CERITA CINTA: SURAT-SURAT YANG TAK PERNAH DIKIRIM

Ada cinta yang lahir bukan dari pertemuan yang sering, bukan dari tawa yang dibagi setiap hari, tetapi dari kata-kata yang dituliskan dengan hati yang pelan dan takut. Cinta seperti itu tumbuh dari surat-surat yang tidak pernah dipublikasikan, dari pesan yang hanya tersimpan di draf, dari rasa yang lebih banyak disimpan daripada diucapkan.

Itulah cinta antara Selma dan Adi.

Mereka tidak pernah berada dalam satu ruang untuk waktu yang lama. Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah acara kampus yang bahkan tidak begitu penting untuk dikenang, kecuali untuk satu hal: cara mereka saling menatap saat itu. Ada sesuatu yang tidak diberi nama oleh keduanya, sesuatu yang tidak langsung dimengerti, tetapi terasa.

Selma adalah seseorang yang selalu bicara dengan hati-hati. Setiap kalimat seperti dipikirkan terlebih dahulu, seolah ia takut jika kata-katanya salah arah, ia akan kehilangan sesuatu yang tidak ingin ia lepaskan. Adi berbeda. Ia berbicara dengan spontan, bergerak dengan keyakinan, dan tertawa tanpa rasa ragu. Namun dalam hatinya, Adi menyimpan banyak hal yang tidak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun.

Setelah acara itu, mereka tidak langsung menjadi dekat. Hanya percakapan kecil yang singkat, sekilas pesan di malam hari, lalu diam. Namun justru dari diam itu, rasa berkembang.

Selma memiliki kebiasaan menulis surat. Tidak untuk dikirimkan. Hanya untuk merapikan pikirannya sendiri. Di dalam laci mejanya, ada tumpukan kertas yang terikat dengan tali cokelat kusam. Di sana ada cerita, doa, ketakutan, dan harapan. Dan sejak pertemuan dengan Adi, surat-surat itu mulai berubah arah: dari bicara tentang diri, menjadi bicara tentang seseorang yang tiba-tiba mengisi ruang yang tidak direncanakan.

Adapun Adi, ia menyimpan semua catatan hariannya dalam satu folder digital yang ia beri nama gudang4d. Tidak ada yang tahu maksudnya kecuali dirinya sendiri. Barangkali itu hanya tempat untuk menyimpan hal-hal yang terlalu rapuh untuk ia bagikan.

Waktu berjalan. Tanpa kesepakatan apa pun, tanpa pengakuan, tanpa status, mereka saling hadir. Kadang intens, kadang hanya selintas.

Namun ketika sesuatu tumbuh tanpa disadari, ia juga bisa retak tanpa disadari.

Adi diterima bekerja jauh dari kota tempat mereka tinggal. Perjalanan itu tidak bisa ditolak. Pekerjaan tersebut adalah sesuatu yang ia impikan sejak lama. Dan seperti banyak cerita cinta lain, perjalanan karier sering menjadi ujian pertama yang nyata.

Sebelum pergi, mereka duduk di sebuah bangku taman. Tidak ada angin besar, tidak ada hujan, hanya udara yang rasanya memadat di antara mereka.

"Kalau kamu merasa ini sulit, kamu boleh pergi kapan saja," kata Adi pelan, seperti seseorang yang mencoba tidak berharap.

Selma menatapnya, tapi ia tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tapi anggukan itu bukan persetujuan. Itu adalah bentuk rasa takut yang tidak menemukan kata.

Setelah kepergian Adi, tidak ada perpisahan dramatis. Mereka masih berkomunikasi, tetapi tidak pernah sama. Percakapan yang dulu mengalir kini terasa seperti berebut ruang untuk tetap bernapas.

Selma menulis lagi. Ada surat yang dimulai dengan:

"Aku tidak tahu apa nama hubungan ini, tapi aku tahu aku takut kehilanganmu."

Ada surat yang lain:

"Aku mencintaimu dengan cara yang bahkan aku sendiri belum bisa jelaskan."

Tetapi surat-surat itu tidak pernah dikirim.

Adi, di tempat jauhnya, mencoba bertahan dengan caranya sendiri. Ia menulis catatan-catatan pendek kepada dirinya sendiri. Tentang bagaimana suara Selma terdengar di kepalanya ketika malam terlalu sunyi. Tentang bagaimana senyumnya datang tiba-tiba di tengah kesibukan.

Namun jarak tidak hanya memisahkan tubuh. Ia memisahkan ritme. Ketika sebuah ritme berubah, dua hati harus menyesuaikan, jika tidak, mereka akan berjalan ke arah yang berbeda.

Hari-hari menjadi lebih panjang. Sunyi menjadi lebih dalam.

Hingga suatu malam, ketika hujan turun dengan suara yang menahan banyak hal, Selma menulis surat yang berbeda dari biasanya. Surat itu bukan tentang penantian. Bukan tentang pengakuan cinta. Tetapi tentang melepaskan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ia genggam seutuhnya.

"Adi, mungkin kita mencintai satu sama lain dengan cara yang terlalu hati-hati. Kita menjaga rasa ini begitu erat karena takut itu pecah, sampai akhirnya kita sendiri tidak bisa bernapas. Aku tidak menyalahkan apa pun. Tidak keadaan, tidak jarak, tidak waktu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa rasa ini nyata. Dan karena nyata, ia tidak harus dimiliki untuk tetap hidup."

Baca Juga: the silence between two heartbeats, kisah yang tak pernah selesai, tiga kisah cinta

Surat itu juga tidak pernah dikirim. Tapi setelah menulisnya, Selma merasa sesuatu dalam dirinya tenang.

Adi, jauh di kota lain, pada malam yang hampir sama, menulis catatan terakhir dalam folder yang sama:

"Jika suatu hari kita bertemu lagi, semoga bukan karena kita menunggu satu sama lain, tetapi karena dunia membawa kita pada waktu yang tepat."

Waktu terus berjalan. Kehidupan membawa mereka ke arah yang tidak sama. Tidak ada kabar tentang kembali bersama. Tidak ada janji untuk saling mencari. Tidak ada kepastian apa pun.

Namun rasa itu tidak pernah hilang.

Bukan karena mereka tidak berusaha melupakan, tetapi karena beberapa rasa memang tidak diciptakan untuk dilenyapkan. Ia hanya berubah bentuk: dari harapan menjadi kenangan, dari keinginan menjadi pemahaman.

Ada cinta yang penuh genggaman dan pelukan. Ada cinta yang ditandai dengan kehadiran setiap hari. Namun ada juga cinta yang tetap hidup dalam kata-kata yang tidak pernah diucapkan, dalam surat yang tidak terkirim, dalam ingatan tentang seseorang yang pernah membuat hidup terasa lebih penuh.

Cinta itu tidak pergi. Ia hanya diam.

Dan diam kadang adalah bentuk paling setia dari cinta itu sendiri.


on November 10, 2025 by pecinta handal |