Cinta di Antara Hujan dan Harapan

Malam itu, hujan turun tanpa aba-aba. Rintiknya mengetuk atap kos sederhana tempat Arga tinggal, seakan ingin mengingatkan bahwa waktu terus berjalan. Ia menatap keluar jendela, melihat kilatan lampu dari kendaraan yang lewat, dan tiba-tiba pikirannya melayang pada satu nama: Lira.

Sudah hampir dua tahun sejak pertemuan terakhir mereka. Dua tahun yang terasa seperti selamanya. Namun, bagi Arga, kenangan tentang Lira masih sejelas cahaya lampu jalan yang memantul di genangan air malam itu. Mereka dulu bertemu secara tidak sengaja di perpustakaan kampus—dua orang asing yang sama-sama mencari ketenangan di antara tumpukan buku dan aroma kertas yang menenangkan.

Lira saat itu sedang menunduk, mencatat sesuatu di buku catatannya, ketika sebuah buku jatuh dari rak di sebelahnya. Arga yang lewat spontan membantunya memungut buku itu. Dari situlah segalanya dimulai—percakapan sederhana yang berkembang menjadi tawa, dan tawa yang perlahan berubah menjadi perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Arga masih ingat, Lira punya kebiasaan aneh: setiap kali gugup, ia akan menggigit ujung pulpenya. Setiap kali sedih, ia memilih diam lama, tapi matanya berbicara lebih keras dari siapa pun. Arga jatuh cinta bukan pada senyum Lira, tapi pada keheningan di antara mereka—keheningan yang terasa damai, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk memberi ruang bagi mereka berdua.

Namun, cinta tidak selalu berjalan sesuai rencana. Setelah lulus, Lira mendapat tawaran kerja di luar kota. Arga berusaha menahannya, tapi Lira punya impian yang lebih besar dari sekadar cinta. Ia ingin membahagiakan keluarganya, ingin berdiri di atas kaki sendiri. Arga mengerti, tapi mengerti bukan berarti mudah menerima.

Sebelum Lira pergi, mereka berjanji untuk tetap saling menunggu. “Jika memang kita ditakdirkan, waktu akan membawa kita kembali,” kata Lira sambil tersenyum di bawah payung biru. Kalimat itu menancap di hati Arga, seperti mantra yang membuatnya bertahan selama dua tahun ini.

Hari-hari Arga berlalu monoton. Ia bekerja sebagai penulis lepas, menghabiskan waktu di kafe langganan sambil menatap layar laptop. Di sela-sela pekerjaannya, kadang ia menulis cerita tentang cinta—tentang perempuan yang selalu muncul di mimpinya, tentang hujan, dan tentang perpisahan. Kadang ia berpikir, mungkin Lira juga sedang menulis tentang dirinya di kota lain sana.

Suatu hari, di tengah kesibukannya menulis artikel untuk sebuah portal hiburan, Arga menemukan situs bernama Gudang4D Awalnya ia mengira itu sekadar situs biasa, tapi entah kenapa, nama itu membuatnya teringat pada tawa Lira—karena Lira dulu sering bercanda soal “gudang mimpi” tempat semua harapan disimpan. Ia tersenyum sendiri, merasa lucu dengan asosiasi aneh itu. Tapi di saat yang sama, ada rasa hangat yang tumbuh di dadanya. Barangkali, kebetulan seperti itu adalah cara semesta mengingatkan.

Beberapa minggu kemudian, Arga menerima pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Hanya satu kalimat: “Apakah kamu masih suka hujan?”
Ia terpaku. Hanya Lira yang tahu betapa ia mencintai hujan, betapa ia selalu menyamakan hujan dengan pertemuan mereka dulu.

Tanpa ragu, Arga membalas: “Selalu. Karena hujan mengingatkanku padamu.”
Balasan datang cepat: “Kalau begitu, temui aku di tempat kita dulu. Aku di kota lagi.”

Hujan turun malam itu, sama seperti dua tahun lalu. Arga mengenakan jaket tua, berjalan cepat ke taman kampus—tempat di mana mereka dulu sering berbagi waktu. Lampu taman berpendar lembut di balik tirai air, dan di bawah salah satu pohon besar, ia melihat sosok yang begitu dirindukan.

Lira berdiri di sana, rambutnya sedikit basah, matanya berkilau karena air hujan. Tidak ada kata-kata ketika mereka saling menatap. Dunia seakan berhenti, dan hanya suara hujan yang menjadi saksi. Ketika akhirnya Arga mendekat, Lira berkata pelan, “Aku pulang, bukan karena pekerjaan selesai, tapi karena aku sadar... rumahku adalah kamu.”

Arga tak bisa menahan air mata. Semua rasa yang sempat ia kubur muncul lagi, deras seperti hujan yang turun malam itu. Ia mendekap Lira tanpa bicara, karena kadang cinta tak butuh kata, hanya butuh keberanian untuk kembali.

Setelah malam itu, mereka mulai lagi dari awal. Tidak dengan janji besar, tapi dengan langkah kecil yang penuh kejujuran. Mereka belajar menerima bahwa cinta bukan tentang siapa yang pergi atau siapa yang menunggu, tapi tentang siapa yang tetap memilih bertahan walau segalanya berubah.

Dalam perjalanan waktu mereka, Arga sering mengenang kembali masa-masa sunyinya—masa ketika satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hanyalah keyakinan bahwa suatu hari akan ada hujan yang membawa Lira kembali. Dan memang, hujan itu datang. Kali ini bukan untuk perpisahan, tapi untuk menyatukan dua hati yang pernah terluka oleh jarak dan waktu.

Kini, setiap kali hujan turun, Arga dan Lira punya ritual kecil. Mereka akan duduk di balkon sambil menyeruput kopi hangat, menatap langit abu-abu, dan tersenyum. “Kalau bukan karena hujan,” kata Lira suatu kali, “mungkin kita tidak akan pernah tahu artinya rindu yang sesungguhnya.”

Arga hanya mengangguk, menatap wajah perempuan yang kini menjadi bagian dari setiap detiknya. Ia tahu, tidak ada lagi yang perlu dicari. Cinta yang dulu terasa mustahil kini sudah kembali, sederhana tapi nyata.

Di luar sana, dunia terus berputar. Tapi bagi mereka, waktu seakan berhenti setiap kali hujan turun. Dan di antara suara rintik yang menenangkan, Arga sering berbisik dalam hati, “Terima kasih, semesta. Karena sudah mengembalikan Lira—dan juga aku—ke tempat yang seharusnya.”


on October 11, 2025 by pecinta handal |