Setiap kali hujan turun, aroma tanah basah selalu membawa kembali ingatan yang sulit dilupakan. Tentang seseorang yang dulu begitu dekat, namun kini hanya tinggal dalam kenangan. Cinta, bagi sebagian orang, adalah perjalanan menuju kebahagiaan. Tapi bagi yang lain, cinta justru adalah perjalanan pulang yang tak pernah selesai.
Inilah kisah tentang Dara dan Arka — dua jiwa yang bertemu di waktu yang salah, namun mencintai dengan cara yang benar.
Awal yang Tak Direncanakan
Dara bukan perempuan yang mudah jatuh cinta. Ia terlalu sibuk dengan hidupnya yang teratur, dengan rutinitas yang sama setiap hari. Pagi ia berangkat kerja, sore pulang, malam menulis diari sambil mendengarkan musik jazz. Hidupnya stabil, tenang, dan mungkin juga sedikit membosankan.
Sampai suatu sore, saat lampu lalu lintas di perempatan kota berhenti, ia melihat seorang pria berdiri di pinggir jalan sambil membawa kamera tua. Arka, begitu namanya, adalah jurnalis foto yang gemar menangkap cerita lewat lensa.
Sebuah percakapan kecil di tengah hujan sore itu mengubah segalanya.
“Masih banyak yang bisa dilihat lewat hujan,” kata Arka sambil tersenyum. “Kadang, justru dalam hujan kita bisa melihat siapa yang benar-benar bertahan.”
Dara tertawa kecil, lalu melangkah pergi. Tapi kata-kata itu menancap di hatinya lebih dalam dari yang ia sadari.
Pertemuan yang Berulang
Hari-hari berikutnya, mereka kembali bertemu. Kadang di halte bus, kadang di kedai kecil tempat Arka biasa menulis catatan lapangan. Mereka berbicara tentang banyak hal — tentang musik, tentang kota, bahkan tentang kehilangan.
Arka memiliki cara unik untuk memandang dunia. Ia percaya bahwa setiap manusia adalah cerita, dan setiap pertemuan adalah takdir kecil yang patut disyukuri. Dara, yang sebelumnya tertutup, perlahan mulai membuka diri. Ia mulai menulis lagi, bukan tentang pekerjaannya, tapi tentang perasaannya.
Di dalam diarinya, ia menulis:
“Aku tidak tahu mengapa setiap kali bertemu dengannya, dunia terasa lebih lambat. Seolah waktu memberi ruang agar aku bisa mengingat setiap detik bersamanya.”
Rasa yang Tumbuh Diam-Diam
Mereka tidak pernah mendefinisikan hubungan mereka. Tidak ada pengakuan cinta, tidak ada janji manis. Hanya dua orang yang sama-sama tahu bahwa mereka saling berarti. Kadang cinta memang tak butuh kata-kata, karena keheningan pun bisa berbicara.
Suatu malam, mereka berjalan di sepanjang trotoar yang basah setelah hujan. Arka memotret pantulan lampu kota di genangan air, sementara Dara menatapnya diam-diam. Dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan itu nyata.
“Kalau suatu hari aku pergi, kamu akan tetap menulis kan?” tanya Arka pelan.
“Aku akan menulis tentangmu,” jawab Dara tanpa ragu.
Dan malam itu, tanpa perlu janji, cinta mereka tumbuh dalam diam.
Cinta yang Tak Bisa Bertahan
Namun, tak semua cinta diberi kesempatan untuk berakhir bahagia. Arka harus pergi meliput bencana di luar negeri. Ia berjanji akan kembali, tapi hidup sering kali punya rencana lain.
Berbulan-bulan Dara menunggu kabar. Setiap hari ia menatap layar ponsel, berharap ada pesan masuk, atau email, atau surat. Tapi yang datang justru berita duka: Arka dinyatakan hilang dalam misi peliputan di daerah konflik.
Baca Juga: surat surat yang tak pernah sampai, di antara langit dan laut tentang cinta, cinta di tengah rutinitas cerita
Dunia Dara runtuh seketika. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menangis dan menulis. Ia menulis sepanjang malam, menulis tentang cinta yang tak sempat diucapkan, tentang kenangan yang tak sempat diabadikan. Setiap kalimat terasa seperti luka yang terbuka kembali.
