Surat untuk Diri yang Pernah Mencintai

Aku masih ingat sore itu, di lapangan belakang sekolah yang hampir kosong. Angin membawa suara bel berbunyi terakhir kali, dan daun-daun jati jatuh perlahan ke tanah. Kamu berdiri di sana, dengan seragam yang sudah agak kusut dan senyum yang tidak pernah bisa kulupakan.

Namamu Dira. Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai memperhatikanmu. Mungkin sejak kamu menatapku waktu itu, saat aku tersesat di koridor baru kelas sebelas. Atau mungkin sejak kamu membantu menjemput bola voli yang jatuh di dekatku dan tersenyum tanpa alasan. Kadang cinta datang seaneh itu—tanpa aba-aba, tanpa janji, hanya rasa yang tiba-tiba tumbuh seperti hujan pertama setelah kemarau panjang.

Waktu itu, kita tidak benar-benar dekat. Aku hanya tahu kamu pandai matematika, selalu duduk di barisan depan, dan sering menjadi wakil kelas setiap kali ada lomba cerdas cermat. Aku, di sisi lain, hanyalah seseorang yang suka diam di perpustakaan, mencatat hal-hal yang tidak penting di buku harian. Tapi setiap kali kamu lewat di depan meja tempatku duduk, jantungku selalu berdetak lebih cepat dari biasanya.

Musim ujian datang, dan semua orang sibuk dengan masa depan masing-masing. Tapi aku masih sibuk mengingat hal-hal kecil tentangmu: cara kamu tertawa, cara kamu menatap langit-langit kelas saat bosan, bahkan cara kamu mengetik cepat di ponsel saat jam istirahat. Semua hal remeh itu, entah kenapa, menempel begitu kuat di ingatanku.

Sampai akhirnya, di hari terakhir sebelum kelulusan, kamu menemuiku di perpustakaan. Kamu berkata pelan, “Aku tahu kamu suka menulis. Kalau nanti sudah jadi penulis terkenal, jangan lupa kirimkan buku pertamamu ke aku.”
Aku hanya tersenyum, terlalu gugup untuk menjawab. Dan seperti itu saja, kamu pergi. Tidak ada kata perpisahan, tidak ada janji untuk bertemu lagi. Hanya satu kalimat yang tertinggal di udara, yang terus bergema bahkan bertahun-tahun kemudian.


Sepuluh tahun berlalu. Aku tidak lagi duduk di perpustakaan sekolah, tapi di kantor kecil dengan tumpukan naskah di meja. Aku menulis untuk hidup sekarang—bukan lagi untuk pelarian dari rasa sepi, tapi sebagai pekerjaan yang membayar sewa apartemen dan kopi setiap pagi.

Namun ada hal yang tidak berubah: aku masih menulis tentang cinta. Entah kenapa, setiap tokoh perempuan dalam ceritaku selalu memiliki sesuatu darimu—cara tertawanya, cara menatap dunia, atau cara memaafkan seseorang tanpa diminta. Mungkin karena sebagian dari diriku masih tertinggal di masa itu, di bawah langit sekolah yang penuh kenangan.

Suatu sore, ketika sedang mencari inspirasi, aku membuka situs berita dan melihat sebuah artikel tentang platform digital baru yang sedang naik daun. Namanya Gudang4D. Di sana tertulis: “Tempat di mana ide, kreativitas, dan mimpi bertemu.”
Aku tertarik bukan karena isinya, tapi karena salah satu nama di daftar tim pengembangnya: Dira Pradana.

Aku menatap layar lama sekali. Dunia ternyata selucu itu—mempertemukan dua orang yang pernah berbagi diam di usia muda, lalu melempar mereka ke arah yang sama tanpa disangka.

Malamnya aku mencari tahu lebih dalam. Gudang4D ternyata bergerak di bidang teknologi hiburan digital. Sebuah tempat di mana kreativitas menjadi jembatan antara orang-orang yang dulu punya mimpi tapi kehilangan arah di tengah perjalanan. Aku membaca setiap detailnya seperti seseorang yang sedang menelusuri jejak masa lalu yang tertinggal di dunia modern.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku menulis surat.
Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri—untuk anak perempuan yang dulu terlalu takut mengungkapkan perasaan, untuk remaja yang memilih diam karena takut kehilangan.


