Cinta di Antara Langit Senja

Langit sore itu berwarna jingga, seolah meneteskan kehangatan yang tak akan pernah hilang dari ingatan. Di sebuah kota kecil yang tenang, seorang gadis bernama Rania berjalan menyusuri trotoar yang basah oleh gerimis. Ia menggenggam payung biru muda dan buku catatan lusuh yang selalu menemaninya sejak SMA. Di setiap halamannya, tertulis banyak kisah yang belum selesai—tentang impian, rindu, dan seseorang yang dulu pernah membuatnya tersenyum tanpa alasan.

Namanya Dimas.
Dimas bukan sosok sempurna. Ia sederhana, mungkin terlalu biasa untuk menarik perhatian siapa pun. Tapi bagi Rania, kesederhanaannya justru seperti lagu yang menenangkan di tengah kebisingan dunia. Mereka bertemu di perpustakaan sekolah, bertukar pandangan singkat yang kemudian berubah menjadi percakapan panjang tentang film, sastra, dan mimpi. Dari sanalah semuanya dimulai.

Hari demi hari mereka semakin akrab. Rania yang awalnya pendiam mulai berani tertawa lebih lepas, dan Dimas yang biasanya cuek mulai sering menulis pesan singkat setiap pagi. Cinta tumbuh dengan perlahan, tidak meledak seperti kembang api, tetapi meresap pelan seperti aroma hujan pertama di musim kemarau. Mereka berdua saling melengkapi tanpa pernah merencanakannya.

Namun, hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan. Setelah lulus, mereka berpisah arah. Dimas harus merantau ke kota besar untuk melanjutkan kuliah, sementara Rania memilih tetap di kota kecil itu, membantu ibunya menjaga toko buku keluarga. Awalnya mereka berjanji untuk terus berkomunikasi, tapi waktu dan jarak perlahan menggerus semua janji itu. Pesan yang dulu dikirim setiap hari mulai berkurang, panggilan video berubah menjadi sekadar salam singkat, hingga akhirnya benar-benar berhenti.

Rania belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua yang dimulai dengan indah akan berakhir dengan bahagia. Ia kembali pada kebiasaannya menulis, kali ini bukan tentang cinta yang tumbuh, tetapi tentang kehilangan yang ia pelajari dengan sabar. Ia menulis cerita demi cerita, mencoba menenangkan hatinya dengan kata-kata.

Suatu hari, lima tahun setelah perpisahan itu, Rania membuka toko bukunya lebih pagi dari biasanya. Di depan toko, berdiri seorang pria dengan kemeja putih dan ransel hitam di bahunya. Wajah itu tampak familiar, dan detik berikutnya waktu seakan berhenti. Dimas berdiri di sana, tersenyum seperti dulu, seolah tak ada waktu yang pernah memisahkan mereka.

Mereka berbincang lama, membicarakan hal-hal kecil yang dulu sering mereka bicarakan. Tentang buku, film, dan mimpi yang kini terasa lebih dewasa. Dimas kini bekerja di perusahaan teknologi besar, dan kebetulan sedang mendapat tugas proyek di kota Rania. Di tengah percakapan itu, Rania menyadari sesuatu yang tak pernah benar-benar hilang—perasaan yang dulu pernah ada masih hidup di sana, tenang tapi nyata.

Beberapa minggu berikutnya mereka sering bertemu. Tak lagi seperti remaja yang penuh euforia, tapi seperti dua orang dewasa yang tahu bahwa cinta sejati tak selalu harus berlebihan. Kadang mereka hanya duduk diam di taman, berbagi cerita tanpa banyak kata. Rania merasa bahagia dengan kesederhanaan itu.

Namun kebahagiaan sejati selalu diuji oleh waktu. Dimas harus kembali ke kota tempatnya bekerja. Kali ini, Rania tidak menangis. Ia tahu, cinta tak harus dimiliki untuk tetap berarti. Dimas berjanji akan kembali, tapi Rania tak ingin lagi menggantungkan harapan pada janji. Ia hanya ingin menikmati setiap momen tanpa takut kehilangan.

Malam sebelum Dimas berangkat, mereka bertemu di tempat favorit mereka—perpustakaan kecil yang dulu mempertemukan keduanya. Di sana, Dimas menyerahkan sebuah buku catatan berwarna cokelat.

“Aku ingin kamu menulis lagi,” katanya pelan. “Tapi bukan tentang kehilangan. Tulis tentang harapan, tentang perjalanan, tentang kita.”

Rania tersenyum. Ia tahu, mungkin ini bukan akhir, melainkan babak baru dari kisah mereka.


