Surat yang Tak Pernah Sampai

Telah lewat bertahun lamanya sejak aku terakhir menulis surat ini. Barangkali engkau tak akan pernah membacanya, mungkin pula ia akan tenggelam di antara lembar-lembar waktu yang semakin usang. Namun, biarlah pena ini berbicara; sebab dalam diamnya malam, ada kerinduan yang tak mampu kusembunyikan lagi.

Namaku Satria, dan di antara begitu banyak cerita yang telah kulalui, hanya kisah bersamamu, Ratna, yang selalu kembali menepi di sudut ingatan. Kisah yang sederhana, namun tak pernah benar-benar berakhir. Barangkali karena cinta, seperti halnya kenangan, tak mengenal kata selesai.

Pertemuan di Tengah Hujan

Aku masih ingat hari itu — langit tampak muram, dan hujan turun tanpa jeda. Aku berteduh di depan toko buku kecil di pinggir jalan kota. Di sanalah engkau datang, dengan rambut yang basah dan mata yang seolah menyimpan langit yang sama kelamnya.
Kita tak saling mengenal, tapi ketika engkau meminjamkan sapu tanganmu yang basah itu, aku tahu sesuatu telah berubah di dalam diriku.

Kita berbicara sebentar, sekadar basa-basi antara dua orang asing yang sama-sama menunggu reda. Namun, setiap kata yang keluar dari bibirmu seolah menandai sesuatu yang akan tumbuh — pelan, namun pasti.
Engkau mencintai buku, puisi, dan segala hal yang tenang. Sementara aku hanyalah lelaki yang sibuk dengan pekerjaan dan angka-angka, yang tak mengerti betapa indahnya diam di antara kata.

Hari itu, engkau menuliskan namamu di selembar kertas kecil, bersama sebuah catatan:

“Jika suatu hari kau ingin berbagi cerita, carilah aku di ruang sunyi bernama Gudang4D. Aku sering di sana.”

Aku tak mengerti apa maksudmu saat itu. Namun ketika malam tiba dan aku membuka laman dunia maya itu, aku menemukannya — sebuah forum tempat orang berbagi tulisan, mimpi, dan kenangan yang tak sempat disampaikan langsung. Di sanalah, lewat tulisan-tulisan yang sederhana, kita mulai saling mengenal.

Cinta yang Lahir dari Kata-kata

Hari-hari berikutnya kita habiskan dalam percakapan panjang, tidak dengan suara, melainkan dengan huruf.
Engkau menulis tentang senja, tentang bunga melati yang mekar di halaman rumahmu, tentang kesepian yang kadang tak bisa dijelaskan. Aku menulis tentang lelahnya hidup, tentang pekerjaan yang tak memberi ruang bagi hati untuk bernafas, dan tentang seseorang yang diam-diam membuatku ingin menulis lagi — engkau.

Cinta itu tumbuh dari kata-kata. Tidak ada sentuhan, tidak ada pertemuan. Tapi setiap kali aku membaca tulisanmu, aku merasa seperti mengenalmu lebih dalam daripada siapa pun di dunia nyata.
Ada sesuatu yang tulus dalam caramu memandang hidup; engkau tidak pernah menulis untuk didengar, tetapi untuk mengingatkan bahwa setiap rasa layak diucapkan, meski dalam sunyi.

Aku masih ingat satu pesan darimu yang paling tak bisa kulupakan:

“Jangan menulis karena ingin dimengerti. Tulis karena kau ingin tetap hidup di antara kalimat-kalimatmu.”

Kalimat itu menancap di dadaku, menjadi doa yang tak lekang waktu.

Saat Dunia Mengubah Segalanya

Namun sebagaimana semua kisah, waktu pun datang membawa jarak.
Kita mulai jarang menulis. Pekerjaan menyita waktuku, sementara engkau mulai sibuk dengan duniamu sendiri. Aku masih membaca tulisanmu di Gudang4D, tapi kini ada jarak di antara setiap kalimatmu — seolah engkau berbicara kepada dunia, bukan lagi kepadaku.

