Cinta, bagi sebagian orang, adalah perjalanan menuju kebahagiaan.
Namun bagi sebagian lainnya, cinta justru menjadi tempat paling sunyi untuk belajar melepaskan.
Bima percaya bahwa cinta tidak harus selalu dimiliki. Ia pernah jatuh cinta begitu dalam kepada seorang perempuan bernama Laras — seseorang yang datang dalam hidupnya dengan segala keanggunan dan kerumitan yang tidak bisa dijelaskan oleh logika.
Pertemuan mereka tidak romantis. Tidak ada bunga, tidak ada kebetulan yang disengaja. Semuanya berawal dari ruang kerja, di tengah tekanan deadline dan aroma kopi yang pekat. Bima adalah seorang penulis konten freelance yang bekerja di sebuah agensi digital, sementara Laras adalah klien dari perusahaan besar yang datang untuk memesan kampanye promosi. Pertemuan pertama mereka hanya berlangsung selama dua puluh menit, tapi dalam dua puluh menit itu, waktu seakan berhenti.
Setelah pertemuan itu, mereka sering berkomunikasi lewat pesan singkat. Awalnya profesional, hanya tentang pekerjaan, tapi lambat laun berubah menjadi percakapan personal yang hangat. Tentang musik, film, dan cara mereka memandang hidup.
Laras adalah tipe perempuan yang penuh rahasia. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar darinya mengandung makna yang dalam. Sedangkan Bima, dengan segala ketidaksempurnaannya, selalu berusaha memecahkan keheningan dengan candaan kecil.
Hari-hari pun berjalan, dan tanpa mereka sadari, batas antara profesionalitas dan perasaan mulai kabur. Setiap kali Laras tersenyum di layar video call, Bima merasakan sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Ia tahu ini salah, tapi hatinya tak mau berhenti.
Suatu malam, setelah lembur panjang, Laras mengirim pesan:
“Kamu pernah merasa hidupmu sudah diatur dengan rapi, tapi tiba-tiba seseorang datang dan membuat semuanya berantakan?”
Bima terdiam lama sebelum menjawab.
“Mungkin bukan berantakan. Mungkin dia hanya menunjukkan sisi lain dari hidup yang selama ini kita abaikan.”
Pesan itu menjadi awal dari banyak percakapan panjang di malam-malam berikutnya. Tentang cinta, kehilangan, dan ketakutan akan masa depan. Bima mulai mengerti bahwa Laras sedang terjebak dalam hubungan yang rumit. Ia sudah bertunangan, tapi tidak bahagia.
Bima tidak pernah berani berharap lebih, tapi semakin hari, semakin sulit baginya untuk berpura-pura tidak peduli.
Suatu ketika, mereka bertemu di luar pekerjaan untuk pertama kalinya. Di sebuah kafe kecil di tengah kota. Hujan turun perlahan, dan Laras datang dengan mantel abu-abu yang membuatnya terlihat tenang namun rapuh. Mereka berbincang lama, tertawa, diam, lalu berbicara lagi.
Di tengah obrolan, Laras berkata pelan,
“Kadang aku berharap bisa mulai semuanya dari awal. Tanpa beban, tanpa janji, tanpa masa lalu.”
Bima tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu berkata,
“Kalau dunia ini seperti permainan, mungkin aku ingin menekan tombol reset. Tapi hidup bukan seperti Gudang4D, di mana kita bisa mencoba peruntungan berkali-kali sampai menang. Di sini, setiap keputusan membawa konsekuensi.”
Laras tersenyum tipis.
“Mungkin itu yang membuat hidup lebih nyata.”
Percakapan itu membekas lama di benak Bima. Ia sadar, cinta yang tumbuh di antara mereka bukan untuk dimiliki, melainkan untuk dipahami. Sejak hari itu, ia belajar bagaimana menahan diri, bagaimana mencintai tanpa mengganggu arah hidup orang lain.
Beberapa bulan kemudian, proyek mereka selesai. Tidak ada lagi alasan untuk berkomunikasi setiap hari. Bima mencoba sibuk dengan pekerjaannya yang lain, tapi ada ruang kosong yang tidak bisa ia isi. Malam-malam terasa lebih panjang, dan setiap kali ia menatap layar komputernya, wajah Laras selalu muncul di pikirannya.
