Catatan 1 — 14 Januari
Aku tidak tahu sejak kapan jam biologisku berubah. Tidur jam tiga pagi, bangun jam sebelas siang, makan siang sambil mengecek notifikasi kerja. Hidupku tidak sepenuhnya kacau, hanya... berantakan dengan cara yang tidak terasa salah.
Sejak setahun terakhir, aku bekerja sebagai content planner lepas untuk platform digital bernama Gudang4D. Kami tidak punya kantor tetap, semuanya dilakukan lewat grup kerja daring. Aku jarang tahu wajah rekan timku, tapi setiap hari kami berbagi dokumen, ide, dan sesekali obrolan ringan.
Di antara ratusan pesan kerja yang monoton, ada satu nama yang belakangan selalu kutunggu muncul: Deno.
Catatan 2 — 20 Januari
Aku tidak tahu banyak tentang Deno. Profilnya hanya menampilkan foto hitam-putih tanpa keterangan. Tapi caranya menulis selalu membuatku berhenti sejenak. Setiap kali ia menjelaskan konsep desain, kalimatnya sederhana, tapi ada semacam kepekaan yang membuat semuanya terasa hidup.
Hari ini ia menulis di grup:
“Aku sudah kirim draft visual baru untuk kampanye minggu depan. Tolong cek tone copy agar lebih terasa hangat.”
Aku membalas:
“Sudah aku lihat. Warna visualnya bagus, tapi tone teks terlalu kaku. Aku ubah jadi lebih empatik.”
Lalu, untuk pertama kalinya, Deno membalas langsung ke chat pribadiku:
“Empatik itu bagus. Tapi jangan terlalu lembut, nanti kehilangan karakternya. Seperti orang yang takut jujur.”
Entah kenapa, aku membaca kalimat itu berulang-ulang.
Catatan 3 — 2 Februari
Hubungan kerja kami berkembang menjadi percakapan-percakapan kecil di luar jam kantor. Kadang tentang hal sepele seperti jenis kopi, kadang tentang hal berat seperti alasan seseorang berhenti mempercayai cinta.
Malam ini, ia menulis:
“Kamu pernah merasa dekat dengan seseorang yang belum pernah kamu temui?”
Aku menjawab:
“Dekat? Mungkin. Tapi tidak tahu apakah itu nyata.”
“Kenapa tidak nyata?”
“Karena yang aku tahu cuma teks di layar. Bukan tatapan, bukan napas, bukan tangan yang bisa kugenggam.”
“Kadang teks justru lebih jujur dari wajah,” balasnya.
Aku tidak membalas lagi setelah itu. Tapi aku tahu, malam itu aku tersenyum lama di depan layar.
Catatan 4 — 10 Februari
Hari ini tim Gudang4D mengadakan pertemuan daring untuk membahas proyek besar kuartal depan. Semua wajah muncul di layar: ada Rika dari marketing, Bayu dari tim data, dan seseorang yang baru kulihat untuk pertama kalinya tanpa filter teks — Deno.
Ia tampak lebih muda dari yang kubayangkan, tapi matanya terlihat lelah, seperti seseorang yang menyimpan terlalu banyak pikiran.
Ketika pertemuan berakhir, kami saling tersenyum tipis di layar. Tidak ada kata yang diucapkan, tapi sesuatu terasa bergeser.
Setelah meeting, ia mengirim pesan:
“Jadi begitu wajahmu.”
Aku membalas:
“Kamu kecewa?”
“Tidak. Justru sebaliknya. Sekarang aku harus berusaha lebih keras agar tetap terlihat profesional.”
Catatan 5 — 1 Maret
Kami mulai berbicara hampir setiap malam. Bukan lagi tentang kerja, tapi tentang hidup. Tentang kebiasaan buruk, tentang hal-hal yang membuat kami takut, tentang impian kecil yang tidak sempat diwujudkan.
Kadang, obrolan kami terasa seperti ruang aman. Tidak ada penilaian, tidak ada basa-basi. Hanya dua orang asing yang saling menjaga dari jauh.
Suatu malam ia berkata:
“Aku suka caramu menulis. Kata-katamu tidak berusaha menjadi indah, tapi selalu benar.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menulis:
“Mungkin karena aku menulis bukan untuk didengar, tapi untuk mengerti.”