Suatu malam aku memberanikan diri menulis pesan pribadi:

“Ratna, apakah kau masih menulis untukku?”

Pesan itu tak pernah dijawab.
Beberapa hari kemudian, akunmu menghilang dari forum. Tak ada penjelasan, tak ada tanda. Hanya hening.
Dan sejak malam itu, aku tahu, aku telah kehilangan seseorang yang bahkan belum sempat kugenggam.

Bertahun kemudian, aku mencoba melupakanmu. Aku bekerja, bepergian, mencoba mencintai orang lain. Tapi setiap kali hujan turun, bayanganmu selalu datang — wajah yang lembut, suara yang hanya kutahu dari imajinasi, dan kata-kata yang dulu membuatku ingin hidup.

Surat yang Tertinggal

Suatu sore, ketika aku sedang membersihkan lemari tua, aku menemukan kembali kertas kecil itu — yang dulu engkau tulis dengan tinta hitam, dengan nama “Gudang4D” di bawahnya.
Entah kenapa, dorongan untuk membuka kembali laman itu muncul begitu kuat.
Dan di sana, di antara ribuan tulisan baru, aku menemukan satu unggahan lama yang tak pernah kulihat sebelumnya. Judulnya: “Surat untuk yang Pernah Menulis Aku.”

Aku membaca perlahan, dan setiap kalimatnya seperti menembus waktu:

“Jika kau membaca ini, mungkin aku sudah tidak di sini lagi. Tapi ketahuilah, setiap kata yang kau tulis dulu tidak pernah sia-sia. Aku menulis bukan untuk diingat, tapi agar kau tak merasa sendirian di dunia yang dingin ini.
Cinta tak selalu membutuhkan tatap, cukup dengan keyakinan bahwa di suatu tempat, ada seseorang yang memikirkanmu dalam diam.”

Aku berhenti membaca di tengah paragraf itu. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan — antara kehilangan dan kelegaan.
Lalu aku melihat tanda tangan kecil di bawah tulisan itu: Ratna, 2019.

Waktu seolah berhenti.
Tahun itu adalah tahun terakhir aku melihat namamu.

Di Bawah Langit yang Sama

Kini, lima tahun telah berlalu sejak surat itu kutemukan. Aku tidak lagi mencari sosokmu di dunia maya, tidak lagi menunggu jawaban yang tak akan datang. Tapi aku masih menulis, Ratna — bukan untukmu, melainkan karena engkau telah mengajariku caranya bertahan lewat kata.
Setiap kali aku menulis di Gudang4D, aku selalu membayangkan engkau duduk di sisi lain layar, tersenyum melihat setiap kalimat yang kutulis.

Baca Juga: Sebuah janji di balik kopi, kala senja di ujung jalan cinta, kisah cinta di balik hujan

Kadang aku berpikir, mungkin cinta memang tidak harus memiliki wujud. Ia bisa hidup di antara kalimat, di antara pikiran, dan di antara mereka yang tak sempat bertemu.
Engkau datang seperti hujan — sebentar, tapi membawa kehidupan. Dan meski kini langit telah cerah, aroma hujan itu tak pernah hilang dari ingatanku.

Penutup

Maka, surat ini kutulis bukan untuk mencari kembali apa yang hilang, melainkan untuk berterima kasih.
Karena lewat pertemuan singkat dan kata-kata sederhana di ruang kecil bernama Gudang4D, aku belajar bahwa cinta tidak harus dimiliki untuk tetap abadi.
Ia cukup diingat, cukup dirasakan, dan cukup ditulis — agar suatu hari nanti, ketika dunia melupakan segalanya, masih ada satu cerita kecil tentang dua jiwa yang pernah saling menemukan di antara hujan dan sunyi.

Dan bila benar roh kenangan masih berkelana di antara bintang-bintang malam, kuharap engkau membaca surat ini dari sana.
Karena di dunia ini, aku masih menulis — dan setiap kata yang kutulis, masih tentang engkau.


on October 22, 2025 by pecinta handal |