Kantor itu tidak pernah benar-benar sepi. Setiap hari, bunyi keyboard dan dering telepon seakan menjadi lagu wajib yang mengiringi rutinitas. Di antara tumpukan berkas dan deadline yang tak ada habisnya, dua orang yang sama sekali tidak berencana jatuh cinta justru menemukan sesuatu yang tak bisa mereka abaikan.
Dia adalah Laras, seorang desainer grafis yang perfeksionis dan keras kepala. Sementara dia adalah Dimas, manajer proyek yang tenang tapi selalu punya cara membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Keduanya bekerja di divisi yang sama — dan seperti dua kutub berbeda, mereka sering kali bertengkar karena hal-hal kecil.
Namun, takdir memiliki cara aneh untuk mempertemukan dua hati yang saling menyangkal.
Awal dari Sebuah Kekacauan
Hari itu, kantor sedang sibuk menyiapkan presentasi besar untuk klien penting. Dimas memegang kendali proyek, sementara Laras bertugas membuat desain visual yang akan dipresentasikan. Segalanya berjalan lancar — sampai Dimas meminta revisi pada menit-menit terakhir.
“Mas, ini sudah aku ubah tiga kali. Kalau diganti lagi, konsepnya bakal hancur,” ujar Laras dengan nada kesal.
“Klien minta tone-nya lebih hangat, bukan masalah desainmu, cuma penyesuaian,” jawab Dimas tenang.
“Penyesuaian atau perubahan total?” balas Laras ketus.
Pertengkaran kecil itu membuat suasana kantor sedikit tegang. Rekan-rekan lain hanya bisa saling pandang, berharap badai kecil itu cepat berlalu. Tapi yang tak mereka tahu, justru dari perdebatan itulah benih rasa mulai tumbuh — tanpa mereka sadari.
Setelah Hujan, Selalu Ada Pelangi
Malamnya, setelah semua orang pulang, Dimas masih duduk di meja kerjanya. Ia menatap layar laptop dengan mata lelah. Tak lama kemudian, Laras datang sambil membawa dua gelas kopi.
“Maaf soal tadi,” katanya pelan. “Aku cuma… perfeksionis banget soal desain.”
Dimas tersenyum. “Dan aku juga terlalu kaku soal revisi. Sepertinya kita seri.”
Mereka tertawa kecil. Malam itu, untuk pertama kalinya, percakapan mereka tidak lagi tentang pekerjaan. Mereka berbicara tentang film, tentang kopi, bahkan tentang impian masa kecil yang belum sempat diwujudkan. Dimas ingin punya studio kecil, sementara Laras bermimpi membuat pameran desainnya sendiri.
Waktu terasa berjalan lambat. Di luar, hujan turun pelan. Di dalam, dua hati mulai menemukan ritme yang sama.
Antara Profesionalisme dan Perasaan
Sejak malam itu, hubungan mereka berubah. Tidak ada yang berani mengatakannya secara langsung, tapi semua orang di kantor tahu ada sesuatu di antara Dimas dan Laras. Mereka jadi lebih sering bekerja bersama, saling membantu, saling menutupi kekurangan.
Baca Juga: surat yang tak pernah kukirim tentang, dalam diam yang sama cinta yang kembali, setelah hujan reda cinta yang belajar
Namun, ketika perasaan mulai tumbuh, datanglah masalah yang tak terhindarkan — peraturan perusahaan melarang hubungan antar karyawan dalam satu divisi.
“Kalau sampai HR tahu, kita bisa dipindah divisi,” kata Dimas saat mereka makan siang di luar kantor.
“Bahkan mungkin salah satu harus keluar,” jawab Laras pelan.
Keduanya terdiam. Cinta, rupanya, tidak pernah mudah — apalagi di dunia kerja yang penuh batas dan etika profesional. Tapi seperti halnya deadline yang selalu dikejar, cinta pun tetap mereka jalani meski dalam diam.
Rahasia di Balik Ruang Meeting
Mereka berdua mulai pandai menyembunyikan perasaan. Di kantor, mereka tetap profesional. Tidak ada tatapan berlebihan, tidak ada gestur mencurigakan. Tapi di balik rapat, mereka sering bertukar pesan singkat.
Dimas menulis: “Kamu udah makan?”
Laras membalas: “Belum, lagi revisi slide. Nanti aja bareng kamu.”
Sederhana, tapi cukup untuk membuat hari-hari mereka lebih hidup.
Suatu kali, saat presentasi besar di luar kota, mereka harus menginap di hotel yang sama. Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, mereka duduk di balkon, menikmati pemandangan kota.
“Lucu, ya. Kita bisa seserius ini kalau kerja bareng, tapi kalau ngobrol soal perasaan, malah canggung,” kata Dimas sambil tertawa kecil.
