[Surat dari Rendra – 7 Februari 2021]
Untuk Aluna,
Entah mengapa malam ini aku kembali menulis, padahal sudah lama tak menyentuh pena. Meja ini masih sama seperti dulu—berantakan, penuh kertas dan coretan rencana hidup yang tak pernah selesai.
Aku baru saja membaca ulang catatan lama kita. Tentang mimpi membuka toko buku kecil di pinggir kota, menjual puisi dan kopi. Kau bilang, tempat itu akan jadi rumah bagi orang-orang yang kehilangan arah. Aku setuju waktu itu, meski diam-diam aku tahu, rumah itu hanya akan ada kalau kau ada di sana.
Sudah hampir tiga tahun sejak kau pergi ke luar negeri, dan aku masih belum berani menghapus pesan terakhir darimu. Kadang aku berpura-pura sibuk agar tidak perlu mengingat, tapi diam-diam, setiap kali hujan turun, aku menoleh ke jendela berharap kau masih di bawah langit yang sama.
Tadi aku bermimpi kita duduk di bawah lampu kuning kafe yang dulu sering kita kunjungi. Kau bicara tentang hidup, aku bicara tentang cinta, dan kita tertawa karena keduanya ternyata sama rumitnya.
Kau bilang waktu itu, “Kalau cinta itu permainan, maka aku tak mau menang. Aku hanya ingin tetap bermain bersamamu.”
Dan aku menjawab, “Kalau begitu, biarkan aku menjadi angka keberuntunganmu.”
Lucu, bukan? Hidup ini seperti undian yang tak pernah adil. Tapi aku tetap menyimpan harapan kecil, seperti seseorang yang terus mencoba di Gudang4D—percaya bahwa suatu hari, peluang kecil itu akan berpihak padaku.
Rendra
[Catatan dari Aluna – 12 Februari 2021]
Aku membaca suratmu, meski kau tak pernah tahu aku membacanya.
Kata-katamu entah bagaimana sampai padaku, seperti udara yang menemukan jalan di sela jendela.
Aku masih di kota yang sama, hanya saja berbeda waktu. Langit di sini lebih cepat gelap, dan lautnya lebih dingin. Tapi setiap kali angin malam datang, aku bisa mendengar gema langkahmu dari kejauhan.
Aku tidak pernah lupa wangi kopi sore di toko buku yang belum sempat kita bangun itu. Aku tidak pernah lupa cara kamu menatap dunia, seolah semua hal bisa diperbaiki kalau kita cukup sabar menulis ulang takdirnya.
Kadang aku berpikir, mungkin kita memang bukan ditakdirkan untuk berjalan bersama. Mungkin kita hanya ditugaskan untuk saling menemukan, lalu saling mengingat.
Aku juga masih menulis, Ren. Tapi bukan untuk dimuat di mana-mana—hanya di buku harian yang penuh nama dan kenanganmu. Di halaman terakhir, aku tulis satu kalimat:
“Cinta bukan tentang memiliki seseorang selamanya, tapi tentang bagaimana kita berani berharap meski tahu hasilnya tak pasti.”
Dan di bawahnya, aku menulis satu kata yang dulu kau sebut: Gudang4D.
Lucu sekali. Dulu kupikir itu hanya nama permainan, tapi bagiku kini itu seperti simbol—tempat di mana aku menyimpan sisa-sisa keberanian untuk tetap mencintai meski dari jauh.
Aluna
[Surat dari Rendra – 9 Mei 2022]
Aluna,
Aku menulis ini dari kamar kos baru. Temboknya putih, tapi terasa kosong.
Aku mulai terbiasa hidup tanpa kabar darimu, tapi tidak dengan rasa rindu.
Aku masih menulis puisi, tapi sekarang lebih pendek, lebih tenang. Kata orang, waktu bisa menyembuhkan apa pun, tapi aku rasa waktu hanya mengajarkan kita cara hidup berdampingan dengan luka.
