Ada masa di mana cinta terasa seperti musim yang kita tunggu, tapi datang ketika daun sudah gugur. Bukan karena ia tidak setia pada waktunya, melainkan karena kita sudah berhenti percaya bahwa sesuatu masih bisa tumbuh dari tanah yang retak.
Di sebuah kafe kecil di ujung kota, dua orang duduk berhadapan tanpa janji. Mereka tidak sedang jatuh cinta, tapi juga tidak benar-benar asing. Dunia, dengan cara yang aneh, mempertemukan mereka setelah terlalu banyak kehilangan.
Namanya Lintang. Seorang editor lepas yang bekerja di platform kreatif bernama Gudang4D. Ia terbiasa memperbaiki tulisan orang lain—menghapus kalimat yang terlalu jujur, menambahkan metafora agar rasa sakit tampak puitis. Pekerjaan itu membuatnya lihai menyembunyikan luka, karena setiap paragraf yang ia ubah sebenarnya adalah cermin dari dirinya sendiri.
Sedangkan pria di depannya bernama Bram. Seorang fotografer yang sudah lama berhenti mengambil gambar manusia. Ia lebih suka memotret langit dan bayangan pohon, karena keduanya tidak pernah menatap balik dengan kecewa.
Pertemuan mereka bukan kisah romantis yang dimulai dari senyum di halte atau tatapan di antara rak buku. Mereka bertemu karena kebetulan—atau mungkin karena semesta ingin memberi mereka ruang untuk berbicara tentang hal-hal yang selama ini disimpan sendiri.
Lintang datang lebih dulu. Ia memilih meja dekat jendela, membawa laptop dan segelas kopi dingin. Beberapa menit kemudian Bram muncul, membawa kamera tua dan sebotol air mineral.
“Terima kasih sudah mau ketemu,” katanya canggung.
Lintang tersenyum samar. “Kamu yang minta bantuan edit naskah foto-cerita, kan? Aku penasaran juga.”
Bram mengangguk. “Aku ingin proyek ini berbeda. Aku ingin setiap foto bercerita, bukan cuma menunjukkan sesuatu. Tapi aku tidak tahu cara menulis.”
“Kita bisa mulai dari perasaan,” kata Lintang pelan. “Setiap gambar pasti punya rasa. Tugas kita tinggal mendengarkan apa yang dia katakan.”
Mereka berbicara lama. Tentang cahaya, tentang bayangan, tentang cara mengabadikan yang fana agar terasa abadi. Tapi di sela percakapan profesional itu, ada hal lain yang perlahan muncul—rasa hangat yang sulit dijelaskan, seperti lagu lama yang tiba-tiba terdengar lagi setelah bertahun-tahun.
Malam semakin larut, tapi mereka tidak beranjak. Lintang menatap Bram yang sedang menjelaskan konsep fotonya: wajah-wajah orang asing di tengah kota, semua tampak menunduk, sibuk dengan ponsel atau pikiran masing-masing.
“Aku ingin menunjukkan betapa sunyinya dunia yang ramai,” kata Bram.
Lintang menatap fotonya lama. “Kamu juga tampak seperti salah satu dari mereka.”
Bram tersenyum getir. “Aku memang bagian dari mereka.”
Hening sejenak. Di luar jendela, lampu jalan berkedip pelan seperti mengantuk.
Lintang berkata lirih, “Aku juga pernah berpikir cinta hanya akan datang sekali. Tapi ternyata tidak. Ia datang berkali-kali, tapi tidak selalu dengan wujud yang kita kenal.”
Bram mengangguk pelan. “Mungkin karena cinta bukan tentang siapa yang pertama datang, tapi siapa yang tetap tinggal meski semua orang sudah pergi.”
Ucapan itu membuat Lintang menunduk. Ia tahu kalimat itu bukan teori, tapi pengalaman. Seseorang pernah pergi dari hidupnya tanpa sempat ia tahan. Sejak itu, ia tidak lagi menulis puisi.
