Catatan 1
Aku tidak pernah tahu kapan tepatnya perasaan itu mulai tumbuh. Mungkin pada sore ketika hujan turun begitu halus, saat ia duduk di depanku dengan rambut yang sedikit basah dan aroma tanah yang menguap dari halaman luar. Atau mungkin jauh sebelum itu, jauh sebelum aku sadar bahwa kehadirannya mulai menempati ruang yang diam-diam menjadi penting.
Namanya Lira.
Seorang perempuan yang tidak suka menjadi pusat perhatian, tapi selalu terlihat seolah dunia diam setiap kali ia hadir. Bukan karena ia mencolok, melainkan karena ada ketenangan dalam dirinya yang membuat orang ingin diam dan memperhatikannya.
Aku mengenalnya di sebuah taman kota. Bukan pertemuan yang dramatis. Tidak ada buku jatuh dan tangan saling bersentuhan. Tidak ada tatapan panjang yang mengubah segalanya. Hanya kursi panjang yang kebetulan sama-sama kami pilih, pada hari yang sama, pada jam yang sama.
Ia membaca. Aku hanya duduk.
Butuh waktu hampir dua minggu sebelum kami saling berbicara.
Catatan 2
"Apa kamu selalu sendiri?" itu pertanyaan pertamanya.
Aku terkejut, bukan karena pertanyaannya, tapi karena caranya bertanya. Bukan basa-basi, bukan sapaan yang dibungkus sopan. Seolah ia bertanya karena benar-benar ingin tahu, bukan sekadar membuka percakapan.
"Aku tidak tahu," jawabku. "Aku tidak merasa sendiri. Tapi mungkin orang akan melihatnya begitu."
Dia tersenyum. Bukan senyum lebar. Hanya sedikit gerak di ujung bibir. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengerti.
Kami tidak bertukar nama hari itu.
Aneh ya? Kita bisa berbicara tentang kesendirian sebelum bertukar nama.
Catatan 3
Sore berikutnya, kami bertemu lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Seolah taman itu memang disiapkan untuk kami.
"Aku Lira," katanya pada sore keempat.
"Aku Ardi," jawabku.
Dan begitulah. Nama menjadi pintu.
Setelah itu, pembicaraan mengalir dengan ritme yang tidak pernah memaksa. Kami tidak pernah kehabisan kata, tapi juga tidak takut diam bersama. Lira memiliki cara untuk membuat keheningan terasa seperti bagian dari percakapan, bukan jeda yang canggung.
Aku mulai menyadari sesuatu: aku menunggu sore datang.
Catatan 4
"Apa kamu percaya bahwa setiap orang punya ruang yang tidak bisa dijangkau siapa pun?" tanya Lira di suatu sore.
"Ruang seperti apa?"
"Ruang yang hanya bisa kita jamah sendiri. Ruang yang terbentuk dari pengalaman, kehilangan, rasa takut, dan hal-hal yang kita simpan terlalu dalam."
Aku tidak langsung menjawab. Lira tidak membutuhkan jawaban cepat.
"Aku punya ruang itu," katanya pelan.
"Tapi aku sedang mencoba melihat apakah aku bisa membuka sedikit celah."
Dan siang itu, entah kenapa, aku merasa ia sedang berbicara tentang diriku.
Catatan 5
Suatu malam, aku menulis tentang Lira dalam sebuah forum kecil tempat orang berbagi tulisan dan pemikiran. Forum bernama gudang4d. Tidak banyak orang di sana, tapi cukup untuk membuatku merasa didengar tanpa harus menampilkan siapa diriku sebenarnya.
Aku menulis tentang bahu Lira yang sedikit merunduk ketika ia mencoba menahan sesuatu yang tidak ingin ia ceritakan. Aku menulis tentang senyumnya yang tipis tapi jujur. Aku menulis tentang caranya melihat langit seolah sedang mengingat seseorang yang pernah pergi.
Aku menulis tanpa mengharapkan apa pun. Hanya untuk mengingat.
Karena beberapa perasaan hanya bisa dipahami ketika dituliskan.