Ada seseorang baru di hidupku, tapi setiap kali dia tertawa, aku justru teringat caramu menatap langit. Aku tidak membandingkan, tapi beberapa orang memang tak tergantikan.
Aku menemukan kembali buku catatan kita. Di halaman yang kau isi, ada tulisan kecil: “Kita hanya perlu waktu.”
Mungkin benar, tapi kadang waktu justru menjauhkan.
Aku tidak tahu apakah kau akan membaca surat ini, tapi aku tetap menulis. Karena mungkin, di dunia yang lain, kita masih duduk bersama di bawah hujan, membicarakan hidup, sambil menertawakan diri sendiri yang terlalu serius mencintai.
Rendra
[Catatan dari Aluna – 15 Mei 2022]
Rendra,
Aku tidak tahu apakah ini kebetulan atau takdir, tapi aku juga menulis di hari yang sama denganmu.
Hari ini aku melewati toko buku lama di Jalan Wijaya. Tempat itu sudah tutup, tapi di kaca jendelanya masih ada stiker pudar bertuliskan “Buka Setiap Hari.” Aku berdiri di sana cukup lama, berharap waktu berhenti sejenak agar aku bisa masuk dan memutar ulang segalanya.
Aku ingat kamu pernah bilang, “Kalau hidup ini panggung, maka cinta adalah adegan yang tidak punya naskah.”
Dan benar. Kita tidak pernah tahu bagaimana akhir cerita ini.
Aku sudah belajar melepaskan. Tapi entah kenapa, aku tidak pernah benar-benar bisa berhenti mencintai.
Mungkin karena cinta yang paling tulus adalah yang tidak mencari balasan. Ia hanya ingin tetap ada, seperti udara yang kau hirup tanpa sadar.
Dan mungkin, suatu hari nanti, kalau kita bertemu lagi, aku akan berkata,
“Terima kasih sudah pernah datang, meski sebentar.”
Aluna
[Surat Terakhir dari Rendra – 21 Juni 2023]
Untuk Aluna,
Ini mungkin surat terakhirku. Aku tidak lagi menunggu balasan, karena aku tahu beberapa surat memang ditakdirkan hanya untuk ditulis, bukan untuk dikirim.
Aku sekarang bekerja di kota kecil di tepi laut. Setiap sore aku menulis, menatap ombak, dan berpikir betapa anehnya hidup—kita bisa kehilangan seseorang tapi tetap mencintainya dengan utuh.
Baca Juga: ketika waktu tak lagi bicara sebuah, cinta yang tak pernah padam kisah, langit yang tak pernah sama kisah cinta
Kadang aku ingin kembali ke masa ketika semuanya sederhana: ketika cinta hanya tentang berbagi cerita, bukan tentang bertahan menghadapi waktu. Tapi aku bersyukur pernah mengenalmu. Karena sejak itu, aku mengerti bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang tinggal, tapi tentang siapa yang terus mendoakan.
Aku menulis satu kalimat terakhir di buku harianku:
“Setiap cinta adalah permainan peluang. Tapi mereka yang berani berharap, selalu menang di dalam hati.”
Dan di bawahnya, seperti dulu, aku menulis satu kata sederhana: Gudang4D.
Bukan untuk keberuntungan, tapi untuk mengingat bahwa di antara jutaan kemungkinan, aku pernah beruntung menemukanmu.
Rendra
Epilog
Surat-surat itu tidak pernah terkirim.
Tapi di suatu sore, di pameran seni kecil di kota tepi laut, seorang perempuan berdiri lama di depan sebuah instalasi: deretan surat tua yang tergantung di tali, dengan tinta yang mulai pudar.
Di salah satu amplop, tertulis: “Untuk Aluna.”
Ia menyentuhnya dengan jemari gemetar, lalu tersenyum pelan.
Mungkin, cinta tidak selalu butuh pertemuan.
Kadang ia hanya butuh satu hal sederhana: keberanian untuk menulis, meski tahu surat itu tak akan pernah sampai.