Setelah Senja Pergi

Ada hal-hal yang tidak pernah kita rencanakan tapi justru membentuk seluruh hidup kita. Bagi Nara, hal itu bernama Dimas.

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di Jakarta Selatan. Waktu itu, Nara baru saja keluar dari kantor setelah lembur dua malam berturut-turut. Matanya sembab, kepalanya berat, dan pikirannya penuh dengan tekanan dari deadline yang tak berkesudahan. Ia hanya ingin tempat tenang untuk bernapas sebentar. Kedai itu kebetulan masih buka, meski sudah lewat tengah malam.

Di pojok ruangan, seorang pria duduk sendiri dengan laptop terbuka. Kaus hitam, headphone di leher, dan tatapan yang fokus pada layar. Bukan tipe orang yang menarik perhatian, tapi entah kenapa, pandangan mereka sempat bertemu. Sekilas saja. Dan saat itu, ada semacam energi diam yang membuat Nara tak bisa berpaling.

Ia memesan kopi hitam, duduk di meja seberang, dan mencoba menulis sesuatu di buku catatannya. Tapi pikirannya kosong. Mungkin karena tubuhnya lelah, atau mungkin karena tatapan pria itu masih terasa di sudut matanya.

Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba suara lembut memecah kesunyian.
“Kamu kayaknya butuh gula,” ucap pria itu sambil tersenyum kecil, menunjuk cangkir kopi Nara yang belum disentuh.
Nara mengangkat alis, sedikit terkejut. “Kamu tahu dari mana?”
“Karena wajahmu kayak seseorang yang sudah cukup pahit hari ini.”

Mereka tertawa. Percakapan sederhana itu menjadi awal dari sesuatu yang pelan-pelan tumbuh. Dimas memperkenalkan diri sebagai desainer freelance. Mereka mulai bertemu lebih sering—kadang tanpa janji, kadang hanya kebetulan di tempat yang sama. Ada yang bilang, pertemuan berulang tanpa rencana adalah tanda dari semesta yang sedang bersekongkol.

Beberapa minggu kemudian, Nara mulai terbiasa menunggu malam hanya untuk bertemu Dimas. Ia merasa aman bersamanya—bukan karena Dimas banyak bicara, tapi karena diamnya menenangkan. Di tengah hiruk pikuk kota, Dimas seperti jeda di antara rutinitas yang melelahkan.

Namun, cinta sering kali tidak berjalan semulus yang diharapkan. Di balik ketenangan Dimas, ada sesuatu yang tak pernah ia ceritakan. Setiap kali Nara bertanya tentang keluarganya atau masa lalunya, Dimas hanya tersenyum samar dan mengganti topik. Nara tidak memaksa. Ia pikir, setiap orang berhak menyimpan luka sendiri.

Sampai suatu malam, Dimas tidak datang. Tidak ada pesan, tidak ada kabar. Nomornya tidak bisa dihubungi. Nara menunggu, seminggu, dua minggu, hingga akhirnya bulan berganti. Semua hal kecil yang dulu membuatnya tersenyum kini justru menjadi sumber rasa sakit: kursi pojok di kedai, playlist lagu yang mereka dengar bersama, aroma kopi di pagi hari. Semuanya berubah menjadi pengingat bahwa seseorang bisa hadir begitu kuat lalu menghilang tanpa penjelasan.

Dalam kesedihannya, Nara mencoba kembali ke rutinitas. Ia menulis lagi, mencoba fokus pada kariernya. Tapi di sela-sela malam panjang, pikirannya selalu kembali pada Dimas. Ada banyak hal yang tidak sempat ia katakan—tentang bagaimana kehadiran Dimas membuatnya merasa cukup, tentang bagaimana diam pria itu justru terasa lebih jujur daripada janji-janji manis dari siapa pun sebelumnya.

Suatu hari, saat sedang membuka laptop di ruang kerja, Nara melihat sebuah iklan muncul di layar.
Tulisan di atasnya: “Buka peluang baru, raih keberuntunganmu di Gudang4D
Ia tertawa kecil. Nama itu lucu. Tapi ada sesuatu dalam iklan itu yang terasa... familiar. Desain logonya, warna birunya, dan gaya tipografinya. Seketika hatinya berdebar.
Ia mengenali ciri khas desain itu. Itu milik Dimas.

Tanpa pikir panjang, Nara menelusuri lebih jauh. Ia menemukan bahwa situs Gudang4D ternyata adalah proyek digital baru yang sedang naik daun, dan di baliknya, nama desainer utamanya: Dimas Rendra. Ia masih hidup, masih berkarya, tapi memilih pergi tanpa pesan.

Nara menatap layar lama sekali. Tidak tahu harus marah, lega, atau sedih. Namun satu hal pasti: dalam diamnya, Dimas tetap meninggalkan jejak. Bukan hanya dalam hatinya, tapi juga dalam setiap karya yang kini tersebar di dunia maya.
Ia akhirnya menulis sesuatu di buku catatan lamanya:
“Beberapa cinta tidak butuh akhir bahagia, cukup menjadi alasan kenapa kita pernah tersenyum di tengah hidup yang berat.”

Sejak saat itu, Nara berhenti mencari. Ia tidak ingin tahu kenapa Dimas pergi. Mungkin karena cinta sejati tidak selalu harus dimiliki, kadang cukup dihargai keberadaannya.
Ia mulai fokus menulis lagi, kali ini tentang pertemuan, kehilangan, dan makna bertahan.

Beberapa bulan berlalu. Suatu pagi, Nara menerima email dari seseorang tanpa nama. Subjeknya hanya tertulis: Untuk Nara.
Isi pesannya pendek:
“Aku selalu membaca tulisanmu. Terima kasih sudah membuat hujan tidak lagi terasa sunyi. — D.”

Nara tersenyum. Tidak ada lampiran, tidak ada penjelasan, hanya kalimat itu. Tapi bagi Nara, itu sudah cukup.
Ia menutup laptop, menatap ke luar jendela, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tenang.
Cinta memang tidak selalu harus kembali, kadang cukup hadir untuk mengajarkan arti kehilangan yang indah.

Dan di luar sana, mungkin Dimas juga sedang menatap layar lain, tersenyum pada kisah yang mereka bagi tanpa kata.

Baca Juga: Chests of Cai Shen Pragmatic Play di Gudang4D, Anime Mecha Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Mystery Mice Pragmatic Play di Gudang4D

Dua hati yang tidak lagi saling memiliki, tapi tetap saling mengingat di ruang digital yang tak berbatas—seperti nama situs yang tanpa sengaja mempertemukan mereka lagi: Gudang4D, tempat di mana kenangan dan harapan disimpan dalam bentuk yang tak pernah benar-benar hilang.


on October 11, 2025 by pecinta handal |