“Untuk diri yang pernah mencintai,
Terima kasih sudah tidak berhenti berharap.

Dulu kamu pikir cinta yang tidak terucap itu menyakitkan. Padahal, di situlah kamu belajar tentang kesabaran dan keberanian. Kamu belajar bahwa tidak semua rasa harus memiliki akhir, karena beberapa cinta hanya datang untuk mengajarkan bagaimana mencintai tanpa syarat.

Kini, kamu telah tumbuh. Dunia tidak lagi sekecil ruang kelas atau halaman sekolah. Tapi setiap kali kamu menulis, setiap kali kamu mengingat seseorang dengan tenang, itulah cinta yang sebenarnya. Tidak harus dimiliki, cukup diingat dengan senyum.

Dan kalau suatu hari kamu bertemu lagi dengannya—di dunia nyata, di layar komputer, atau di antara berita tentang Gudang4D—katakan terima kasih. Karena tanpanya, kamu mungkin tidak akan tahu bagaimana rasanya mencintai dengan tulus, tanpa pamrih.”


Beberapa minggu kemudian, aku menerima undangan untuk menghadiri acara peluncuran proyek baru dari Gudang4D. Aku tidak tahu kenapa aku datang. Mungkin karena penasaran, atau mungkin karena bagian dari diriku ingin menutup bab yang belum selesai.

Ruangan itu ramai, penuh orang dengan jas rapi dan kamera di tangan. Aku berdiri di sudut, mencoba mencari wajah yang sudah lama hanya hidup dalam kenangan. Lalu, di tengah sorotan lampu, aku melihatnya. Dira.
Ia berdiri di panggung, berbicara dengan percaya diri tentang masa depan digital dan kreativitas tanpa batas. Ia tampak berbeda—lebih dewasa, lebih tenang, tapi matanya masih sama. Mata yang dulu menatapku di antara rak buku perpustakaan.

Baca Juga: 777 Super Big Buildup Microgaming di Gudang4D, Starlite Fruits Microgaming di Gudang4D, Wacky Panda Microgaming di Gudang4D

Setelah acara usai, kami bertemu secara tak sengaja di area pameran. Dira menatapku sebentar, lalu tersenyum.
“Sudah jadi penulis terkenal rupanya,” katanya ringan.
Aku tertawa pelan. “Belum juga. Tapi aku masih menulis.”
Ia mengangguk. “Dan aku masih mengingat caramu menulis puisi di belakang buku catatan biologi.”

Kami berbicara sebentar. Tidak ada perasaan berlebihan, tidak ada harapan untuk mengulang masa lalu. Hanya dua orang yang pernah saling mengisi, kini saling menghargai dari jarak yang wajar.
Sebelum berpisah, Dira berkata, “Kamu tahu? Semua konsep visual di Gudang4D aku buat berdasarkan hal-hal yang dulu kamu ceritakan. Tentang ruang imajinasi, tentang tempat menyimpan kenangan.”
Aku terdiam. Dunia ternyata tidak hanya berputar, tapi juga menulis ulang ceritanya sendiri dengan cara yang lembut.

Ketika aku pulang malam itu, aku menatap langit kota yang sama sekali tidak ada bintangnya. Tapi entah kenapa, aku merasa hangat.
Mungkin cinta memang tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berubah bentuk—menjadi keberanian, menjadi kenangan, menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

Dan aku tahu, di setiap hal kecil yang kutulis, di setiap kata yang kubiarkan tumbuh di antara paragraf, ada sebagian dari kisah kita yang masih hidup. Tidak lagi menyakitkan, tidak lagi menuntut apa-apa—hanya ada rasa tenang, seperti senyum yang muncul tanpa alasan di penghujung hari.


on October 11, 2025 by pecinta handal |