“Yang Tersisa dari Sebuah Senja” — Kisah Tentang Cinta, Luka, dan Janji yang Tak Sempat Ditepati

Senja selalu punya caranya sendiri untuk membuat seseorang berhenti sejenak dan mengenang. Di balik warna jingganya yang memudar perlahan, ada kisah yang pernah tumbuh dan berakar di hati dua manusia. Kisah yang tak sempat selesai, namun juga tak benar-benar berakhir. Kisah ini milik Raka dan Sinta — dua jiwa yang dipertemukan oleh waktu, namun dipisahkan oleh pilihan.

Bab 1 — Awal dari Semua yang Indah

Waktu itu, langit sore di tepi pantai tampak seperti lukisan. Ombak memantulkan warna oranye yang menenangkan, dan angin laut membawa aroma asin yang bercampur dengan harapan. Raka datang sendirian, membawa kamera dan sebotol air mineral. Ia hanya ingin memotret matahari terbenam, tapi tanpa sengaja ia memotret seseorang — seorang gadis berambut panjang yang sedang duduk di pasir, menulis sesuatu di buku catatannya.

Sinta.
Itu nama yang belakangan terus terlintas di kepala Raka. Ia tidak tahu mengapa, tapi sejak pertemuan itu, hidupnya seperti bergeser sedikit. Ia mulai kembali ke pantai itu setiap sore, berharap bisa melihat gadis yang sama duduk di tempat yang sama.

Dan suatu hari, harapannya dikabulkan. Sinta menatapnya dan tersenyum, “Kamu suka senja juga?”
Sejak hari itu, percakapan mereka tak pernah berhenti.

Bab 2 — Hari-Hari yang Tak Pernah Terulang

Cinta memang tidak selalu datang dengan dentuman keras. Kadang, ia tumbuh pelan-pelan, seperti air yang menetes ke batu—tak terasa tapi meninggalkan bekas. Raka dan Sinta menjadi dua nama yang sulit dipisahkan dari waktu itu. Mereka menghabiskan sore bersama, saling bertukar cerita, mimpi, dan diam-diam juga doa.

Sinta bekerja sebagai penulis lepas, sedangkan Raka adalah fotografer majalah. Keduanya hidup dalam dunia yang penuh cerita, dan cinta mereka tumbuh di antara kata-kata dan gambar.
Mereka sering bercanda, bahwa jika suatu hari kisah mereka difilmkan, pasti akan berakhir bahagia. Tapi hidup, seperti halnya laut, tidak selalu tenang.

Di suatu malam penuh bintang, Sinta berkata pelan, “Kamu tahu, kadang aku takut bahagia. Karena sesuatu yang terlalu indah biasanya tidak bertahan lama.”
Raka hanya tersenyum, menggenggam tangannya erat. “Kalau begitu, biar aku yang jaga supaya kebahagiaan ini tidak pergi.”

Namun tak ada yang benar-benar bisa menahan waktu. Termasuk cinta.

Bab 3 — Saat Semesta Mengubah Arah

Sinta tiba-tiba mendapat tawaran besar dari penerbit ternama di luar kota. Buku tulisannya akan diterbitkan, dan itu berarti ia harus pindah selama beberapa bulan. Raka bahagia sekaligus takut. Ia tahu ini adalah mimpi Sinta sejak lama, tapi ia juga tahu jarak bisa mengubah segalanya.

“Aku nggak mau kehilangan kamu,” kata Raka.

Sinta menatapnya dengan mata yang berkaca. “Kamu nggak akan kehilanganku, asal kamu tetap percaya.”

Mereka berpisah dengan janji yang sama — akan bertahan, akan saling menunggu. Tapi hari demi hari, pesan singkat mulai jarang datang. Telepon malam berubah menjadi hening yang panjang. Sampai suatu ketika, Sinta benar-benar menghilang tanpa kabar.

Raka mencarinya ke mana-mana. Ia mengirim surat, email, pesan, tapi tak ada balasan. Dunia Sinta tiba-tiba seperti ditelan kabut.

Dan di pantai itu, tempat semua kisah dimulai, Raka menatap laut yang sama dengan hati yang kosong.

