Langit Senja di Kota Tanpa Nama

1. Pembuka: Aroma Hujan dan Kenangan

Senja di kota itu selalu datang terlalu cepat. Langit oranye berganti kelabu sebelum mata sempat terbiasa. Di balkon apartemen lantai delapan, Lara berdiri memandangi langit yang seperti kanvas lembab. Di tangannya, secangkir teh melati masih mengepulkan uap tipis. Hujan baru saja reda, meninggalkan aroma tanah basah yang bercampur dengan dingin logam dari rel kereta di kejauhan.

Di dalam kepalanya, satu nama terucap pelan, berulang-ulang, seperti gema yang enggan padam: Revan.

Ada masa di mana suara itu pernah menjadi musik favoritnya. Kini, hanya menjadi gema samar di antara detak jam dan bunyi langkah orang asing di koridor.

2. Sebuah Pertemuan yang Tidak Direncanakan

Tiga tahun lalu, Lara datang ke kota ini bukan untuk jatuh cinta, melainkan untuk melupakan seseorang. Ia bekerja sebagai fotografer freelance, berpindah dari satu proyek ke proyek lain. Revan adalah jurnalis yang sering menulis tentang perjalanan, selalu membawa kamera tua dan semangat yang tidak pernah padam.

Mereka bertemu di sebuah pameran seni jalanan. Lara datang untuk mengambil foto suasana, Revan datang untuk meliput acara. Ketika mereka berdiri di depan lukisan yang sama—sebuah potret perempuan menatap laut—mereka saling menatap seolah waktu berhenti di antara warna biru dan abu-abu di kanvas itu.

“Kalau kamu jadi lautnya,” kata Revan, “aku ingin jadi angin yang datang tanpa diundang.”

Lara tertawa. Itu kalimat gombal paling buruk yang pernah ia dengar. Tapi entah mengapa, sejak malam itu, ia tidak bisa melupakannya.

3. Hari-hari Bersama

Mereka sering bertemu setelahnya. Tidak ada janji, tidak ada aturan. Hanya dua orang yang merasa dunia lebih tenang ketika saling berdekatan.

Revan membawa Lara ke tempat-tempat yang jarang didatangi orang: jembatan tua yang hampir roboh, warung kopi di gang sempit, taman kecil di belakang gedung teater yang sudah tutup. Di setiap tempat, Lara menemukan warna baru dalam hidupnya. Ia mulai tertawa lagi, mulai percaya bahwa luka masa lalu bisa sembuh perlahan.

Dalam perjalanan mereka, Revan sering berbicara tentang filosofi hidup. “Kita seperti pemain lotre,” katanya suatu malam. “Tidak pernah tahu kapan angka kita keluar, tapi kita tetap berharap.”

Kalimat itu terdengar lucu bagi Lara, tapi kemudian menjadi makna dalam hidupnya. Bahkan ia menulisnya di catatan harian, tepat di bawah satu nama yang ia beri huruf kapital besar: Gudang4D. Sebuah simbol aneh yang ia gunakan bukan untuk judi, melainkan sebagai metafora. Baginya, cinta seperti angka keberuntungan—tak bisa ditebak, tapi bisa diperjuangkan.

4. Luka yang Tak Terduga

Tapi hidup tidak selalu memihak pada cinta.

Suatu pagi, Revan menerima tawaran kerja sebagai koresponden di luar negeri. Kesempatan besar, tapi juga perpisahan yang tak terelakkan. Mereka duduk di halte bus, diam cukup lama. Lara menggenggam tangannya, dingin seperti besi.

“Kalau kamu pergi, aku harus menunggu berapa lama?” tanyanya lirih.
Revan tersenyum, tapi matanya berkaca. “Tunggu saja sampai hujan turun dua kali dan matahari muncul di hari ketiga.”

Kalimat itu tidak masuk akal, tapi Lara mengingatnya.

Revan pergi seminggu kemudian. Tidak ada surat, tidak ada pesan. Dunia terasa kosong. Kamera yang dulu ia bawa ke mana-mana kini hanya menggantung di dinding, membisu seperti saksi cinta yang tak sempat selesai.