Catatan 6 — 25 Maret
Deno mendadak tidak aktif beberapa hari terakhir. Tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda online di grup. Aku tidak mau terlihat panik, tapi diam-diam aku mencarinya di media sosial, berharap menemukan apa pun. Kosong. Seolah ia menghilang.
Malam itu aku menulis sesuatu di draf artikel kerja:
“Beberapa orang datang membawa cahaya, lalu pergi sebelum kita sempat berterima kasih.”
Aku tidak kirimkan artikel itu ke redaksi. Aku hanya menyimpannya di folder bernama personal.
Catatan 7 — 5 April
Deno kembali muncul. Kali ini ia mengirim pesan panjang.
“Maaf kalau tiba-tiba menghilang. Ayahku sakit dan aku harus pulang ke kampung. Semua hal terasa berat, bahkan menatap layar pun tidak mudah.”
Aku membaca pesannya beberapa kali sebelum membalas:
“Tidak apa-apa. Dunia kadang memaksa kita berhenti agar tahu apa yang benar-benar penting.”
Ia membalas:
“Lucu, ya. Kadang aku merasa lebih tenang bicara sama kamu daripada siapa pun di dunia nyata.”
Malam itu kami bicara lama. Tentang kehilangan, tentang orang tua yang menua, tentang rasa takut menjadi dewasa. Dan di antara kalimat-kalimat itu, aku sadar—aku mulai mencintai seseorang yang tidak pernah kujabat tangannya.
Catatan 8 — 20 Mei
Gudang4D mengumumkan bahwa seluruh tim akan dipertemukan dalam pertemuan tahunan di Jakarta. Aku tahu, ini berarti aku akan bertemu Deno secara langsung.
Selama berminggu-minggu aku memikirkan bagaimana rasanya nanti: apakah kami akan canggung? Apakah ia akan terlihat sama seperti di layar? Atau justru aku yang tak lagi sama?
Aku menulis di jurnal ini malam sebelum keberangkatan:
“Mungkin yang paling menakutkan dari cinta jarak jauh bukan jaraknya, tapi kemungkinan bahwa yang kita cintai hanya hidup di kepala kita.”
Catatan 9 — 21 Mei
Pertemuan itu berlangsung di sebuah hotel di pusat kota. Semua orang sibuk dengan presentasi dan sesi foto. Aku melihat Deno berdiri di dekat panggung, berbicara dengan kepala divisi. Ia tampak tenang, profesional, tidak seperti orang yang setiap malam menulis pesan panjang penuh kerentanan.
Ketika mata kami akhirnya bertemu, ia hanya tersenyum. Tidak ada pelukan, tidak ada kata sapaan. Tapi dalam satu tatapan itu, aku tahu—ia juga sedang berusaha menenangkan detak jantungnya.
Baca Juga: Break Bones Hacksaw Gaming di Gudang4D, Misteri Buku Waktu di Gudang4D, Keanggunan Sang Ratu Malam di Gudang4D
Kami berbicara sebentar setelah acara selesai.
“Lucu, ya,” katanya. “Kita sering bicara berjam-jam di layar, tapi ketemu langsung malah bingung mau bilang apa.”
Aku tertawa pelan. “Mungkin karena di dunia nyata, jeda lebih keras dari teks.”
Ia mengangguk. “Dan keheningan lebih jujur dari kata.”
Kami berjalan ke lobi bersama, lalu berpisah di pintu hotel. Tidak ada janji untuk bertemu lagi. Tapi saat aku menatapnya pergi, aku merasa cukup.
Catatan 10 — 30 Juni
Aku masih menulis untuk Gudang4D. Kadang kami masih saling mengirim pesan, tapi tak sesering dulu. Hubungan kami berubah, seperti hal-hal baik yang memang seharusnya berubah.
Namun setiap kali aku menulis artikel baru, aku selalu teringat seseorang yang dulu berkata bahwa teks bisa lebih jujur dari wajah. Dan aku tahu, di balik semua jarak, sebagian kecil dari hatiku masih berbicara padanya, diam-diam.
Mungkin cinta memang tidak selalu perlu diwujudkan. Kadang cukup dibiarkan hidup di ruang kecil yang kita jaga dengan tenang.