Ruang Tunggu yang Sama

INT. KAFE BANDARA – MALAM

Langit di luar gelap. Hujan menetes di jendela kaca besar. Di dalam, suara mesin kopi dan musik lembut bercampur dengan panggilan penerbangan yang sesekali terdengar dari pengeras suara.

RARA duduk sendirian di dekat jendela, memegang secangkir kopi yang sudah dingin. Di seberangnya, kursi kosong. Matanya lelah tapi tajam, seperti seseorang yang terbiasa menunggu.

BRAM datang perlahan, membawa ransel dan setumpuk waktu yang tidak mereka bagi bersama. Ia berhenti sebentar, lalu tersenyum samar.

BRAM
Kursi ini kosong?

RARA
Masih. Tapi mungkin sudah dipesan oleh seseorang yang tidak pernah datang.

BRAM
(tersenyum)
Kamu masih suka bicara dengan teka-teki, ya?

RARA
Dunia terlalu berisik kalau kita bicara terus terang.

Mereka diam. Hujan semakin deras. Lampu-lampu bandara memantul di lantai marmer, seperti genangan kenangan yang tak mau kering.


BRAM
Sudah berapa tahun?

RARA
Enam. Atau tujuh. Aku berhenti menghitung setelah ulang tahunmu yang terakhir aku kirim pesan tapi tidak dibalas.

BRAM
Waktu itu... aku tidak tahu harus bilang apa.

RARA
Kamu tidak harus bilang apa-apa. Tapi diam juga bentuk jawaban, Bram.

Bram menatap meja. Rara tidak menatap balik. Suara sendok mengenai cangkir memecah hening.


BRAM
Kamu kelihatan berbeda.

RARA
Kamu juga. Tapi masih punya kebiasaan yang sama—datang terlambat.

BRAM
Aku tidak sengaja ke sini. Transit sebelum penerbangan selanjutnya.
(sejenak)
Aku baru dari Surabaya. Ada proyek untuk klien besar. Gudang4D, pernah dengar?

RARA
(tertawa pendek)
Ironi yang aneh. Aku juga kerja di sana. Divisi konten, cabang Jakarta.

BRAM
Serius?

RARA
Dunia kecil, atau semesta sedang main-main.

Mereka menatap satu sama lain. Ada tawa singkat, tapi di baliknya ada getar yang tidak selesai.


BRAM
Waktu itu aku pergi terlalu cepat, ya?

RARA
Kamu tidak pergi cepat. Aku saja yang terlalu lambat berhenti berharap.

BRAM
Aku pikir kalau aku pergi, semuanya akan lebih mudah. Tapi ternyata yang tersulit bukan meninggalkanmu, melainkan menahan diri untuk tidak kembali.

RARA
Kamu benar. Kadang yang paling menyakitkan bukan kehilangan, tapi menyadari bahwa kita bisa hidup tanpanya.

Mereka diam lama. Seorang pramugari lewat membawa nampan kopi. Di luar, pesawat menderu melewati kaca.


RARA
Jadi, kamu akan pergi ke mana?

BRAM
Singapura. Dua minggu, mungkin lebih. Ada proyek kolaborasi internasional.

RARA
Dan setelah itu?

BRAM
Entahlah. Hidupku sudah terlalu banyak “setelah itu.”

RARA
Kamu masih sama. Masih bicara dengan nada orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya ia mau.

BRAM
Dan kamu masih sama. Masih bisa membaca isi kepalaku bahkan sebelum aku bicara.

Rara menatap ke luar jendela. Kilatan cahaya dari pesawat yang mendarat memantul di matanya.


RARA
Aku dulu sering memimpikan pertemuan seperti ini. Tapi di mimpi itu, kamu datang dengan bunga, bukan dengan ransel dan mata yang letih.

BRAM
Kalau begitu, aku minta maaf karena datang sebagai diriku yang nyata, bukan versi yang kamu harapkan.

RARA
Tidak apa. Kadang kenyataan lebih mudah diterima daripada harapan yang tak kunjung jadi nyata.

BRAM
Kamu masih menulis?

RARA
Masih. Tapi bukan puisi. Aku menulis naskah promosi, artikel produk, caption media sosial. Kata-kata yang dijual. Kata-kata yang tidak punya perasaan.

BRAM
Tapi kamu tetap membuat orang percaya. Itu juga bentuk keajaiban, Ra.

RARA
Atau bentuk kebohongan yang sudah kuterima sebagai profesi.

Baca Juga: Mustang Gold Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Big Bass Vegas Double Down Deluxe Pragmatic Play di Gudang4D, Fishin’s Bigger Pots of Gold Microgaming di Gudang4D


BRAM
Kamu bahagia?

RARA
(tersenyum tipis)
Bahagia itu aneh. Aku tidak tahu apakah aku bahagia, tapi aku berhenti merasa hancur. Itu sudah cukup.

BRAM
Aku iri. Aku belum sampai di titik itu.

RARA
Mungkin karena kamu masih berlari ke arah yang sama—padahal peta sudah berubah.

BRAM
Kamu tahu, aku selalu kagum dengan caramu bicara. Dulu aku kira aku mencintaimu karena matamu, ternyata aku jatuh cinta pada kalimat-kalimatmu.

RARA
Dan kamu meninggalkannya begitu saja.

BRAM
Karena aku pengecut. Aku takut suatu hari kalimatmu berhenti untukku.


RARA
Lalu kenapa kembali sekarang?

BRAM
Aku tidak tahu. Mungkin karena aku ingin melihat apakah kamu masih di tempat yang sama.

RARA
Aku tidak di tempat yang sama, Bram. Aku hanya duduk di kursi yang dulu kita janjikan akan kita isi bersama. Bedanya, kali ini aku sendirian karena memang seharusnya begitu.

BRAM
Kalau aku bilang aku masih mencintaimu?

RARA
Maka aku akan menjawab, “terlambat bukan berarti tidak penting, tapi juga tidak harus diulang.”


Suasana kafe mulai sepi. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Dari pengeras suara, terdengar pengumuman:

“Penerbangan ke Singapura akan segera diberangkatkan melalui gerbang 7.”

Bram berdiri. Ia ragu. Rara tidak menoleh.

BRAM
Mungkin kita akan bertemu lagi. Dunia terlalu kecil untuk perpisahan permanen.

RARA
Mungkin. Tapi jika nanti bertemu, jangan minta kesempatan kedua. Cukup sapa aku dengan tenang, seperti dua orang yang akhirnya bisa melepaskan masa lalu dengan sopan.

Bram menatapnya sekali lagi, lalu berjalan pergi. Rara tetap duduk, menatap cangkirnya yang sudah kosong.

Di luar, hujan mulai reda. Lampu-lampu di landasan berpendar samar, seperti bintang yang terlalu dekat.


INT. KAFE BANDARA – BEBERAPA MENIT KEMUDIAN

Rara membuka laptopnya. Di layar, sebuah dokumen baru terbuka. Ia mengetik pelan:

“Cinta bukan tentang menunggu orang yang pergi, tapi menerima bahwa beberapa orang hanya datang untuk memberi arah.”

Ia berhenti sejenak, menatap kata terakhir, lalu tersenyum.
Di atas layar laptopnya, pantulan wajahnya sendiri tampak tenang — untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun.


on October 12, 2025 by pecinta handal |