Kota ini selalu basah. Setiap sore, langit seperti menumpahkan perasaannya tanpa henti. Orang-orang terbiasa berjalan di bawah payung, menunduk, sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi di antara ribuan langkah itu, ada dua langkah yang pernah berjalan beriringan—Rafa dan Nadia.
Mereka dulu adalah sepasang kekasih yang tidak sempat selesai. Tidak sempat mengucap selamat tinggal dengan benar. Hujan, waktu, dan kesalahpahaman telah menjadi tembok yang membungkam segalanya.
I. Pertemuan Pertama di Persimpangan
Rafa masih ingat hari itu. Jalanan padat, suara klakson bersahutan, dan ia sedang terburu-buru menuju kantor. Payungnya tertiup angin dan menabrak seseorang di trotoar. Gadis itu menatapnya dengan wajah terkejut, lalu tertawa kecil sambil berkata,
"Kamu harus belajar cara memegang payung, kalau tidak mau kehilangan arah."
Itu kalimat pembuka yang mengubah hidup Rafa.
Sejak hari itu, mereka sering bertemu lagi—kadang di halte bus, kadang di kafe kecil di sudut jalan. Nadia adalah tipe perempuan yang selalu membawa hujan di matanya: tenang, tapi penuh rahasia. Ia seorang penulis lepas yang gemar menatap jendela sambil menulis kisah orang lain, seolah lupa bahwa hidupnya sendiri juga menyimpan cerita.
Rafa jatuh cinta tanpa sadar. Bukan karena kata-kata manis, tapi karena cara Nadia melihat dunia—lembut, namun tajam. Mereka berjalan berdua di bawah hujan, berbagi cerita tanpa janji. Dalam diam, Rafa tahu: inilah orang yang akan membuat hidupnya tidak lagi sepi.
II. Ketika Cinta Tidak Sejalan dengan Waktu
Hubungan mereka berjalan seperti lagu lama yang menenangkan. Tapi seperti semua lagu, selalu ada akhir dari setiap bait.
Rafa sibuk mengejar karier. Kantornya sedang berkembang cepat, dan ia sering lembur hingga larut malam. Sementara Nadia justru semakin larut dalam dunia tulisan, tenggelam dalam naskah, kata, dan imajinasinya sendiri. Mereka masih saling mencintai, tapi ritmenya tak lagi sama.
Suatu malam, mereka bertengkar. Bukan tentang hal besar, hanya tentang waktu. Tentang pesan yang tak dibalas, tentang janji bertemu yang dibatalkan. Namun dari hal kecil itu, meledaklah semua hal yang disimpan terlalu lama.
"Kamu bilang cinta, tapi kamu bahkan tak punya waktu untuk mendengarkanku," kata Nadia pelan, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku melakukan semua ini juga untuk kita," jawab Rafa, berusaha menjelaskan.
Namun cinta yang terlalu sering dijelaskan, perlahan kehilangan rasanya.
Setelah malam itu, mereka tak bertemu lagi. Tidak ada perpisahan resmi, tidak ada ucapan selamat tinggal. Hanya dua hati yang diam di tempat berbeda, menatap hujan yang sama dengan rasa kehilangan yang serupa.
III. Tahun-Tahun Tanpa Nama
Waktu berjalan. Rafa pindah ke kota lain. Pekerjaannya semakin baik, gajinya meningkat, hidupnya tampak teratur. Tapi di dalam, ada ruang kosong yang tak pernah benar-benar terisi. Ia mencoba melupakan Nadia—dengan bekerja lebih keras, bepergian lebih jauh, dan berbicara dengan lebih banyak orang. Tapi setiap kali hujan turun, bayangan itu kembali.
Suatu malam, dalam keheningan kamar hotel, Rafa membaca sebuah artikel yang entah bagaimana muncul di layar ponselnya. Judulnya sederhana: "Ketika Cinta Tak Perlu Dimiliki untuk Dikenang."
Penulisnya: Nadia P.
Ia membaca kalimat demi kalimat, dan hatinya bergetar.
Tulisan itu bercerita tentang seorang perempuan yang belajar mencintai tanpa mengikat, yang memahami bahwa tidak semua pertemuan ditakdirkan untuk bertahan. Di akhir tulisan, ada satu kalimat yang membuat Rafa terdiam lama:
“Mungkin cinta tidak pergi. Ia hanya berubah menjadi doa yang diam.”