Catatan 6
Lira pernah mencintai seseorang.
Ini bukan pengakuan yang ia berikan dengan air mata atau drama. Ia hanya menyebutkannya dalam percakapan yang tenang, hampir seperti menyebut apa menu makan malamnya.
"Aku pernah mencintai seseorang selama bertahun-tahun," katanya. "Terlalu lama, mungkin. Dan pada akhirnya aku harus melepaskannya."
"Apa dia pergi?" tanyaku.
"Dia tidak benar-benar pergi. Dia hanya berhenti kembali."
Kalimat itu menancap di dadaku lama sekali.
Karena aku mengerti.
Kadang orang tidak pergi dengan langkah. Mereka pergi dengan berhenti memilih kita. Itu jauh lebih sunyi. Dan jauh lebih menyakitkan.
Catatan 7
Hubunganku dengan Lira bukan hubungan yang diberi nama. Kami tidak pernah menyebut satu sama lain sebagai apa pun. Tidak ada status. Tidak ada komitmen yang diucapkan. Tidak ada janji yang dipertegas.
Tapi setiap sore, ia ada. Dan aku ada.
Dan mungkin itu cukup.
Tapi mungkin juga tidak.
Kadang aku ingin menggenggam tangannya. Membawa pulang seluruh perasaanku dan meletakkannya di hadapannya tanpa takut ditolak. Tapi aku tahu ruang dalam dirinya belum sepenuhnya terbuka. Dan aku takut memaksa akan membuatnya menutup semuanya kembali.
Kadang cinta bukan tentang memperjuangkan. Kadang cinta adalah tentang menunggu seseorang menemukan keberaniannya sendiri.
Catatan 8
Sore itu berbeda.
Langit mendung. Taman lebih sepi. Lira tampak lelah.
"Aku mencoba melupakan," katanya.
"Apa kamu ingin benar-benar melupakan?" tanyaku.
Ia menggigit bibirnya. "Tidak. Aku hanya ingin tidak sakit lagi."
Aku ingin mengatakan bahwa aku bisa menjadi tempat ia beristirahat. Aku ingin mengatakan bahwa aku tidak akan pergi. Aku ingin mengatakan bahwa aku akan menunggu selama apa pun yang ia butuhkan.
Tapi aku tidak mengatakannya.
Aku hanya berkata, "Kita bisa duduk saja. Tidak apa-apa."
Dia menutup matanya. Dan untuk pertama kalinya, ia bersandar di bahuku.
Aku tidak bergerak. Takut rasa ini akan pecah jika aku bernapas terlalu keras.
Catatan 9
Besoknya, ia tidak datang.
Lusa, juga tidak.
Seminggu. Dua minggu.
Tidak ada pesan. Tidak ada penjelasan.
Hanya keheningan yang terasa seperti ruang kosong yang tiba-tiba terlalu luas untuk kutinggali sendirian.
Aku kembali duduk di kursi yang sama setiap sore. Bukan untuk menunggu. Tapi untuk mengenang.
Karena beberapa pertemuan tidak hadir untuk menetap.
Baca Juga: cahaya di antara bayangan kisah cinta, siluet di antara kabut kisah cinta yang, nada terakhir di panggung senja kisah
Mereka hadir untuk mengubah kita.
Catatan 10
Hari ini hujan.
Aku masih duduk di kursi itu.
Aku tidak menyesal pernah mengenalnya. Bahkan jika yang tersisa hanya fragmen yang tidak selesai. Bahkan jika aku tidak tahu apakah ia akan kembali.
Kadang cinta bukan tentang memiliki. Bukan tentang menyatukan dua orang dalam satu jalan.
Kadang cinta adalah tentang menjadi tempat yang membuat seseorang merasa aman, meski hanya sementara.
Dan jika itu satu-satunya peran yang kumiliki dalam hidupnya, maka aku menerimanya.
Karena Lira telah mengajariku sesuatu yang tidak pernah kupahami sebelumnya:
Bahwa hati bukan untuk dimenangkan.
Hati untuk dipahami.
Dan aku bersyukur pernah memahami hatinya, meski hanya sebentar.