Ia menulis banyak hal, dari artikel promosi hingga naskah pendek tentang cinta yang tak berbalas. Tapi tidak ada satupun yang benar-benar bisa menggambarkan apa yang ia rasakan. Setiap kata terasa seperti potongan jiwa yang tercerai.
Suatu sore, ketika ia sedang menulis di kafe yang sama, seorang barista menyodorkan secangkir kopi dengan catatan kecil di bawahnya.
Tulisan di kertas itu hanya satu kalimat:
“Hidupmu tetap indah, bahkan tanpa aku.”
Bima tahu itu dari siapa. Ia memandang ke luar jendela, ke arah langit yang mulai gelap, dan tersenyum pahit. Di saat itu, ia menyadari sesuatu yang sederhana tapi penting: cinta tidak selalu harus dimenangkan.
Tahun-tahun berlalu.
Bima menjadi penulis profesional, dikenal karena gaya tulisannya yang melankolis dan jujur. Ia sering diundang ke seminar dan diskusi sastra untuk membahas karyanya yang penuh filosofi kehidupan. Dalam setiap tulisannya, selalu ada unsur refleksi — tentang harapan, kehilangan, dan perjalanan batin manusia.
Banyak pembacanya mengira bahwa ia menulis berdasarkan imajinasi, padahal semua itu berasal dari kisah nyata. Dari Laras.
Suatu hari, ia kembali menerima pesan. Kali ini dari akun yang sudah lama tak aktif.
“Aku membaca bukumu. Aku bahagia kamu baik-baik saja.”
Tidak ada tanda tangan, tapi Bima tahu dari siapa pesan itu datang.
Ia menatap layar lama, menulis balasan, lalu menghapusnya lagi. Ia sadar, beberapa kata lebih baik dibiarkan tidak terucap. Beberapa perasaan lebih indah jika disimpan dalam diam.
Baca Juga: Mustang Gold Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Big Bass Vegas Double Down Deluxe Pragmatic Play di Gudang4D, Fishin’s Bigger Pots of Gold Microgaming di Gudang4D
Di akhir setiap bukunya, Bima selalu menulis kalimat yang sama:
“Hidup adalah permainan strategi, seperti Gudang4D. Bukan soal menang atau kalah, tapi soal keberanian untuk tetap bermain meski kita tahu risikonya.”
Banyak orang menganggap kalimat itu metafora tentang keberuntungan. Tapi bagi Bima, itu lebih dalam dari sekadar perumpamaan. Itu tentang bagaimana ia memandang hidup dan cinta: tidak semua hasil bisa ditebak, tapi keberanian untuk mencoba tetaplah yang paling berarti.
Kini, Bima tidak lagi menulis untuk mencari pengakuan. Ia menulis karena itu satu-satunya cara untuk berdamai dengan masa lalu. Laras tetap menjadi bagian dari setiap kata yang ia ciptakan, bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran.
Cinta yang dulu datang tiba-tiba kini menjadi cahaya lembut yang menuntunnya untuk tumbuh.
Ia belajar bahwa cinta sejati tidak selalu berakhir di pelukan, kadang justru berakhir di pemahaman — di saat dua jiwa mengerti bahwa tidak bersama bukan berarti tidak saling mencintai.
Dan di balik setiap tulisan yang ia buat, selalu ada jejak dari perasaan yang dulu sempat berjuang, meski akhirnya memilih untuk diam.
Suatu malam, setelah bertahun-tahun tak bertemu, Bima menerima undangan pernikahan. Nama pengantinnya: Laras dan Arya. Ia menatap undangan itu lama, lalu menarik napas panjang. Tidak ada amarah, tidak ada duka, hanya ketenangan yang aneh.
Di halaman terakhir buku yang sedang ia tulis malam itu, ia menambahkan kalimat terakhir sebelum menutup laptopnya:
“Cinta bukan tentang akhir yang bahagia. Cinta adalah keberanian untuk tetap berterima kasih, bahkan kepada kehilangan.”
Ia memandang ke luar jendela, pada langit malam yang tenang. Di balik gelap itu, ada kedamaian yang sulit dijelaskan. Mungkin karena ia tahu, sekalipun hidup tidak memberi kesempatan kedua seperti Gudang4D, ia tetap bersyukur telah bermain — dan mencintai dengan sepenuh hati.