1. Catatan yang Tertinggal
Malam itu, Lila menulis surat yang tak pernah ia kirim.
Di atas meja kayu kecil di ruang tamunya yang sepi, secangkir teh hangat sudah dingin sejak dua jam lalu. Di luar, hujan turun tanpa tanda akan berhenti. Di kertas putih itu, kata-kata mengalir pelan, seperti air yang mencari jalannya sendiri.
“Raka, kalau suatu hari kamu membaca ini, mungkin aku sudah berhenti menunggumu. Tapi percayalah, aku pernah mencintaimu seutuhnya.”
Ia berhenti sejenak, menatap tinta yang mulai melebar di ujung huruf. Ada kalimat yang ingin ia tambahkan, tapi tak jadi. Kadang cinta memang tidak butuh penjelasan panjang. Ia hanya butuh keberanian untuk diakui—meski pada akhirnya, tetap berujung perpisahan.
2. Pertemuan yang Tak Terencana
Mereka pertama kali bertemu di sebuah toko buku kecil di Jalan Mawar, tempat yang jarang dikunjungi siapa pun. Raka bekerja di sana sebagai penjaga toko paruh waktu, sementara Lila datang hanya untuk mencari ketenangan dari hiruk-pikuk kota.
Raka adalah tipe lelaki yang jarang bicara, tapi pandai mendengarkan. Lila sebaliknya, banyak bicara tapi sering kehilangan arah dalam pikirannya sendiri. Mereka bertemu di antara rak buku, saling menawarkan senyum kikuk, lalu perlahan terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.
Minggu berganti bulan, dan keduanya mulai menghabiskan waktu lebih lama di toko itu. Membaca buku yang sama, menulis di kertas bekas, atau sekadar diam sambil mendengarkan hujan yang jatuh di atap seng tua.
Hingga suatu sore, Raka berkata pelan, “Kamu tahu, hidup ini seperti undian. Kita tak pernah tahu hasilnya, tapi tetap berharap angka kita keluar.”
Lila tertawa kecil. “Jadi kamu percaya pada keberuntungan?”
“Bukan keberuntungan,” jawab Raka. “Aku percaya pada peluang kedua. Karena kadang, satu angka saja bisa mengubah segalanya.”
Sejak hari itu, Lila menuliskan di buku catatannya satu kata sederhana: Gudang4D. Bukan karena ia suka berjudi, tapi karena baginya kata itu seperti simbol—sebuah tempat di mana harapan dan peluang kedua bisa disimpan, menunggu saat yang tepat untuk ditemukan kembali.
3. Antara Realita dan Rasa
Cinta mereka tumbuh perlahan, tanpa deklarasi, tanpa janji.
Namun seperti banyak kisah cinta lain, realita datang sebagai ujian. Lila bekerja sebagai editor majalah yang penuh tekanan, sering pulang larut malam dengan mata lelah dan hati kosong. Sementara Raka, dengan idealismenya yang keras, menolak pekerjaan tetap karena tak ingin kehilangan kebebasan menulis.
Mereka berbeda arah, tapi mencoba berjalan di jalan yang sama. Sampai suatu hari, Lila menyadari bahwa cinta kadang bukan cukup hanya rasa—ada waktu, komitmen, dan pengertian yang juga harus berjalan beriringan.
Sebuah perdebatan kecil berubah menjadi pertengkaran besar. Tentang masa depan, tentang mimpi, tentang siapa yang harus mengalah. Dan malam itu, tanpa kata perpisahan, Lila pergi.
Raka tidak mengejar. Ia hanya berdiri di depan toko buku yang sepi, menatap hujan yang turun tanpa jeda. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang runtuh pelan-pelan, seperti atap seng yang meneteskan air satu demi satu.
4. Waktu dan Jarak
Tiga tahun berlalu.
Lila kini tinggal di apartemen kecil di pusat kota. Hidupnya terlihat baik dari luar—pekerjaan mapan, teman-teman baru, dan rutinitas yang teratur. Tapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang tak pernah benar-benar hilang.
