Hari ke-1 — Sebuah Pertemuan yang Tidak Direncanakan
Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat sederhana seperti toko buku tua di pojok kota.
Aku hanya ingin mencari novel lawas untuk menenangkan diri setelah minggu yang panjang, tapi justru bertemu seseorang yang membuat waktu berhenti sejenak.
Namanya Bima. Ia sedang berdiri di lorong sebelah, memegang buku yang sama denganku: "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata. Kami tersenyum canggung ketika tangan kami bersentuhan di rak yang sama.
“Sepertinya kita punya selera yang sama,” katanya pelan.
Sejak hari itu, kami bertemu lagi — bukan karena rencana, tapi karena takdir tampaknya ingin bermain-main sedikit dengan dua orang asing yang belum selesai dengan dirinya sendiri.
Hari ke-7 — Obrolan di Bawah Lampu Kota
Seminggu berlalu sejak pertemuan pertama. Kami minum kopi bersama di kedai kecil dekat stasiun.
Aku tidak tahu kenapa mudah sekali bercerita padanya. Tentang pekerjaanku, tentang masa lalu yang belum benar-benar kering, tentang mimpi-mimpi kecil yang masih takut kugapai.
Bima mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong.
Ia tidak berusaha memberi solusi. Ia hanya menatap dan berkata, “Kau tidak perlu kuat setiap waktu. Kadang cukup bertahan saja sudah hebat.”
Entah kenapa, kalimat itu melekat di dadaku seperti mantra kecil.
Hari ke-15 — Saat Cinta Mulai Tumbuh Diam-Diam
Aku mulai menunggunya. Bukan dengan gelisah, tapi dengan tenang.
Setiap pesan yang datang membuatku tersenyum tanpa sadar. Aku tahu ini berbahaya — perasaan yang tumbuh tanpa izin sering kali datang bersamaan dengan kehilangan. Tapi kali ini, aku tidak mau takut.
Kami berjalan di taman kota malam itu. Ia menatap langit dan berkata, “Kalau suatu hari kita kehilangan arah, lihat bintang yang paling terang. Mungkin di sana kita akan menemukan satu sama lain.”
Aku tertawa, tapi di dalam hati, aku diam-diam berdoa agar arah itu tidak pernah hilang.
Hari ke-30 — Tentang Masa Lalu yang Kembali
Cinta memang tidak pernah datang sendiri. Ia selalu membawa masa lalu di belakangnya.
Aku baru tahu kalau Bima pernah gagal dalam hubungan panjang yang membuatnya takut jatuh cinta lagi. Aku bisa melihat sisa luka itu dalam caranya menatap, dalam jeda setiap kalimatnya.
Aku ingin bilang bahwa aku tidak akan menyakitinya seperti orang lain, tapi aku tahu kata-kata tidak akan cukup. Jadi aku hanya ada — menemaninya, tanpa janji apa pun.
Cinta yang tidak menuntut terasa paling tenang. Tapi diam-diam, aku takut: apakah ketenangan ini pertanda kebersamaan, atau pertanda perpisahan yang sedang menunggu di ujung waktu?
Hari ke-45 — Ketika Segalanya Terlalu Nyaman
Kami tidak pernah resmi menjadi apa pun. Tidak ada kata “pacaran,” tidak ada pengakuan. Tapi semua orang yang melihat kami pasti tahu: ada sesuatu di antara kami.
Kami terlalu sering bersama untuk disebut teman, tapi terlalu ragu untuk disebut kekasih.
Aku menikmati semua momen kecil — tawa di tengah hujan, pesan pendek di pagi hari, dan percakapan yang kadang tak perlu jawaban.
Namun, di balik itu semua, ada pertanyaan yang belum pernah terucap: sampai kapan?
Hari ke-60 — Perpisahan Tanpa Rencana
Hari ini, Bima pergi. Ia mendapat tawaran pekerjaan di luar kota, sesuatu yang sudah lama ia impikan.
Ia tidak meminta aku menunggu. Ia hanya memeluk dan berkata, “Mungkin nanti kita akan bertemu lagi, di waktu yang lebih baik.”