Surat yang Tertinggal
Beberapa bulan kemudian, seorang rekan Arka datang ke rumah Dara membawa sebuah paket. Di dalamnya, ada kamera tua dan buku catatan lusuh. Di halaman terakhir buku itu, terdapat tulisan tangan Arka:
“Jika aku tak kembali, jangan menangis terlalu lama. Hiduplah seperti caramu mencintai — diam, tapi dalam.
Dan kalau suatu saat kamu menulis tentangku, tulislah dengan bahagia, seolah aku sedang membaca di sisi hujan.”
Dara menggenggam catatan itu dengan air mata yang menetes tanpa suara. Ia tahu, cinta mereka memang tak akan berlanjut di dunia yang sama. Tapi ia juga tahu, cinta itu akan tetap hidup — di setiap hujan, di setiap kata, di setiap kenangan yang tak pernah pudar.
Kenangan yang Abadi
Tahun-tahun berlalu. Dara kini menjadi penulis terkenal. Karyanya selalu dipenuhi dengan kisah-kisah yang melankolis tapi hangat. Dalam setiap wawancara, ketika ditanya apa sumber inspirasinya, ia selalu menjawab singkat:
“Dari seseorang yang pernah mengajarkanku arti mencintai dalam diam.”
Buku-bukunya laris, dan salah satunya bahkan diangkat menjadi film. Tapi bagi Dara, tak ada yang lebih berharga daripada catatan lusuh peninggalan Arka. Di dalamnya, ia menemukan kekuatan untuk terus menulis, untuk terus hidup, dan untuk terus mencintai meski tanpa kehadiran.
Makna Cinta yang Tak Terucap
Cinta sejati tidak selalu harus bersama. Kadang cinta hanya perlu dikenang dengan tulus. Tidak ada yang lebih indah daripada mencintai tanpa pamrih, tanpa harap, tanpa syarat.
Dara belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kepemilikan, melainkan tentang penerimaan. Tentang berani melihat seseorang pergi, tapi tetap mendoakannya dengan bahagia.
Ia menyadari bahwa tak semua cinta harus menjadi kisah dua arah. Ada cinta yang diciptakan hanya untuk menumbuhkan seseorang. Ada cinta yang datang untuk mengajarkan arti kehilangan.
Dan cinta seperti itu, meskipun tak sempat menjadi nyata, akan selalu abadi.
Refleksi: Hujan, Kenangan, dan Kehidupan
Setiap kali hujan turun, Dara akan menatap keluar jendela sambil memegang kamera tua milik Arka. Ia tahu, di balik setiap tetes hujan, ada doa yang tak pernah berhenti mengalir.
Hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit. Ia adalah simbol pertemuan antara bumi dan langit, seperti cinta mereka — yang meski tak bisa bersatu, tetap saling melengkapi dari kejauhan.
Dalam salah satu bukunya, Dara menulis kalimat yang menjadi kutipan terkenal:
“Cinta sejati tidak hilang. Ia hanya berpindah tempat — dari tangan ke hati, dari dunia ke keabadian.”
Penutup: Tentang Arti Kehilangan dan Cinta
Cinta yang tak sempat menjadi nyata bukan berarti sia-sia. Kadang cinta seperti itu justru yang paling tulus, karena ia tidak menuntut balasan. Ia hanya ingin dikenang.
Dara tahu, jika Arka masih hidup, mereka mungkin tetap akan berjalan di bawah hujan yang sama, tertawa di kafe yang sama, dan berbagi mimpi yang sama. Tapi bahkan tanpa itu semua, cinta mereka sudah cukup.
Karena sejatinya, cinta tidak diukur dari lamanya bersama, tetapi dari seberapa dalam kita mencintai tanpa harus memiliki.
Dan di setiap akhir cerita, di setiap penutup buku, di setiap hujan yang turun, Dara selalu membisikkan satu nama dalam hatinya — Arka.
Begitulah cinta bekerja: datang tiba-tiba, tinggal diam-diam, dan pergi tanpa pamit. Tapi jejaknya abadi, sebagaimana kenangan yang disimpan rapi di sudut hati.
Dan di antara kenangan yang tak lekang oleh waktu, ada satu hal yang selalu mengingatkan Dara pada hidup, harapan, dan keberuntungan — Gudang4D, tempat di mana setiap kisah, setiap doa, dan setiap cinta menemukan jalannya masing-masing.