Di Antara Suara Mesin dan Rasa yang Tak Padam

Kereta malam dari Surabaya menuju Jakarta melaju dalam sunyi. Di gerbong empat, seorang perempuan bernama Lila duduk menatap jendela, menyaksikan bayangan lampu kota yang berlalu seperti potongan waktu yang enggan berhenti. Ia baru saja meninggalkan sebuah bab dalam hidupnya—pekerjaan, kota, dan seseorang yang terlalu lama ia cintai dalam diam.

Sudah hampir tiga tahun Lila bekerja di sebuah biro desain kecil. Di sana, ia bertemu Rano, rekan kerja yang sama pendiamnya. Hubungan mereka dimulai dari hal-hal sepele: berbagi kopi di pagi hari, mengoreksi desain satu sama lain, menertawakan klien yang berubah pikiran di menit terakhir. Tidak ada pengakuan cinta, tapi ada kenyamanan yang tumbuh di sela rutinitas. Mereka seperti dua orang yang saling memahami tanpa perlu banyak kata.

Namun, perasaan yang tidak diungkapkan kadang menjadi sumber luka. Rano adalah pria yang sudah bertunangan sejak lama. Lila tahu sejak awal, tapi perasaan itu datang tanpa izin. Ia berusaha menjauh, namun setiap kali Rano menatapnya dengan senyum lelah di tengah lembur malam, semuanya runtuh. Ia tahu, cinta yang ia rasakan bukan untuk dimiliki.

Suatu malam, setelah proyek besar selesai, kantor mereka mengadakan makan malam bersama. Semua tertawa, membicarakan rencana masa depan. Lila duduk di ujung meja, mencoba menikmati suasana. Tapi ketika Rano mengangkat gelas dan berkata pelan, “Doakan aku bulan depan menikah,” Lila hanya bisa menunduk. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang retak tanpa suara.

Malam itu juga, ia menulis surat pengunduran diri. Tidak ada alasan khusus di kertas itu, hanya kalimat singkat: Terima kasih atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan.
Tidak ada yang tahu alasan sebenarnya, kecuali dirinya sendiri.

Beberapa minggu kemudian, ia menerima tawaran kerja di Jakarta. Sebuah perusahaan digital yang sedang berkembang pesat, bernama Gudang4D. Ia menerima tanpa banyak berpikir, seolah perpindahan itu adalah satu-satunya cara untuk menenangkan batin yang porak poranda. Ia tahu, kota baru bukan jaminan untuk melupakan, tapi mungkin bisa memberi jarak pada luka yang belum sembuh.

Perjalanan dengan kereta malam itu menjadi semacam peralihan. Lila memandangi wajah-wajah asing di sekitarnya, mencoba menebak cerita di balik masing-masing pandangan. Seorang ibu menidurkan anaknya, seorang pria muda sibuk dengan ponsel, dan seorang kakek memeluk tas lusuh seolah menyembunyikan kenangan di dalamnya. Dunia terus berjalan, pikirnya, bahkan ketika hati seseorang sedang hancur.

Jakarta menyambutnya dengan kesibukan yang brutal. Kantor Gudang4D berlokasi di gedung tinggi di pusat kota, penuh orang dengan ambisi yang tak pernah padam. Di hari pertama, Lila merasa kecil di antara hiruk pikuk itu. Namun, lambat laun ia mulai terbiasa. Ia menemukan ritme baru: pagi dengan kopi hitam, siang dengan rapat yang tak berkesudahan, malam dengan deadline yang menuntut sempurna.

Di antara kesibukan itu, perlahan ia belajar berdamai. Gudang4D bukan hanya tempat bekerja, tapi juga ruang bagi dirinya untuk tumbuh. Ia mulai berani berbicara di rapat, mulai mengusulkan ide-ide besar, dan mulai percaya bahwa dirinya mampu tanpa harus bersembunyi di balik bayangan siapa pun. Setiap proyek yang ia selesaikan terasa seperti potongan baru dalam hidupnya yang sedang disusun ulang.