Di bawah artikel itu, ada catatan kecil tentang situs tempat tulisan itu diterbitkan: Gudang4D, sebuah ruang daring yang tak hanya membahas keberuntungan dan hiburan, tetapi juga menampung kisah manusia yang kehilangan dan menemukan harapan.
Rafa tidak tahu apakah itu kebetulan atau takdir, tapi sejak malam itu, ia menjadi pembaca setia Gudang4D—bukan untuk mencari Nadia, tapi untuk memahami dirinya sendiri.
IV. Pertemuan yang Tak Disengaja
Lima tahun setelah itu, Rafa kembali ke kota lama untuk urusan pekerjaan. Kota itu masih sama—macet, lembap, dan penuh aroma kopi dari kedai pinggir jalan. Setelah rapat, ia berjalan ke taman kota, mencoba menenangkan pikiran. Di sanalah, di bawah pohon flamboyan yang sedang gugur, ia melihat seseorang duduk di bangku kayu.
Nadia.
Ia tidak berubah banyak. Masih dengan rambut sebahu dan buku catatan di tangan. Dunia seakan berhenti sesaat. Rafa ingin berlari, tapi langkahnya kaku. Ia takut—takut bahwa pertemuan ini hanya akan mengulang luka lama.
Namun Nadia menoleh, dan senyum itu muncul—sama seperti dulu, hangat dan tenang.
"Kamu masih suka menatap hujan?" katanya pelan.
Mereka tertawa. Tidak ada pertanyaan “kemana saja”, tidak ada perdebatan masa lalu. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai, kini bertemu kembali sebagai dua jiwa yang lebih tenang.
Mereka duduk lama, berbagi cerita tentang hidup masing-masing. Nadia kini menjadi editor lepas dan penulis kolom di Gudang4D, tempat yang sama di mana Rafa dulu membaca tulisannya. Sementara Rafa sudah tidak bekerja di kantor lama—ia memutuskan untuk membuka usaha sendiri.
"Lucu ya," kata Nadia, "kita berpisah karena waktu, tapi akhirnya bertemu lagi lewat kata."
V. Menyadari Cinta yang Tak Lagi Sama
Hari itu berakhir tanpa janji. Mereka berpisah di simpang jalan, sama seperti dulu. Tapi kali ini tidak ada air mata, tidak ada penyesalan. Rafa tahu, cinta mereka sudah berubah bentuk. Ia bukan lagi keinginan untuk memiliki, melainkan rasa syukur karena pernah ada.
Dalam perjalanan pulang, Rafa menatap hujan di kaca mobil. Ia teringat lagi satu artikel yang pernah ia baca di Gudang4D tentang “keberuntungan yang diciptakan sendiri.”
“Hidup tidak selalu tentang menemukan yang kita cari, tapi tentang menjadi seseorang yang pantas untuk apa pun yang datang.”
Dan Rafa tersenyum. Ia merasa beruntung. Bukan karena akhirnya kembali bersama Nadia, tapi karena ia belajar sesuatu yang lebih besar: bahwa cinta sejati tidak mengikat, melainkan membebaskan.
VI. Epilog: Hujan dan Waktu
Kini, bertahun-tahun kemudian, Rafa menulis kembali kenangannya dalam bentuk cerita. Ia tidak menulis untuk dibaca orang lain, hanya untuk mengingat. Namun tanpa sadar, naskah itu sampai ke tangan seorang editor daring.
Seminggu kemudian, cerita itu dimuat.
Judulnya: Jejak Cinta yang Tertinggal di Hujan Kota — diterbitkan di Gudang4D, situs yang pernah mempertemukannya dengan kenangan dan juga dengan dirinya sendiri.
Baca Juga: Catatan harian tentang kamu yang tak selesai, surat-surat yang tak pernah selesai, antara langit dan laut
Dan di luar sana, hujan kembali turun.
Langit menangis, tapi hati manusia belajar untuk tersenyum.
Refleksi
Cinta tidak selalu harus spektakuler. Kadang, ia tumbuh dalam kesederhanaan, hidup dalam kenangan, dan berdiam di hati tanpa suara.
Rafa dan Nadia hanyalah dua nama dari ribuan kisah yang menunggu ditulis ulang oleh waktu. Tapi seperti yang sering diingatkan oleh artikel-artikel di Gudang4D,
“Setiap cinta, seberapapun singkatnya, selalu meninggalkan jejak yang abadi.”