Aku hanya bisa mengangguk. Tak ada air mata, hanya keheningan yang lebih menyakitkan dari tangisan.
Ketika ia pergi, aku duduk lama di taman tempat kami biasa berbicara. Angin sore membawa aroma yang sama seperti hari pertama kami bertemu.
Aku sadar — kadang, cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang berani melepas seseorang menuju impiannya.
Hari ke-90 — Hampa yang Tidak Hilang
Aku mulai menulis lagi. Bukan untuknya, tapi karena hanya dengan menulis aku bisa menjaga kewarasanku.
Setiap kata terasa seperti cara lain untuk berbicara padanya tanpa benar-benar mengirim pesan.
Aku menulis satu kalimat yang terus terulang di kepala:
“Beberapa cinta hanya datang untuk mengajari kita bagaimana cara melepaskan.”
Malam-malam terasa panjang, tapi aku tidak lagi menyesal. Cinta yang singkat pun bisa abadi, asal pernah benar-benar berarti.
Hari ke-120 — Sebuah Surat yang Tidak Kukirim
Aku menulis surat untuknya malam ini. Surat yang tidak akan pernah kukirim.
Di dalamnya kutulis tentang hal-hal kecil yang tidak pernah sempat kukatakan — tentang bagaimana ia membuat dunia terasa lebih lembut, dan bagaimana aku belajar memaafkan diriku sendiri karena pernah terlalu takut mencintai.
Surat itu kusimpan di dalam kotak kayu kecil di meja kerja. Aku menamai kotak itu Gudang4D, karena di sanalah kusimpan empat hal yang masih tersisa darinya: gambar, gumam, doa, dan duka.
Hari ke-150 — Tentang Waktu yang Berputar
Kadang aku bermimpi ia kembali. Bukan dalam bentuk nyata, tapi dalam bayangan: suaranya di angin, langkahnya di jalan, tawa kecil di sela lagu-lagu lama.
Mimpi itu tidak lagi membuatku sedih. Justru terasa seperti kunjungan singkat dari masa lalu untuk memastikan aku baik-baik saja.
Aku mulai percaya bahwa cinta sejati tidak membutuhkan akhir yang bahagia. Ia cukup diingat dengan cara yang indah.
Hari ke-200 — Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga
Hari ini aku melihatnya lagi — di perempatan kota, di balik jendela mobil. Hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat jantungku berhenti sejenak.
Ia tampak bahagia. Dan aku pun tersenyum, karena ternyata melihat seseorang bahagia tanpa kita pun bisa jadi bentuk cinta paling tulus.
Aku tidak menghampiri. Aku hanya berdiri di trotoar, membiarkan waktu lewat bersama debu dan cahaya sore.
Mungkin, di kehidupan ini, peran kami hanyalah saling menyapa dalam diam.
Hari ke-250 — Tentang Cinta yang Tetap Hidup
Sudah berbulan-bulan sejak pertemuan itu. Aku tidak lagi menunggu pesan, tidak lagi mencari bayangan. Tapi aku tahu, sesuatu darinya tetap hidup di dalamku — bukan sebagai luka, tapi sebagai cahaya lembut yang menuntun setiap langkahku.
Baca Juga: Cinta di tengah asap dan lampu kota, fragmen yang tersisa di antara hari, di antara hujan dan lampu kota
Kini, setiap kali aku menulis, aku selalu menutup catatan dengan kalimat yang sama:
“Untuk Bima, yang pernah singgah dan mengubah segalanya tanpa berjanji apa pun.”
Karena cinta, pada akhirnya, bukan tentang berapa lama kita bersama, tapi seberapa dalam seseorang meninggalkan jejak di hati kita.
Dan di ruang kecil bernama Gudang4D, aku menyimpan semuanya — cinta, kehilangan, rindu, dan ketenangan.
Semuanya kini tidak lagi menyakitkan. Hanya menjadi bagian dari siapa diriku sekarang: seseorang yang pernah mencintai sepenuhnya, meski harus belajar melepaskan sepenuhnya juga.