Di Ujung Jalan Sudirman

ADEGAN 1 — PAGI DI KOTA

Jakarta baru bangun. Langit masih kelabu, udara belum terlalu panas. Mobil-mobil melintas pelan di jalan Sudirman, dan di salah satu sudut halte, seorang perempuan berdiri sambil menatap layar ponselnya. Namanya Rani.

Ia mengenakan jaket denim lusuh dan membawa tas kanvas berisi laptop. Matanya menatap kosong ke arah jalan, seolah menunggu sesuatu yang tak pasti. Sebenarnya, ia tidak benar-benar menunggu siapa pun. Hanya sedang menunda pergi ke kantor—kantor startup bernama Gudang4D tempat ia bekerja sebagai penulis konten.

Rani sudah dua tahun di kota ini. Setiap pagi terasa sama: macet, kopi instan, musik dari earphone, dan rasa lelah yang datang sebelum hari benar-benar dimulai. Namun pagi itu berbeda, karena seseorang menepuk bahunya dari belakang.

“Permisi, ini dompetmu jatuh.”

Rani menoleh. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan kemeja abu-abu dan membawa ransel kecil. Wajahnya asing tapi senyumnya tenang.

“Oh, terima kasih,” ucap Rani canggung.
“Sama-sama. Aku juga nunggu bus, kayaknya arah kita sama,” jawab pria itu sambil tersenyum lagi.

Mereka berdiri berdampingan dalam diam. Sesekali pandangan mereka bertemu di kaca halte, lalu berpaling cepat-cepat. Ketika bus datang, mereka naik bersama, tapi memilih duduk terpisah. Di antara kebisingan jalan dan suara klakson, Rani entah kenapa ingin tahu siapa pria itu, tapi terlalu gengsi untuk memulai percakapan.


ADEGAN 2 — RUANG KERJA

Gudang4D bukan kantor besar. Letaknya di gedung tua lantai empat tanpa lift. Namun di balik kesederhanaannya, suasana di dalamnya hangat. Rani bekerja di tim konten digital, menulis artikel dan konsep kampanye promosi yang setiap hari harus “menjual mimpi dengan kata-kata”.

Di meja sebelahnya duduk Rio, desainer grafis baru. Rambutnya agak berantakan, tapi matanya tajam. Saat pertama kali masuk, ia hanya berkata singkat, “Aku orang yang tadi di halte.”

Rani menatapnya kaget. “Kamu serius?”
Rio mengangguk pelan sambil menyalakan laptop. “Kebetulan sekali, ya?”
“Jakarta kecil,” jawab Rani sambil tersenyum samar.

Sejak hari itu, mereka sering bekerja berdampingan. Rani menulis, Rio mendesain. Kadang mereka berdebat soal warna, kadang tertawa karena hal sepele. Lambat laun, ruang kantor yang tadinya terasa sempit kini justru terasa aman.

Rani tak tahu sejak kapan perasaannya berubah. Mungkin sejak Rio mulai membawakan kopi tanpa diminta, atau sejak ia memuji tulisan Rani dengan tulus. Bukan pujian basa-basi, tapi cara Rio berkata, “Tulisanmu terasa hidup. Seolah kamu menulis tentang dirimu sendiri.”

Dan memang begitu adanya. Setiap artikel yang Rani tulis untuk Gudang4D selalu berisi potongan dari dirinya—tentang kesepian, tentang harapan yang nyaris padam, tentang cinta yang takut tumbuh.


ADEGAN 3 — HUJAN PETANG

Suatu sore, hujan turun deras. Listrik di kantor padam. Beberapa karyawan memutuskan pulang lebih awal, tapi Rani dan Rio memilih menunggu di ruang kerja yang remang.

Rani menatap jendela, hujan seperti tirai yang menutupi kota.
“Aku suka hujan,” katanya pelan.
“Kenapa?” tanya Rio.
“Karena semua suara jadi sama. Tidak ada yang terdengar lebih keras dari yang lain. Bahkan perasaan sendiri bisa terdengar samar.”

Rio menatapnya lama. “Kamu pernah kehilangan seseorang, ya?”
Rani tersenyum miris. “Siapa yang tidak?”

Hening sejenak. Hanya suara hujan dan detak jarum jam di dinding.

“Aku juga pernah,” kata Rio tiba-tiba. “Dulu aku mencintai seseorang yang terlalu mencintai pekerjaannya. Dia bilang cinta butuh waktu, tapi waktu justru yang menjauhkan kami.”
Rani menatapnya. “Sekarang masih mencintai dia?”
Rio menarik napas dalam. “Tidak tahu. Kadang rindu, tapi bukan pada orangnya—lebih ke versi diriku saat bersamanya.”

Ucapan itu menancap di benak Rani. Ia tahu persis rasanya.


ADEGAN 4 — JEDA

Hari-hari berlalu. Hubungan mereka semakin dekat, tapi tak pernah diucapkan. Ada batas yang tidak terlihat namun sama-sama mereka jaga. Kadang Rio memotret Rani diam-diam saat bekerja, kadang Rani menulis puisi tentang pria tanpa nama yang mencintai diam.

Baca Juga: Amazon Kingdom Microgaming di Gudang4D, Wizard Winfall Skywind di Gudang4D, Banished Souls Skywind di Gudang4D

Sampai suatu hari, Rio mendapat tawaran pekerjaan dari luar negeri. Ia datang ke Rani membawa kabar itu.
“Ini kesempatan besar buatku,” katanya.
Rani mengangguk pelan. “Selamat. Kamu pantas mendapatkannya.”
“Tapi entah kenapa, aku ragu.”
“Kenapa?”
“Karena kalau aku pergi, aku takut tidak bisa menemukan tempat yang terasa seperti rumah lagi.”

Rani menatapnya tanpa kata. Hatinya berat, tapi ia tahu, cinta yang sehat bukan tentang menahan seseorang, melainkan membiarkan dia tumbuh.
“Pergilah,” ucapnya lirih. “Rumah itu tidak harus selalu tempat. Kadang rumah adalah perasaan yang kamu bawa dari orang yang pernah membuatmu tenang.”

Rio tersenyum tipis. “Kamu akan baik-baik saja di sini.”
“Aku sudah baik sejak mengenalmu,” jawab Rani.

Mereka berpelukan singkat, lalu berpisah.


ADEGAN 5 — SETAHUN KEMUDIAN

Rani masih di Gudang4D. Banyak hal berubah. Tim bertambah besar, proyek semakin banyak, tapi ada satu hal yang tetap: secangkir kopi di meja kerja yang selalu ia siapkan untuk seseorang yang tak lagi duduk di sebelahnya.

Di suatu pagi yang sibuk, email baru masuk ke kotak masuknya. Dari Rio.
Subjek: “Masih suka hujan?”
Pesan singkat itu hanya berisi satu kalimat:
“Di tempatku sekarang, hujannya sama. Tapi tidak ada yang menatapnya seindah kamu.”

Rani menutup laptop, menatap ke luar jendela. Hujan turun pelan, seolah sengaja datang untuk menyampaikan sesuatu. Ia tersenyum—bukan karena sedih, tapi karena akhirnya ia paham bahwa melupakan bukan berarti berhenti mencintai.

Beberapa cinta tidak butuh akhir. Mereka hanya butuh dikenang dengan tenang.
Dan mungkin, di balik layar-layar Gudang4D tempat mereka dulu bekerja bersama, cinta itu masih tersimpan dalam setiap piksel desain, dalam setiap kata yang mereka tinggalkan.


on October 11, 2025 by pecinta handal |