Kadang, di tengah malam, ia masih bisa mengingat bau hujan di Jalan Mawar. Atau suara langkah kaki Raka di antara rak buku. Ia berusaha melupakan, tapi memori bekerja dengan cara yang kejam—ia selalu datang tanpa diundang.
Sementara itu, Raka membuka kedai kopi kecil di pinggiran kota. Di pojok kedainya, ada rak berisi buku-buku lama, dan di salah satunya terselip catatan kecil dengan tulisan tangan Lila. Ia tidak pernah membuangnya. Kadang, ketika hujan turun, ia membacanya lagi sambil tersenyum getir.
Ia tahu, beberapa hal tidak perlu diperbaiki. Cukup dikenang dengan rasa syukur.
5. Sebuah Kebetulan yang Tak Pernah Benar-Benar Kebetulan
Suatu hari di awal musim hujan, Lila mendapat tugas menulis feature tentang komunitas sastra kecil di pinggiran kota. Ia datang ke lokasi dengan kamera dan buku catatan, tanpa tahu bahwa kedai kopi tempat wawancara itu adalah milik seseorang dari masa lalunya.
Begitu pintu terbuka, suara lonceng kecil berdering. Raka, yang sedang membersihkan meja, menoleh. Waktu berhenti sejenak.
“Lila?”
Suara itu seperti memanggil kembali seluruh kenangan yang ia kubur selama ini. Lila tersenyum pelan. “Kedaimu wangi kopi dan hujan, seperti dulu.”
Mereka berbincang lama sore itu. Tentang masa lalu, tentang hidup yang terus berjalan, tentang hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Tidak ada air mata, tidak ada penyesalan. Hanya dua orang yang akhirnya mengerti bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki untuk tetap berarti.
6. Tentang Kesempatan Kedua
Sebelum pulang, Lila menulis sesuatu di buku tamu kedai itu:
“Terima kasih untuk secangkir kopi, dan untuk perasaan yang tidak pernah benar-benar pergi. Semoga hujan berikutnya membawa keberanian baru.”
Raka membaca tulisan itu setelah Lila pergi. Ia tersenyum, lalu menambahkan satu kalimat di bawahnya:
“Kadang, cinta yang tidak kita perjuangkan justru yang paling tulus. Karena ia tahu kapan harus berhenti, dan kapan harus dikenang.”
7. Epilog: Gudang Kenangan
Beberapa bulan setelah pertemuan itu, Raka menutup toko bukunya dan memutuskan untuk berkeliling ke beberapa kota. Lila mendengar kabar itu dari teman lama mereka.
Ia tidak terkejut. Ia tahu Raka tidak akan tinggal diam terlalu lama di satu tempat. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa di mana pun Raka berada, sebagian dari dirinya tetap tinggal di Jalan Mawar—di antara bau hujan, buku-buku tua, dan cinta yang pernah mereka miliki.
Baca Juga: cahaya di antara bayangan kisah cinta, siluet di antara kabut kisah cinta yang, nada terakhir di panggung senja kisah
Lila kini menulis kolom tetap di majalah tentang hubungan dan kehidupan. Dalam salah satu tulisannya, ia menulis:
“Setiap orang punya tempat menyimpan kenangan, dan bagiku tempat itu bernama Gudang4D. Sebuah ruang imajiner tempat aku menyimpan keberanian untuk mencinta dan melepaskan pada waktu yang sama. Karena cinta bukan tentang menang atau kalah, melainkan tentang mengingat dengan cara yang damai.”
Hujan kembali turun malam itu. Dan seperti biasanya, Lila menatap langit dari jendela sambil tersenyum kecil. Ia tidak lagi menunggu siapa pun, tapi juga tidak menyesal. Karena kini ia tahu, cinta sejati tidak selalu butuh akhir bahagia—cukup menjadi cerita yang pernah membuat kita belajar menjadi manusia.