Waktu berjalan. Dua tahun berlalu sejak pertemuan terakhir itu. Rania kini dikenal sebagai penulis muda yang karya-karyanya mulai diperbincangkan di media sastra daring. Salah satu tulisannya berjudul Langit di Antara Kita bahkan masuk nominasi penghargaan nasional. Di setiap wawancara, Rania selalu ditanya dari mana ia mendapatkan inspirasi. Jawabannya sederhana: dari cinta yang tak pernah selesai.

Baca Juga: Chests of Cai Shen Pragmatic Play di Gudang4D, Anime Mecha Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Mystery Mice Pragmatic Play di Gudang4D

Dalam salah satu tulisannya, ia menyisipkan kalimat:

“Cinta adalah perjalanan yang tak selalu dimenangkan, tapi selalu mengajarkan sesuatu. Seperti permainan hidup yang menuntut kita untuk berani mengambil risiko, bukan untuk menang, tapi untuk mengerti makna dari setiap langkah.”

Kalimat itu kemudian viral. Banyak pembacanya mengatakan bahwa tulisan Rania mampu menyembuhkan luka hati mereka. Ia tak pernah menyangka, kisah sederhana yang lahir dari perasaannya sendiri bisa memberi arti bagi begitu banyak orang.

Suatu malam, saat ia sedang menulis naskah buku barunya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nama pengirimnya membuat hatinya berhenti sejenak. Dimas.

Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat matanya berkaca-kaca.

“Aku baca bukumu. Terima kasih sudah menulis tentang kita. Aku selalu tahu, kamu akan jadi seseorang yang hebat.”

Rania tersenyum. Tidak ada tangis, tidak ada luka. Hanya rasa hangat yang sulit dijelaskan. Ia sadar, cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang menginspirasi. Dimas sudah menjadi bagian dari masa lalunya, tapi juga bagian dari dirinya yang tak akan pernah hilang.


Kini toko buku Rania semakin ramai. Banyak pengunjung datang tidak hanya untuk membeli buku, tapi juga untuk berbicara dengannya. Ia membuat komunitas kecil pecinta sastra, tempat orang-orang saling berbagi kisah dan inspirasi. Di salah satu sesi pertemuan komunitas, Rania sering berbicara tentang bagaimana setiap cerita cinta memiliki bab sendiri yang unik—ada yang berakhir bahagia, ada yang menyisakan perih, tapi semua berharga karena mengajarkan arti kehidupan.

Di akhir salah satu sesi itu, ia menulis di papan tulis besar:

“Setiap kisah punya takdirnya sendiri. Cinta yang datang bukan untuk dimiliki, mungkin datang untuk mengubah kita menjadi versi terbaik dari diri kita.”

Tepuk tangan bergemuruh di ruangan itu. Beberapa orang tampak terharu, sementara Rania menatap keluar jendela, melihat langit senja yang kini sama indahnya seperti hari pertama ia bertemu Dimas.


Dalam perjalanannya sebagai penulis dan pengusaha kecil, Rania belajar bahwa kehidupan ibarat permainan dengan strategi dan keberanian. Ia bahkan sering bercanda dengan teman-temannya bahwa cinta dan kehidupan kadang punya kesamaan dengan dunia permainan yang menuntut intuisi dan keberuntungan. “Seperti Gudang4D,” ujarnya suatu kali sambil tersenyum. “Kita tidak selalu tahu hasilnya, tapi yang penting adalah cara kita memainkan setiap langkah dengan keyakinan.”

Baginya, Gudang4D bukan sekadar nama yang dikenal banyak orang, tapi juga simbol filosofi kehidupan: tempat peluang dan harapan bertemu, di mana keberanian dan kesabaran menjadi kunci kemenangan. Sama seperti kisah cintanya dengan Dimas—tidak selalu berakhir sesuai rencana, tetapi selalu memberi makna mendalam di setiap putarannya.

Kini Rania tidak lagi menulis untuk mengisi kekosongan, melainkan untuk membagikan cahaya. Setiap kata yang ia tulis adalah bentuk cinta yang berbeda—lebih matang, lebih tenang, dan lebih memahami arti kehilangan.

Dan ketika langit sore kembali berwarna jingga seperti dulu, Rania tahu bahwa kisahnya belum benar-benar berakhir. Cinta itu masih hidup, bukan untuk dikenang, tapi untuk terus menjadi bagian dari perjalanan yang panjang. Ia menutup bukunya, menatap senja, dan berbisik pelan:

“Terima kasih, Dimas. Terima kasih, cinta. Dan terima kasih, hidup—karena selalu memberi kesempatan untuk menulis bab baru.”


on October 12, 2025 by pecinta handal |