Aku pernah percaya bahwa cinta yang sejati akan selalu menemukan jalannya. Tapi kenyataannya, ada cinta yang lahir di waktu yang salah, tumbuh dengan indah, lalu mati perlahan tanpa pernah sempat berpamitan.
Dan kalau hari ini aku menulis kisah ini, mungkin bukan untuk mengingatnya kembali, tapi untuk belajar melepaskan.
Namaku Nara, dan ini kisahku — kisah yang pernah membuatku percaya bahwa seseorang bisa menjadi rumah, tapi juga badai yang menghancurkan semua yang pernah aku yakini.
Bab 1 — Pertemuan yang Tak Direncanakan
Aku mengenalnya di sebuah seminar fotografi di Bandung. Ia datang terlambat, duduk di kursi kosong di sebelahku, dan tersenyum dengan gugup. Namanya Reza.
Entah kenapa, senyumnya terasa jujur — bukan senyum basa-basi yang biasa digunakan orang asing untuk bersikap sopan.
“Maaf ya, aku telat. Macet banget,” katanya waktu itu.
Aku hanya mengangguk, tapi dalam hati aku tahu sesuatu telah bergeser. Sejak hari itu, kami mulai sering bertukar pesan, sekadar berbagi foto langit sore, atau curhat tentang pekerjaan yang melelahkan. Tidak ada yang berlebihan, tapi juga tidak ada yang biasa.
Cinta kami tumbuh diam-diam, seperti hujan yang turun pelan di tengah malam — tidak terasa, tapi membasahi seluruh hati.
Bab 2 — Di Balik Tawa, Ada Luka
Reza bukan tipe lelaki romantis. Ia jarang berkata manis, jarang memberi bunga, tapi selalu tahu kapan aku butuh didengarkan. Ia tak pernah berjanji, tapi selalu datang setiap kali aku merasa dunia terlalu berat untuk dijalani.
Kami sering menghabiskan malam di kafe kecil dekat Dago. Aku menulis puisi di buku catatan, sementara ia menggambar dengan pensil di sudut halamannya. Kadang kami hanya diam, tapi diam itu terasa nyaman.
Sampai akhirnya aku tahu satu hal yang tak pernah ia katakan — bahwa ia sudah bertunangan.
Aku tahu itu bukan salah siapa-siapa. Tapi malam itu, di tengah rinai hujan, dunia yang kuanggap indah mendadak berubah abu-abu.
Reza menatapku dengan wajah penuh sesal, “Aku nggak pernah berniat menyakitimu, Nar.”
Aku hanya menjawab pelan, “Tapi kamu tetap melakukannya.”
Cinta yang kami bangun tanpa rencana kini menjadi beban yang menekan. Kami mencoba berteman, tapi bagaimana mungkin berteman dengan seseorang yang pernah kamu cintai dengan seluruh hatimu?
Bab 3 — Melarikan Diri dari Diri Sendiri
Setelah Reza menikah, aku pindah ke Jakarta. Aku butuh jarak, bukan untuk melupakan, tapi untuk bertahan. Aku bekerja sebagai penulis konten di sebuah agensi digital bernama Gudang4D. Tempat itu penuh orang kreatif dan ide-ide liar yang membuatku sibuk, cukup untuk tidak memikirkan masa lalu.
Namun, setiap malam, ketika semua sudah tertidur, aku masih membuka folder lama di laptop — folder yang berisi foto-foto karya Reza, tawa kami di kafe, dan potongan suara dari pesan suaranya yang masih tersimpan.
Di situ aku sadar, bukan kenangan yang menyakitkan, tapi keberadaan rasa yang belum selesai.
Setiap kata yang kutulis di kantor seolah menjadi pengingat akan dirinya. Ironis, karena sebagian besar tulisanku adalah tentang melepaskan, padahal aku sendiri tidak pernah benar-benar bisa melakukannya.
Bab 4 — Luka yang Menjadi Guru
Suatu hari, aku diminta menulis artikel kampanye tentang “cinta dan kehilangan.” Temanya terasa seperti ejekan, tapi aku menulis juga. Dalam tulisanku, aku menulis begini:
“Cinta sejati tidak selalu berakhir dengan bersama. Kadang, cinta yang terbaik justru yang mengajarkan kita cara mencintai diri sendiri setelah kehilangan.”
Kalimat itu viral. Banyak pembaca menulis pesan panjang tentang kisah mereka sendiri — tentang kehilangan, perpisahan, dan keberanian untuk tetap hidup. Tapi setelah membaca semuanya, aku menangis. Karena aku tahu, kata-kata yang kusebarkan ke ribuan orang itu sebenarnya pesan yang kutulis untuk diriku sendiri.
Bab 5 — Waktu Tak Menyembuhkan, Tapi Menjinakkan
Empat tahun kemudian, aku kembali ke Bandung untuk urusan kerja. Kota itu masih sama — dingin, penuh kenangan, dan berbau nostalgia. Saat melintasi jalan Dago, aku melewati kafe kecil tempat kami dulu sering duduk. Nama kafenya sudah berganti, tapi aroma kopi dan suasana hangatnya tetap terasa familiar.
Tanpa sadar, aku berhenti dan masuk. Di sudut ruangan, duduk seorang pria dengan rambut sedikit memutih. Ia sedang membaca koran, tapi ketika menoleh, waktu seolah berhenti sejenak.
Reza.
Kami saling menatap, lalu tersenyum. Tidak ada air mata, tidak ada kata maaf, hanya ketenangan yang tak pernah ada sebelumnya.
“Aku sering baca tulisanmu,” katanya pelan.
Aku tertawa kecil. “Lucu ya, kamu masih jadi bagian dari kata-kata itu.”
Kami berbincang singkat, sekadar bertukar kabar. Ia bercerita tentang keluarganya, aku bercerita tentang pekerjaan dan buku yang sedang kutulis. Dan ketika kami berpisah, aku tahu sesuatu telah berubah — bukan pada dirinya, tapi pada diriku.
Aku sudah sembuh.
Bab 6 — Cinta yang Tidak Harus Dimiliki
Sekarang aku tahu, cinta tidak selalu tentang bersama. Kadang cinta hadir hanya untuk mengajarkan, untuk menumbuhkan, dan untuk mengingatkan kita tentang siapa diri kita sebenarnya.
Reza mungkin bukan takdirku, tapi ia adalah salah satu bab paling indah dalam hidupku. Ia adalah musim hujan yang mengajarkan arti hangatnya pelukan, sekaligus badai yang membuatku belajar berdiri sendiri.
Di dunia ini, tidak semua cinta butuh akhir bahagia. Beberapa hanya butuh tempat yang tenang di hati — tidak untuk dimiliki, tapi untuk diingat tanpa luka.
Epilog — Surat untuk Cinta yang Tak Pernah Hilang
Jika suatu hari kamu membaca ini, Reza, aku ingin kamu tahu: aku tidak menyesal pernah mencintaimu. Aku tidak menyesal menangis, marah, atau pergi. Karena dari semua itu, aku belajar sesuatu yang tidak pernah diajarkan siapa pun: bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang bertahan, tapi siapa yang ikhlas.
Dan jika cinta itu masih hidup di suatu tempat di antara bintang dan waktu, biarlah ia tetap di sana — tidak untuk diulang, tapi untuk dikenang sebagai sesuatu yang pernah begitu indah.