Bab 4 — Waktu dan Luka

Tiga tahun berlalu. Raka kini bekerja di sebuah agensi media digital bernama Gudang4D. Di tempat itu, ia bertugas menulis kisah-kisah pendek untuk kampanye promosi — ironisnya, kisah cinta yang selalu berakhir bahagia. Setiap kali menulis, ia selalu teringat Sinta.

Kadang, ia tersenyum getir. “Lucu ya, aku bisa menulis akhir bahagia untuk tokoh fiksi, tapi tidak untuk diriku sendiri.”

Suatu sore, saat sedang mengarsipkan foto-foto lama, ia menemukan sebuah folder bernama Sunset 2019. Di dalamnya ada foto pertama yang ia ambil di pantai — gambar seorang gadis berambut panjang yang menulis di pasir. Ia menatapnya lama, dan untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Hidup terus berjalan. Tapi cinta yang pernah begitu dalam, tidak bisa begitu saja hilang. Ia hanya berubah bentuk — menjadi kenangan, menjadi doa, atau mungkin menjadi luka yang tak lagi sakit tapi juga tak sepenuhnya sembuh.

Bab 5 — Ketika Semesta Menjawab Diam-Diam

Suatu hari, tanpa rencana, Raka kembali ke pantai itu. Ia duduk di batu besar yang sama, menatap cakrawala yang perlahan berubah warna. Di kejauhan, ada sosok wanita yang tampak familier. Rambutnya tertiup angin sore, dan langkahnya pelan tapi pasti.

“Sinta?”

Wanita itu menoleh. Senyumnya masih sama — tenang, hangat, dan penuh nostalgia.
“Raka… kamu masih suka datang ke sini rupanya.”

Mereka terdiam cukup lama sebelum akhirnya tertawa. Tidak ada amarah, tidak ada penjelasan. Waktu sudah mengambil bagian yang menyakitkan dari kisah mereka, menyisakan hanya rasa yang paling murni.

Sinta menjelaskan bahwa hidupnya sempat rumit. Ia kehilangan arah, kehilangan semangat menulis, dan sempat ingin menghilang dari dunia. Tapi ketika melihat foto lamanya di sebuah artikel lama yang ditulis Raka untuk Gudang4D, ia sadar: seseorang masih mengingatnya. Dan itu cukup untuk membuatnya kembali.

Bab 6 — Tak Semua Cinta Butuh Akhir

Malam itu, mereka berjalan di tepi pantai sambil diam. Hanya suara ombak dan langkah kaki yang menemani. Tak ada janji baru, tak ada kata cinta yang diucapkan ulang. Tapi di antara keheningan itu, keduanya tahu bahwa perasaan mereka tidak pernah benar-benar mati.

Sinta menatap langit malam dan berkata pelan, “Mungkin kita memang bukan untuk saling memiliki, tapi aku percaya… cinta kita sudah cukup untuk membuat hidup ini terasa berarti.”

Raka tersenyum. “Mungkin begitu. Tapi kalau semesta izinkan, aku tetap ingin menulis bab berikutnya dengan kamu.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah lama, keduanya merasa damai. Karena cinta yang sesungguhnya bukan tentang berapa lama bersama, tapi tentang bagaimana dua hati saling mengenang tanpa dendam dan tanpa pamit.


Refleksi — Cinta, Waktu, dan Arti Pulang

Cinta adalah perjalanan, bukan tujuan. Kadang kita berjalan beriringan, kadang terpisah di persimpangan. Namun cinta sejati selalu tahu jalan untuk kembali, entah sebagai pasangan, sahabat, atau sekadar kenangan yang membuat kita tersenyum di tengah kesibukan hidup.

Raka dan Sinta telah membuktikan bahwa cinta bisa berubah bentuk, tapi tidak pernah benar-benar menghilang.
Mereka adalah bukti bahwa beberapa kisah tidak butuh akhir bahagia untuk disebut indah. Karena keindahan sejati terletak pada ketulusan yang pernah ada, bukan pada siapa yang bertahan sampai akhir.

Dan mungkin, di suatu sore lain, di pantai yang sama, dua jiwa itu akan bertemu lagi — kali ini tanpa penyesalan, tanpa janji, hanya dengan hati yang siap untuk menerima apa pun yang ditakdirkan oleh waktu.


on November 01, 2025 by pecinta handal |