Suatu hari, di tengah rapat, manajer kreatif memperkenalkan karyawan baru dari cabang Surabaya. Nama itu membuat jantung Lila berhenti sejenak: Rano. Ia menatap ke depan, dan di sana, pria yang dulu hanya hidup dalam kenangan kini berdiri nyata, mengenakan kemeja putih yang sama seperti terakhir kali ia ingat. Dunia, tampaknya, suka bercanda.

Pertemuan mereka canggung. Tidak ada pelukan, tidak ada sapaan akrab. Hanya tatapan singkat yang sarat makna. Rano tampak berbeda, sedikit lebih tenang, sedikit lebih dewasa. Mereka kembali bekerja dalam tim yang sama, dan seperti dulu, percakapan mereka mengalir pelan, berhati-hati agar tak menyentuh hal-hal yang seharusnya tak dibuka lagi.

Waktu berjalan. Mereka bekerja bersama selama beberapa bulan, dan meskipun Lila berusaha menjaga jarak, ada saat-saat ketika kenangan lama muncul tanpa diundang. Rano pernah berkata di sela lembur, “Lucu, ya. Dulu kita kerja bareng di kota kecil, sekarang ketemu lagi di sini.”
Lila hanya menjawab, “Mungkin dunia memang terlalu sempit untuk orang yang tidak benar-benar selesai.”

Suatu malam, setelah lembur panjang, Rano menawarkan tumpangan. Hujan turun deras, jalanan macet, dan mobil mereka berhenti di lampu merah cukup lama. Di tengah suara hujan dan wiper yang berdetak pelan, Rano akhirnya bicara.
“Aku batal menikah waktu itu. Kami sama-sama sadar, mungkin memang tidak saling mencintai seperti seharusnya.”
Lila menatap keluar jendela. Hujan memantulkan bayangan lampu, seperti air mata yang tidak tumpah. Ia tidak menjawab.
Rano melanjutkan, “Aku tahu aku banyak salah. Termasuk membiarkanmu pergi tanpa mencoba menahan.”
Lila menarik napas panjang. “Mungkin memang begitu seharusnya. Beberapa hal harus berakhir supaya kita belajar.”

Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Mobil melaju dalam diam sampai berhenti di depan apartemen Lila. Sebelum turun, ia menoleh sebentar. “Terima kasih sudah mengantarkan. Dan terima kasih karena dulu pernah membuatku berani mencintai, meski akhirnya harus berhenti.”

Baca Juga: Mustang Gold Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Big Bass Vegas Double Down Deluxe Pragmatic Play di Gudang4D, Fishin’s Bigger Pots of Gold Microgaming di Gudang4D

Sejak malam itu, hubungan mereka kembali menjadi profesional. Tidak ada kedekatan berlebih, tidak ada masa lalu yang dibahas ulang. Hanya dua orang dewasa yang tahu bahwa beberapa cerita lebih baik disimpan daripada dipaksa hidup kembali. Namun, setiap kali Lila melihat logo Gudang4D di layar komputernya, ia teringat betapa tempat ini menjadi saksi bagaimana cinta bisa berubah bentuk: dari luka, menjadi pelajaran.

Waktu terus berjalan. Lila semakin matang, semakin kuat. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu tentang memiliki, tapi tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk sembuh. Ia tak lagi mencari penjelasan dari masa lalu, karena kini ia tahu, beberapa pertemuan hanya diciptakan agar seseorang bisa menemukan dirinya sendiri di tengah kehilangan.

Suatu pagi, ia datang lebih awal ke kantor. Kota masih setengah terjaga, dan cahaya matahari pertama menembus jendela besar ruangan. Ia menatap refleksi dirinya di kaca: seseorang yang dulu rapuh kini berdiri tegak, siap menghadapi hari baru.
Di layar komputernya, sebuah proyek baru terbuka dengan nama file: Journey to Heal.
Ia tersenyum kecil. Kali ini, perjalanannya bukan untuk melupakan siapa pun, tapi untuk memahami bahwa cinta sejati adalah keberanian untuk tetap berjalan, meski tanpa siapa-siapa di sisi.

Dan di luar sana, suara mesin kota mulai menggema—tanda kehidupan terus bergerak, bahkan ketika hati manusia berhenti sejenak di antara ingatan yang belum padam.


on October 11, 2025 by pecinta handal |