Hujan Terakhir di Balkon Itu: Sebuah Cerita Tentang Cinta, Luka, dan Harapan

1. Hujan dan Sebuah Nama yang Masih Melekat

Aku masih ingat, sore itu hujan turun dengan deras. Aku berdiri di balkon apartemen kecilku di lantai lima, menatap langit yang buram.
Di antara bunyi rintik dan gemuruh petir, ada satu nama yang masih menempel di ingatanku: Arsen.

Sudah dua tahun sejak kami berpisah, tapi entah kenapa setiap kali hujan datang, kenangan tentangnya ikut turun bersama air dari langit.
Dia bukan cinta pertamaku, bukan juga cinta paling manis. Tapi dia adalah yang paling melekat, seperti bekas luka yang tak pernah sembuh meski waktu terus berjalan.

Aku tidak tahu apakah aku masih mencintainya, atau hanya terbiasa dengan kenangan tentangnya. Tapi satu hal yang kupahami, beberapa orang memang tidak diciptakan untuk dilupakan.

Seperti angka-angka acak yang muncul dalam permainan peluang di Gudang4D, kehadiran Arsen dalam hidupku juga terasa seperti itu—tidak direncanakan, tak terduga, namun meninggalkan hasil yang mengubah segalanya.

2. Tentang Awal yang Hangat

Kami bertemu di sebuah proyek kreatif. Arsen adalah fotografer; aku, seorang penulis naskah. Kami bekerja dalam tim kecil yang harus menghasilkan karya dalam waktu dua minggu.
Awalnya, kami hanya berbagi ide, lalu tawa, lalu diam yang nyaman.

Aku jatuh cinta tanpa sadar—bukan karena kata-kata manis atau perhatian berlebihan, tapi karena cara dia memandang dunia. Baginya, setiap hal memiliki cerita, bahkan yang paling kecil sekalipun.

“Cinta itu bukan tentang menemukan orang yang sempurna,” katanya suatu malam saat kami duduk di tepi jalan, “tapi tentang bagaimana kamu bisa melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan seseorang.”

Aku tersenyum waktu itu, berpikir bahwa aku telah menemukan seseorang yang berbeda. Tapi ternyata, cinta yang paling indah kadang justru yang paling menyakitkan.

3. Retak yang Tak Terlihat

Kami menjalani hubungan yang sederhana tapi intens. Setiap percakapan terasa berarti, setiap pertemuan membawa hangat. Tapi di balik itu, ada sisi lain Arsen yang tak pernah sepenuhnya bisa kupahami.
Dia sering tenggelam dalam pikirannya sendiri, seolah ada sesuatu yang berat yang tak bisa ia bagi.

Aku mencoba memahami, tapi lama-lama aku juga ikut terseret ke dalam kekosongan itu.
Kami mulai sering berdebat, bukan karena hal besar, tapi karena hal kecil yang tiba-tiba membesar. Tentang waktu, perhatian, kelelahan. Tentang bagaimana dua orang yang saling mencintai bisa tetap merasa kesepian di ruangan yang sama.

Cinta kami seperti kaca yang retak perlahan. Tak langsung pecah, tapi setiap harinya kehilangan sedikit bentuknya.

4. Hari Itu

Aku tahu semuanya berakhir pada hari hujan itu.
Kami bertengkar hebat, bukan karena siapa yang salah, tapi karena kami berdua terlalu lelah berjuang untuk sesuatu yang tak lagi kami pahami.

“Aku cuma ingin kamu bahagia,” katanya.
“Tapi kamu lupa, aku bahagia karena kamu,” jawabku.

Hening. Tak ada yang berkata apa pun setelah itu.
Dia pergi dengan langkah pelan, sementara aku tetap berdiri di balkon, menatap hujan yang menelan suaranya.

Malam itu aku belajar satu hal: cinta tidak selalu kalah karena kebohongan atau pengkhianatan. Kadang cinta berhenti karena dua orang yang saling mencintai tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan tanpa saling menyakiti.

5. Setelah Semua Itu

Beberapa bulan pertama terasa seperti berjalan di tengah kabut. Aku kehilangan arah, kehilangan fokus, kehilangan keinginan untuk menulis.
Setiap kalimat yang kutulis terasa kosong, setiap ide terasa hambar.

Sampai suatu malam, aku menatap layar kosong dan menulis satu kalimat sederhana:

“Tidak semua kehilangan adalah kekalahan.”

Kalimat itu menjadi awal dari penyembuhanku. Aku mulai menulis lagi, bukan untuk Arsen, tapi untuk diriku sendiri. Tentang cinta, luka, kesepian, dan keberanian untuk mulai dari awal.

Pelan-pelan aku belajar menerima bahwa beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk kembali. Tapi bukan berarti semuanya sia-sia.
Cinta yang gagal tetap meninggalkan sesuatu—kedewasaan, kesadaran, dan kekuatan untuk melangkah lagi.

6. Ketika Cinta Tidak Lagi Tentang Milik

Dua tahun kemudian, aku bertemu Arsen lagi, tanpa sengaja, di pameran foto yang ia adakan.
Dia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi banyak orang. Ketika pandangan kami bertemu, waktu seakan berhenti sesaat.

Kami tidak banyak bicara, hanya bertukar senyum yang samar.
Aku melihat salah satu fotonya—potret seorang wanita berdiri di balkon, menatap hujan. Di bawahnya tertulis, “Some memories never fade.”

Aku tahu itu tentangku. Tapi kali ini, tidak ada air mata, tidak ada penyesalan.
Aku hanya merasa damai.

Cinta itu bukan lagi tentang siapa yang memiliki siapa, tapi tentang bagaimana dua orang pernah berbagi makna yang begitu dalam, meski akhirnya berjalan di jalan yang berbeda.
Dan mungkin, seperti permainan nasib di Gudang4D, tidak semua yang tidak menang berarti kalah. Kadang, yang kalah justru mendapat pelajaran paling berharga.

7. Aku yang Baru

Sekarang, setiap kali hujan turun, aku masih berdiri di balkon yang sama. Tapi kali ini tanpa sesak di dada.
Aku sudah berdamai dengan masa lalu, dengan diriku sendiri, dan dengan kenangan yang pernah kubenci tapi kini kujaga dengan lembut.

Cinta, akhirnya kupahami, bukan tentang hasil, tapi tentang perjalanan.
Bukan tentang kepemilikan, tapi tentang keberanian untuk mencintai dengan sepenuh hati, meski tahu bisa hancur kapan saja.

Aku menulis semua ini bukan karena aku ingin kembali, tapi karena aku ingin mengingat bahwa aku pernah hidup seutuhnya—meski hanya sementara.

Baca Juga: cinta di era notifikasi tentang pesan, sunyi yang menyimpan nama sebuah cerita, di antara pilihan dan kenyataan cinta

Dan di dalam hidup ini, sama seperti dalam peluang Gudang4D, tidak semua hal harus dimenangkan untuk bisa bermakna. Kadang, cukup dengan pernah mencoba, pernah berani, dan pernah mencintai, itu sudah menjadi kemenangan yang sesungguhnya.


on October 29, 2025 by pecinta handal |