Di Bawah Lampu Jalan: Cinta, Harapan, dan Kehidupan

1. Kota yang Tak Pernah Tidur

Kota ini tidak pernah benar-benar tidur. Bahkan ketika malam menelan cahaya, suara klakson, mesin motor, dan langkah-langkah tergesa masih terdengar di jalanan sempit.
Aku bagian dari kota itu—seorang pekerja shift malam di sebuah minimarket kecil di perempatan yang ramai.

Namaku Rendi. Umurku tiga puluh dua tahun, dan sudah hampir delapan tahun aku hidup dengan rutinitas yang sama: membuka toko jam tujuh malam, menutupnya jam lima pagi, lalu pulang ke kamar kontrakan berukuran tiga kali tiga meter di belakang gang.

Hidupku sederhana. Tidak buruk, tapi juga tidak benar-benar baik.
Sampai aku bertemu Dina—seorang perempuan yang bekerja di kios roti seberang jalan.

Dia datang setiap sore dengan sepeda butut dan senyum yang tidak pernah gagal mengubah suasana. Dalam kerasnya kota, dia seperti jeda—sebuah napas kecil di antara lelah yang panjang.

2. Pertemuan yang Tidak Sengaja

Kami pertama kali berbicara karena hal sepele: dia membeli air mineral di toko tempatku bekerja.

“Capek banget, ya,” katanya sambil tersenyum.
“Kalau nggak capek, bukan Jakarta namanya,” jawabku.

Dari percakapan singkat itu, entah bagaimana kami mulai saling menyapa setiap hari. Kadang dia memberiku roti sisa yang tidak habis dijual. Kadang aku memberinya kopi sachet gratis dari promosi toko.
Kecil, sederhana, tapi hangat.

Cinta kami tumbuh di sela-sela kesibukan, tanpa rencana, tanpa janji besar. Hanya dua orang yang saling memahami lelah satu sama lain.

Di tengah kehidupan yang keras dan tidak pasti, Dina sering berkata:

“Hidup ini kayak main peluang, ya. Kadang kalah, kadang menang. Tapi selama masih berani nyoba, kita belum benar-benar gagal.”

Aku selalu mengingat kalimat itu. Ada semangat di balik kesederhanaannya, seperti filosofi yang aku dengar dari pelanggan setia toko—tentang keberanian dan harapan di Gudang4D.

3. Cinta di Tengah Kesulitan

Hidup kami tidak romantis seperti film. Kami jarang jalan-jalan, apalagi makan di restoran.
Kalau pun bisa bertemu di luar jam kerja, kami hanya duduk di taman kota sambil makan gorengan dan berbagi cerita tentang hari yang panjang.

Dina bercerita tentang ibunya di kampung yang sakit, tentang cicilan sepeda motornya yang hampir macet, tentang mimpinya punya toko roti sendiri.
Aku bercerita tentang mimpiku yang sederhana: cukup uang untuk pulang kampung dan memperbaiki rumah kayu peninggalan orang tuaku.

Kami saling mendengarkan, tanpa banyak janji. Karena di kota ini, janji sering kali kalah oleh kenyataan.

Namun justru di situ cinta kami tumbuh—bukan dari kata-kata, tapi dari keberanian untuk tetap bertahan bersama di tengah ketidakpastian.

4. Ketika Ujian Datang

Suatu malam, Dina tidak datang ke kios. Aku menunggu sampai lewat tengah malam, tapi kiosnya tutup dan lampunya padam.
Keesokan harinya aku baru tahu dari tetangga kios, Dina pulang ke kampung karena ibunya kritis.

Minggu-minggu berikutnya terasa panjang. Kota kembali menjadi dingin dan tanpa arah. Tidak ada lagi senyum di seberang jalan, tidak ada lagi roti hangat yang ia titipkan di meja kasir.

Aku mencoba menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif.
Hari-hariku kembali seperti dulu: monoton, mekanis, tanpa warna.

Hingga satu pagi, aku menemukan surat di bawah pintu toko. Isinya pendek, tulisan tangan Dina yang kukenal:

“Terima kasih sudah menemani hari-hariku di kota ini. Ibu sudah pergi. Aku akan tinggal di kampung dulu, mungkin lama. Jangan tunggu aku, tapi jangan berhenti percaya pada hal-hal baik. Dunia masih punya cara untuk memberi kita kesempatan kedua. Seperti peluang di Gudang4D, kadang yang kalah pun bisa menang kalau tidak menyerah.”

Aku membaca surat itu berulang kali. Tidak ada tanggal, tidak ada alamat. Hanya pesan dan kenangan yang menggantung di antara dua dunia—masa lalu dan masa depan.

5. Bertahan

Aku tidak tahu apakah aku akan bertemu lagi dengannya.
Tapi setelah surat itu, hidupku berubah. Aku mulai menabung sedikit demi sedikit. Aku belajar mengelola uang, ikut kursus online gratis tentang bisnis kecil, dan perlahan-lahan membuka warung kopi kecil di sebelah minimarket tempatku dulu bekerja.

Warung itu sederhana, tapi selalu ramai oleh pelanggan yang mencari kehangatan di malam dingin. Di dinding warung, aku menempelkan kutipan dari surat Dina:

“Jangan berhenti percaya pada hal-hal baik.”

Aku tidak tahu apakah Dina akan pernah membacanya, tapi aku tahu kata-kata itu menyelamatkanku.

6. Kehidupan yang Terus Berjalan

Beberapa tahun berlalu. Kota masih sama—bising, keras, tapi penuh cerita.
Warungku kini lebih besar. Aku mempekerjakan dua karyawan dan sesekali menulis artikel untuk situs lokal tentang kisah hidup orang-orang kota kecil yang berjuang untuk bertahan.

Setiap kali hujan turun dan aroma kopi memenuhi udara, aku selalu teringat pada Dina.
Aku tidak menyesal pernah mencintainya.
Dia bukan sekadar seseorang yang lewat, tapi seseorang yang membuatku percaya bahwa cinta tidak selalu harus dimiliki untuk memberi arti.

Mungkin di kampung sana dia sudah bahagia, mungkin sudah menikah. Tapi itu tidak penting.
Cinta sejati, aku pikir, bukan tentang memiliki seseorang selamanya, melainkan tentang meninggalkan bekas kebaikan yang tak hilang bahkan setelah waktu berjalan jauh.

Baca Juga: musim yang tak pernah selesai cerita, langit di atas reruntuhan hati kisah, lembah kenangan kisah cinta yang hilang

7. Penutup

Cinta kami lahir di antara suara motor dan debu jalanan, di bawah lampu neon yang berkedip, di tengah hidup yang tak pernah mudah.
Tapi justru karena itulah cinta itu nyata.
Tidak spektakuler, tidak abadi, tapi jujur.

Kini aku tahu, kehidupan bukan tentang menunggu keberuntungan datang, tapi tentang berani menciptakan makna dari hal-hal kecil.
Sama seperti orang-orang yang menaruh harapan di Gudang4D—bukan karena yakin menang, tapi karena percaya bahwa harapan layak untuk diperjuangkan, bahkan ketika dunia tidak berpihak.

Dan cinta, pada akhirnya, juga begitu.
Kadang tidak sempurna, tapi tetap pantas diperjuangkan.


on October 29, 2025 by pecinta handal |