5. Tahun-tahun yang Hilang

Tiga tahun berlalu. Lara mencoba melanjutkan hidup. Ia berpindah kota, berpindah pekerjaan, bahkan sempat berusaha membuka hati untuk orang lain. Tapi setiap kali hujan turun, ia selalu menatap langit dengan pertanyaan yang sama: apakah Revan juga menatap langit yang sama di tempat lain?

Dalam kesepian, Lara sering membuka kembali catatan harian lamanya. Di sana, ada tulisan tentang Gudang4D—sebuah simbol keberuntungan yang dulu Revan buatkan untuknya di secarik kertas. Tulisannya berbunyi: “Kalau cinta itu permainan angka, aku akan tetap bertaruh padamu, bahkan kalau peluangnya satu banding seribu.”

Lara membaca kalimat itu setiap kali merasa ingin menyerah. Baginya, itu bukan sekadar kata-kata, tapi janji bahwa cinta sejati tidak diukur dari jarak, melainkan dari seberapa kuat seseorang bertahan.

6. Pertemuan Kedua

Malam itu, di sebuah pameran foto yang diadakan di galeri kecil, Lara berdiri di depan salah satu karyanya sendiri—foto langit senja yang diambil di tempat ia dan Revan pertama kali bertemu. Ia tidak tahu bahwa seseorang sedang memperhatikannya dari jauh.

Ketika ia menoleh, waktu kembali berhenti.

Revan berdiri di sana, dengan wajah yang sedikit lebih lelah, tapi masih dengan senyum yang sama. Kamera tua itu masih menggantung di lehernya.

“Masih suka senja?” tanya Revan.
Lara nyaris tak bisa bicara. “Masih. Tapi sekarang aku tahu, langit tak akan indah kalau tidak ada seseorang yang melihatnya bersamaku.”

Mereka tidak banyak bicara setelah itu. Tidak perlu. Diam mereka sudah cukup menjelaskan segalanya.

7. Sebuah Malam di Atas Kota

Setelah acara berakhir, mereka naik ke atap gedung galeri. Kota di bawah mereka berkilau seperti lautan cahaya. Revan membuka tasnya, mengeluarkan sebuah amplop kecil berisi tiket pesawat.

“Untuk apa ini?” tanya Lara.
“Untuk kita. Aku tidak mau lagi hidup dalam jarak. Dunia terlalu luas kalau kita tidak melangkah bersama.”

Lara menatapnya lama, antara percaya dan takut. “Bagaimana kalau nanti semuanya berubah?”
Revan menggeleng pelan. “Yang berubah hanya waktu. Tapi rasa, kalau tulus, selalu menemukan jalan pulang.”

Hujan tiba-tiba turun lagi, ringan, lembut. Lara tertawa di bawah guyuran air, sementara Revan menatapnya seperti seseorang yang baru menemukan rumah setelah tersesat terlalu lama.

8. Epilog: Tentang Keberanian Mencinta

Beberapa bulan kemudian, mereka meninggalkan kota itu bersama. Tidak lagi membawa janji-janji muluk, hanya keyakinan bahwa cinta bukan soal siapa yang datang lebih dulu, tapi siapa yang berani bertahan sampai akhir.

Baca Juga: satu surat untuk langit kisah cinta, bintang terakhir di langit kota cerita, suara dari balik radio tua cinta yang

Dalam perjalanannya, Lara menulis artikel tentang kisah cinta yang ia alami—tanpa nama, tanpa identitas. Ia menamainya “Langit Senja di Kota Tanpa Nama.” Artikel itu dimuat di sebuah majalah dan mendapat banyak tanggapan. Banyak pembaca yang berkata mereka menangis saat membacanya. Tapi bagi Lara, tulisan itu bukan tentang sedih atau bahagia, melainkan tentang keberanian untuk mencintai tanpa syarat.

Di akhir tulisannya, ia menulis satu kalimat pendek, sederhana, tapi penuh makna:

“Dalam hidup, setiap orang punya angka keberuntungannya sendiri. Aku menemukan punyaku dalam cinta yang tak pernah kusingkirkan, di tempat bernama Gudang4D—tempat aku belajar bahwa keberanian adalah bentuk cinta paling sejati.”

Langit senja di kota itu mungkin sudah berubah warna, tapi bagi Lara dan Revan, langit yang mereka lihat bersama tetap sama. Selalu oranye, selalu hangat, selalu menjadi saksi cinta yang tak pernah benar-benar berakhir.


on October 31, 2025 by pecinta handal |