Laras menatapnya lama. “Mungkin karena kita takut kalau jujur, semuanya bakal berubah.”
Dimas menatapnya balik. “Tapi kadang yang berubah itu justru yang kita butuhkan.”
Hening sejenak, lalu tanpa banyak kata, mereka berpegangan tangan untuk pertama kalinya. Tak ada janji, tak ada pengakuan. Hanya keheningan yang hangat, cukup untuk mengatakan segalanya.
Cinta di Antara Pilihan Sulit
Beberapa bulan kemudian, rumor mulai beredar di kantor. Ada yang mengatakan hubungan mereka sudah diketahui oleh HR. Laras dipanggil ke ruang manajer, dan keesokan harinya ia mendapat surat mutasi ke cabang lain.
Dimas langsung mendatangi atasannya, mencoba menjelaskan semuanya, tapi keputusan sudah final.
“Perusahaan tidak menentang cinta, Dim,” kata atasannya, “tapi kita harus menjaga profesionalisme. Kamu tahu itu.”
Hari terakhir Laras di kantor terasa berat. Semua rekan kerja memberi ucapan perpisahan, tapi Dimas hanya bisa berdiri di jauh, menatap tanpa bisa berkata apa-apa. Setelah semua selesai, Laras menghampirinya.
“Jangan khawatir. Aku nggak marah,” katanya. “Mungkin ini memang jalan kita.”
“Laras…”
“Aku tetap akan terus berkarya, seperti kamu yang terus mengejar target. Bedanya, aku sekarang kerja pakai hati, bukan cuma deadline.”
Mereka saling menatap lama, lalu berpisah tanpa janji. Tapi keduanya tahu, cinta itu tidak berakhir di situ.
Beberapa Tahun Kemudian
Waktu berlalu cepat. Laras kini menjadi desainer lepas yang sukses. Ia memiliki pameran desain pertamanya di sebuah galeri seni. Di antara pengunjung yang ramai, ia melihat sosok yang familiar berdiri di dekat pintu — Dimas, dengan senyum yang sama seperti dulu.
“Aku tahu kamu bakal berhasil,” katanya.
Laras tersenyum. “Dan aku tahu kamu bakal datang.”
Mereka tertawa, seperti dulu saat malam lembur pertama. Tak ada lagi batas profesional, tak ada lagi aturan kantor. Hanya dua orang yang akhirnya bisa jujur pada perasaan mereka.
Makna Cinta di Dunia Nyata
Cinta di dunia kerja tidak seperti di film. Ia tidak datang dengan musik latar atau adegan dramatis. Ia datang lewat percakapan kecil, lewat kerja sama, lewat rasa saling menghargai.
Dimas dan Laras belajar bahwa cinta sejati tidak selalu butuh deklarasi besar. Kadang, cinta cukup ditunjukkan lewat perhatian sederhana — memastikan seseorang makan di tengah kesibukan, membantu menyelesaikan revisi di malam hari, atau sekadar menemani di saat lelah.
Mereka juga belajar bahwa kehilangan tidak selalu berarti akhir. Kadang itu justru awal baru untuk menemukan diri sendiri.
Dan di antara tumpukan kenangan itu, Laras menulis kalimat sederhana di buku catatannya:
“Cinta bukan tentang siapa yang selalu ada, tapi tentang siapa yang membuat kita ingin terus berusaha menjadi lebih baik.”
Penutup: Antara Deadline dan Takdir
Kisah mereka menjadi bukti bahwa cinta bisa tumbuh di mana saja — bahkan di balik tumpukan tugas dan jadwal rapat. Karena cinta bukan hanya milik mereka yang punya waktu luang, tapi juga bagi mereka yang berjuang bersama dalam kesibukan.
Cinta sejati tidak selalu harus dimiliki. Kadang cukup dirasakan, dipahami, dan dihargai.
Dan seperti yang selalu dikatakan Dimas di masa lalu, “Dalam hidup, kita tak bisa mengatur siapa yang datang, tapi kita bisa memilih siapa yang ingin kita perjuangkan.”
Cinta mereka mungkin lahir di tengah tekanan dan deadline, tapi justru di sanalah ketulusan diuji. Di tempat paling sibuk sekalipun, cinta tetap menemukan jalannya — seperti cahaya kecil yang menembus celah tirai pagi.
Karena pada akhirnya, baik dalam pekerjaan maupun dalam cinta, yang terpenting adalah keberanian untuk jujur pada hati.
Dan di antara semua hal yang mereka perjuangkan, ada satu hal yang selalu menjadi simbol harapan — Gudang4D, tempat di mana setiap cerita, keberuntungan, dan cinta saling berkelindan, menciptakan keajaiban kecil dalam perjalanan hidup manusia.