Dalam Arus yang Tak Pernah Usai: Catatan Pengamat tentang Viral yang Mengisi Kehidupan Kita

Pagi tadi, sebelum langit benar-benar terang, saya membuka ponsel seperti kebiasaan yang mungkin kini dimiliki hampir semua orang. Bukan untuk bekerja, bukan untuk membaca pesan penting, tetapi sekadar menengok apa yang tengah ramai dibicarakan. Ini bukan kebiasaan yang sengaja saya latih; ia tumbuh perlahan, menyusup ke dalam rutinitas. Seiring waktu, membaca apa yang viral terasa seperti membaca suhu suasana hati masyarakat hari ini.

Yang pertama saya lihat adalah potongan video pendek: seorang pengendara memprotes petugas parkir yang dianggap melakukan pungutan tidak wajar. Durasi videonya tidak sampai satu menit. Komentar-komentar di bawahnya jauh lebih panjang daripada konten itu sendiri. Ada yang membela pengendara. Ada yang membela petugas. Ada yang sekadar menertawakan. Ada pula yang menyeret isu ekonomi, kemiskinan, keadilan, bahkan politik.

Satu peristiwa kecil dapat menjadi layar tempat semua orang memproyeksikan pengalaman pribadi yang tak pernah sempat diucapkan. Saya menyadari bahwa viral bukan sekadar fenomena visual; viral adalah cara kita mengungkapkan apa yang selama ini terpendam.

Siang hari, saya melihat yang lain. Video murid sekolah menengah yang memenangkan kompetisi matematika internasional. Kisah itu sederhana tetapi menghangatkan. Yang mengalir bukan kemarahan seperti pagi hari, melainkan kebanggaan. Komentar-komentar kali ini berbeda: doa, harapan, pengakuan bahwa masih ada hal baik yang tumbuh di tengah kekacauan.

Dan saya berpikir: viral adalah cermin. Cermin itu memantulkan sisi gelap dan terang secara bersamaan. Kita bisa memilih sisi mana yang ingin kita perhatikan, tetapi keduanya tetap bagian dari diri kita sebagai masyarakat.

Menjelang sore, muncul cerita lain. Sebuah perdebatan tentang seorang tokoh hiburan yang dianggap berbicara dengan nada merendahkan seseorang dalam sebuah siaran langsung. Potongan video berdurasi delapan detik. Sekali lagi, interpretasi bukan ditentukan oleh fakta, melainkan oleh emosi terbesar yang diingat penonton. Kita tidak pernah benar-benar melihat keseluruhan adegan; yang kita lihat adalah bagian kecil yang diperbesar oleh reaksi publik.

Saya teringat pada satu percakapan lama tentang bagaimana manusia membangun ingatan: kita jarang mengingat peristiwa secara utuh, tetapi kita mengingat perasaan yang timbul dari peristiwa itu. Viral bekerja persis pada titik itu. Ia melompati detail, menuju inti reaksi. Ia lebih cepat daripada nalar, tetapi lebih dekat pada inti batin manusia.

Ada malam-malam ketika viral terasa melelahkan. Ketika seolah-olah tidak ada ruang untuk diam. Ketika setiap peristiwa harus segera mendapat penilaian moral. Ketika orang melupakan bahwa menunda pendapat bukan berarti lemah, tetapi bentuk penghormatan terhadap kompleksitas hidup.

Saya pernah berbicara dengan seorang teman yang bekerja di bidang riset sosial digital. Ia mengatakan, masyarakat kini seperti berada di ruangan besar tanpa dinding, di mana semua suara terdengar bersamaan. Tidak ada jeda. Tidak ada ruang privat yang benar-benar privat. Segalanya bisa direkam. Segalanya bisa disebarkan. Segalanya dapat ditarik keluar dari konteks aslinya dan diberi makna baru oleh publik.

Viral tidak hanya menyebarkan peristiwa. Viral menyebarkan atmosfer.

Sementara itu, identitas kelompok juga memainkan peran. Ada ruang-ruang digital tempat orang saling mengenali tanpa harus menyebut nama sebenarnya. Ada lingkaran interaksi yang tersusun dari kebiasaan, guyonan internal, sampai rujukan-rujukan kecil yang hanya dimengerti oleh mereka yang berada di dalamnya. Dalam ruang-ruang seperti ini, penyebutan nama atau simbol seperti max389, misalnya, dapat menjadi tanda pengenal, semacam kata sandi sosial yang hanya dimengerti oleh yang mengikutinya. Komunitas-komunitas seperti itu adalah bagian yang sering luput dari penelitian media, tetapi justru di ruang-ruang itulah viral menemukan kecepatan pergerakannya.

Saya melihat viral bukan hanya sebagai peredaran informasi, tetapi sebagai cara kita menegosiasikan identitas sosial. Ketika kita membela sesuatu secara online, kita sebenarnya sedang mengatakan sesuatu tentang diri kita: nilai yang ingin kita pertahankan, luka yang kita ingat, aspirasi yang kita simpan, dan cara kita ingin dipandang.

Ada kalanya viral menjadi pembebas. Ia membuka kasus yang selama ini disembunyikan. Ia memberi ruang bagi yang suaranya tak pernah terdengar. Ia menekan struktur kekuasaan yang terlalu lama berjalan tanpa pengawasan. Dalam kasus tertentu, viral bahkan dapat menyelamatkan nyawa.

Tetapi viral juga dapat menjadi alat pemburu. Ia dapat menghakimi tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Ia dapat menghancurkan nama baik yang telah dibangun selama puluhan tahun, hanya dalam waktu beberapa jam. Ia dapat menyeret orang menuju stigma yang sulit dipulihkan. Viral dapat membangun, tetapi viral juga dapat meruntuhkan.

Malam semakin gelap dan saya kembali melihat linimasa. Ada seseorang yang menulis status panjang tentang kelelahan mengikuti semua yang ramai diperbincangkan. Ia mengatakan bahwa dunia terasa seperti sedang bergerak terlalu cepat, sementara dirinya tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Saya merasakan hal yang sama. Saya kira banyak orang merasakan hal yang sama.

Jika saya harus merangkum pengalaman sehari penuh ini, saya pikir viral adalah bentuk percakapan raksasa yang tidak pernah selesai. Viral adalah panggung tempat kita mengungkapkan perasaan yang sulit dibicarakan tatap muka. Viral adalah bukti bahwa kita sedang belajar memahami diri sendiri sebagai masyarakat baru yang hidup dalam ruang komunikasi tanpa batas.

Tidak ada yang benar-benar bisa keluar dari arus ini. Tetapi kita bisa belajar menavigasinya. Kita bisa memilih kapan harus menyelam dan kapan harus naik ke permukaan. Kita bisa memilih kapan harus berbicara dan kapan harus mendengarkan. Kita bisa memilih untuk tidak ikut terburu-buru percaya. Kita bisa memilih untuk menjadi sadar bahwa setiap peristiwa memiliki lebih dari satu wajah.

Baca Juga: musim yang tak pernah selesai cerita, langit di atas reruntuhan hati kisah, lembah kenangan kisah cinta yang hilang

Saya menutup ponsel. Saya tahu besok pagi arus itu akan kembali. Viral akan datang dalam bentuk yang baru. Cerita akan berganti. Perdebatan akan bergeser. Namun inti dari semua itu tetap sama: kita sedang mencari cara untuk memahami diri kita sendiri di tengah dunia yang bergerak terlalu cepat.

Dan mungkin, di balik riuh ini, kita tidak sedang mencari berita. Kita sedang mencari satu sama lain.


on November 08, 2025 by pecinta handal |