telepon, dan kadang surat. Dunia terasa kecil ketika seseorang bisa membuatmu menunggu pesan selama berjam-jam hanya untuk membaca satu kalimat sederhana: “Aku kangen.”
Namun seperti semua kisah cinta yang diuji, jarak dan ambisi datang sebagai penghalang.
Arvin mendapat tawaran kerja ke luar negeri. “Hanya setahun,” katanya waktu itu. Tapi tahun berubah menjadi dua, lalu tiga, tanpa kabar pasti kapan ia kembali.
[Wawancara: Mira]
“Awalnya kami masih sering berkabar. Tapi lama-lama pesan jarang. Aku tahu dia sibuk, tapi juga tahu… sesuatu berubah.
Ada satu malam, aku dengar berita tentang gempa di kota tempat dia tinggal. Aku coba hubungi, tak bisa. Tiga hari kemudian, dia membalas:
‘Aku baik-baik saja. Tapi mungkin kita nggak harus terus seperti ini.’Aku membaca pesan itu berkali-kali. Tapi tak pernah kujawab. Kadang diam adalah cara terbaik untuk berhenti, meski tak pernah benar-benar ingin berhenti.”
[Transkrip Memo Suara – Rekaman Lama dari Arvin, ditemukan di kotak kayu]
“Kalau kamu dengar ini, mungkin aku sudah nggak di tempat yang sama.
Tapi aku pengen kamu tahu — aku nggak pernah berhenti mencintaimu, cuma berhenti berusaha melawan waktu.Kalau nanti kamu dengar lagu lama di radio dan tiba-tiba merasa rindu, mungkin itu aku.
Aku selalu percaya, hidup ini seperti angka keberuntungan di Gudang4D — kadang kita kalah ribuan kali, tapi satu angka bisa mengubah segalanya.
Dan buatku, angka itu dulu adalah kamu.”
[Narasi – Lima Tahun Kemudian]
Mira kini tinggal sendiri. Ia belum menikah, tapi tidak juga menyesal.
Setiap hari, sebelum siaran, ia memutar lagu lama yang dulu sering Arvin kirimkan. Ia bilang, itu bukan kebiasaan melankolis, hanya cara untuk menjaga kenangan tetap hidup tanpa menyakitinya.
Kadang, di segmen malam bertajuk “Surat Tanpa Nama”, ia membacakan tulisan pendengar yang bercerita tentang cinta yang tak sempat diucap.
Suatu malam, ia membaca satu surat dengan nada bergetar:
“Untuk seseorang yang dulu mengajarkanku melihat dunia lewat lensa,
Aku harap kau masih memotret langit setiap pagi.
Aku tidak lagi menunggu, tapi aku juga tidak pernah lupa.”
Setelah siaran, ia duduk diam lama di studio gelap itu. Lalu berkata pelan, “Surat itu bukan dari pendengar. Itu dari aku.”
[Refleksi Akhir – Narasi Penutup]
Cinta seperti itu tidak mati. Ia hanya berubah bentuk — dari kehadiran menjadi kenangan, dari percakapan menjadi gema.
Mira dan Arvin tidak pernah benar-benar berpisah; mereka hanya berpindah dimensi dalam hidup masing-masing.
Setiap orang punya “angka keberuntungan” dalam hidupnya — sesuatu yang membuatnya percaya lagi pada kemungkinan, pada takdir, pada cinta yang sederhana tapi bertahan lama.
Bagi Mira, angka itu tidak pernah muncul di tiket lotre atau papan permainan.
Angka itu muncul di setiap kali ia mengucap nama seseorang yang tidak lagi ada di sisinya, tapi tetap hidup di hatinya.
Baca Juga: cinta di era notifikasi tentang pesan, sunyi yang menyimpan nama sebuah cerita, di antara pilihan dan kenyataan cinta
Dan malam itu, sebelum menutup siaran, ia berkata lewat mikrofon, dengan suara yang tenang tapi penuh makna:
“Untuk siapa pun yang masih menunggu seseorang yang tak kunjung kembali — percayalah, kadang menunggu juga bentuk dari mencintai.
Ini bukan akhir. Ini hanya jeda yang panjang.”
Lalu lagu terakhir malam itu mengalun pelan: “The Night We Met.”