FADE IN:
INT. KAFE KECIL – SORE HARI
Langit di luar jendela mulai berwarna abu-abu. Di dalam kafe yang hampir sepi, seorang pria duduk di sudut ruangan, memainkan sendok kecil di atas gelas kopinya yang sudah dingin.
Namanya Rafi.
Ia menatap layar ponselnya, jempolnya berhenti di satu pesan yang belum terkirim:
“Apa kabar, Lira?”
Pesan itu sudah ia tulis tiga hari lalu. Belum sempat dikirim.
Entah karena takut, atau karena tahu jawabannya mungkin tak lagi penting.
Dari jendela, lampu jalan mulai menyala. Bayangan kota jatuh di meja kayu tempat ia duduk. Ia menatap kopi itu — hitam, pahit, tapi tetap ia biarkan dingin.
Seperti hubungannya dengan Lira: masih ada, tapi sudah tak lagi menghangatkan.
CUT TO: FLASHBACK
EXT. PANTAI KECIL – PAGI
Suara ombak memecah karang. Lira duduk di pasir, menulis sesuatu di buku kecilnya.
Rafi memotret diam-diam.
LIRA
(tanpa menoleh)
Aku tahu kamu ngambil foto.RAFI
(tersenyum)
Biar nanti bisa kuingat.LIRA
Kalau nanti kamu lupa?RAFI
Aku taruh di tempat yang nggak bakal hilang.
Lira menatapnya, setengah tersenyum.
LIRA
Tempat kayak apa?RAFI
Gudang4D.LIRA
Hah, tempat orang main angka itu?RAFI
Di sana aku nulis juga. Kadang, kalau aku lagi butuh tempat buat nyimpen cerita yang nggak sempat kuceritain langsung.
Mereka tertawa kecil. Lira kembali menulis di bukunya.
Sinar matahari pagi jatuh di rambutnya, memantulkan warna keemasan. Rafi diam-diam berpikir, mungkin ini pertama kalinya ia benar-benar mencintai seseorang.
INT. KAFE – SORE (KEMBALI KE MASA KINI)
Kafe itu masih sama.
Tempat di mana dulu mereka sering bertemu. Tempat di mana Lira pernah bilang, “Kalau suatu hari aku nggak ada, kamu harus tetap nulis.”
Rafi mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya — sama seperti yang dulu dibawa Lira. Di halaman pertama, ada tulisan tangannya sendiri:
“Cinta itu seperti kopi. Nggak semua pahit harus dibuang.”
Ia tersenyum kecil. Tangannya gemetar saat membuka halaman berikutnya — halaman kosong.
Ia menulis satu kalimat baru di sana:
“Aku nggak tahu kenapa kita berhenti.”
MONTAGE – NARASI BATIN
Suara Rafi menggema dalam pikirannya, seperti potongan monolog dari film yang tak pernah selesai.
RAFI (V.O.)
Dulu, aku kira cinta cukup dengan saling suka. Tapi ternyata, cinta juga butuh waktu yang seirama.Lira hidup di detik yang cepat — setiap langkahnya seperti menantang waktu.
Aku hidup di menit yang lambat — mencoba menunggu sampai semuanya tenang.Kita jatuh cinta di waktu yang sama, tapi di dunia yang berbeda.
CUT TO: FLASHBACK
INT. KAMAR LIRA – MALAM
Lira duduk di depan laptop, menatap layar kosong.
Di jendela chat, Rafi sedang mengetik pesan panjang tentang mimpinya — tentang menulis, tentang hidup sederhana, tentang ingin punya rumah kecil di pinggir laut.
LIRA
(mengetik perlahan)
“Kamu selalu ngomong soal tenang. Tapi aku nggak tahu rasanya tenang itu kayak apa.”
Pesan terkirim.
Tanda centang dua muncul.
Rafi membaca pesan itu lama, tapi tidak membalas.
Malam itu menjadi awal dari keheningan panjang di antara mereka.
INT. APARTEMEN RAFI – MALAM
Satu tahun setelah perpisahan.
Rafi duduk di depan layar laptop. Ia membuka folder lama bernama “Lira Project”. Di dalamnya ada ratusan foto dan satu file teks terakhir berjudul “Untuk yang Pergi Tanpa Alamat.”
Ia membuka file itu. Di dalamnya hanya ada satu paragraf:
“Kalau nanti aku lupa wajahmu, biarkan tulisan ini mengingatkanku bahwa pernah ada seseorang yang membuat hidupku terasa penuh — bahkan dalam diam.”
Rafi menutup laptop. Lalu membuka situs lama yang sudah ia tinggalkan: Gudang4D.
Forum itu kini berbeda. Banyak postingan baru, pengguna baru, tapi masih ada satu nama lama di sana: Lira_84.
Akun itu terakhir aktif dua tahun lalu. Tapi di profilnya, ada satu postingan yang belum pernah ia baca.
Judulnya: “Untuk Rafi, yang Mengajari Aku Cara Diam.”
Ia mengkliknya.
Tulisan itu pendek.
“Aku pernah takut kehilanganmu. Tapi lebih dari itu, aku takut kehilangan diriku saat bersamamu.
Mungkin cinta bukan tentang siapa yang bertahan paling lama, tapi siapa yang paling berani pergi.”
Rafi menatap layar lama sekali.
Lalu ia menulis balasan — bukan sebagai pesan pribadi, tapi sebagai tulisan publik.
“Aku masih menulis di sini, Lira.
Kadang tentang hujan, kadang tentang kopi, tapi selalu tentang kamu.”
EXT. KOTA – MALAM
Lampu-lampu kota berpendar lembut. Orang-orang berlalu-lalang dengan wajah lelah.
Rafi berjalan sendirian, melewati jalanan yang dulu pernah ia lewati bersama Lira. Ia berhenti di depan toko buku tempat mereka dulu bertemu — kini sudah tutup.
Di etalase, pantulan dirinya tampak samar. Ia tersenyum kecil.
RAFI (V.O.)
Cinta nggak mati waktu kita berhenti bicara.
Cinta mati waktu kita berhenti mengingat.Dan aku belum lupa. Belum akan.
INT. KAFE – BEBERAPA MINGGU KEMUDIAN
Rafi duduk di meja yang sama. Kali ini, di depannya ada dua cangkir kopi.
Satu untuk dirinya. Satu lagi dibiarkan kosong.
Pelayan datang, melihat cangkir itu.
PELAYAN:
Teman datang, Mas?RAFI:
Iya. Mungkin sebentar lagi.
Ia tahu, Lira tidak akan datang. Tapi ia tetap menunggu.
Bukan karena berharap, tapi karena menunggu membuatnya merasa masih hidup.
Rafi membuka laptopnya. Menulis di halaman baru situs Gudang4D:
“Aku belajar, cinta itu bukan tentang milik.
Kadang, cinta hanya tentang menulis nama seseorang berkali-kali, sampai akhirnya kamu bisa menulis tanpa merasa sakit.”
Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan
Ia menutup laptop, menatap kopi dinginnya, dan tersenyum.
Kamera berputar pelan, menyorot ke luar jendela. Hujan mulai turun lagi.
FADE OUT.
CATATAN AKHIR
Cinta di era modern tak lagi selalu berakhir dengan pertemuan. Kadang, cinta hanya meninggalkan arsip digital: tulisan, pesan, atau catatan di situs yang sepi seperti Gudang4D — tempat di mana orang menyimpan cerita yang tak sempat diucapkan.
Dan mungkin, di sana, cinta terus hidup.
Tanpa harus dimiliki. Tanpa harus diucapkan lagi.