Sementara Bram, pernah kehilangan seseorang yang terlalu ia cintai sampai lupa mencintai diri sendiri. Ia berhenti memotret wajah, karena setiap senyum terasa seperti kebohongan yang ia bantu buat.
Di antara mereka berdua, ada sejenis kesunyian yang sama. Tapi entah bagaimana, kesunyian itu terasa tidak menakutkan. Justru di situlah kedamaian baru muncul—karena untuk pertama kalinya, mereka bisa diam tanpa merasa sendirian.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti aliran sungai yang tenang. Mereka mulai bekerja bersama: Lintang menulis narasi untuk foto-foto Bram, dan Bram mengirimkan gambar baru setiap minggu. Dalam percakapan lewat email, mereka sering saling bercerita hal-hal kecil: tentang kopi, buku, dan mimpi yang belum selesai.
“Kadang aku pikir, pekerjaan di Gudang4D cuma tempat berlindung,” tulis Lintang dalam salah satu pesannya.
“Berlindung dari apa?” tanya Bram.
“Dari diriku sendiri.”
Bram membalas, “Mungkin kita semua seperti itu. Bersembunyi di balik hal-hal yang kita kerjakan, berharap seseorang cukup sabar untuk menemukannya.”
Kata-kata itu membuat Lintang berpikir lama. Ia mulai menulis lagi, bukan karena kewajiban pekerjaan, tapi karena ingin. Setiap kalimat yang ia buat kini terasa seperti langkah pulang ke tempat yang lama ia tinggalkan.
Sampai suatu hari, Bram datang membawa berita yang tidak mudah. Ia mendapat kesempatan pameran di luar negeri.
Lintang hanya diam. Ia tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan demi mimpi, dan ia tidak ingin menjadi alasan seseorang ragu untuk melangkah.
“Aku senang untukmu,” katanya pelan.
Bram menatapnya. “Tapi aku takut kehilangan hal yang baru kutemukan.”
“Kalau memang untukmu, hal itu tidak akan hilang.”
Malam itu mereka berjalan bersama menuju halte. Tidak ada janji, tidak ada kata cinta. Hanya dua orang yang tahu bahwa perasaan kadang tidak butuh pengakuan untuk menjadi nyata.
Ketika bus Bram datang, Lintang menatapnya dengan tenang. “Kamu akan menemukan hal-hal baru di luar sana. Tapi jangan lupakan, kadang rumah tidak selalu tempat yang kamu tinggali, tapi orang yang membuatmu merasa ingin kembali.”
Baca Juga: Tower Power Skywind di Gudang4D, Stormforged Hacksaw Gaming di Gudang4D, Time Spinners Hacksaw Gaming di Gudang4D
Bram tersenyum, dan untuk pertama kalinya, matanya terlihat lega.
Beberapa bulan kemudian, Lintang menulis artikel baru untuk Gudang4D. Judulnya: “Cinta Tidak Datang Terlambat, Ia Datang Saat Kita Siap Menerimanya.”
Di akhir artikelnya, ia menulis paragraf yang tidak dikirimkan ke redaksi. Paragraf itu hanya untuk dirinya sendiri.
“Aku pernah menunggu cinta datang seperti menunggu surat yang tak kunjung tiba. Kini aku tahu, mungkin surat itu memang tidak pernah ditulis untukku—karena aku sendiri yang harus menulisnya.
Dan ketika seseorang membaca surat itu di waktu yang tepat, mungkin saat itulah cinta benar-benar sampai.”
Ia menatap layar lama, lalu menekan simpan. Di luar, senja perlahan turun, meninggalkan warna oranye di langit jendela. Rasa sepi yang dulu menakutkan kini berubah jadi tenang. Karena kali ini, ia tahu: terlambat bukan berarti kalah.
Cinta yang datang setelah luka bukan untuk mengulang, tapi untuk menyembuhkan.
Dan entah di mana pun Bram berada, Lintang yakin—di antara cahaya, bayangan, dan jarak yang memisahkan, mereka sedang melihat langit yang sama.