Di lantai empat belas sebuah apartemen di Jakarta Selatan, Lira menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti denyut nadi. Hujan baru saja berhenti, menyisakan pantulan cahaya di jalanan basah. Di dalam kamar yang dingin dan hening, hanya terdengar dengung lembut kulkas dan detak jam dinding yang tak pernah berhenti.
Sudah tiga bulan sejak Rafi pergi tanpa pesan.
Tiga bulan sejak Lira berusaha menata ulang hidup yang ditinggalkan separuh.
I
Sebelum semua berubah, hidup Lira berjalan biasa—rutinitas antara kantor, macet, dan kopi instan. Ia bekerja sebagai analis data di sebuah startup teknologi bernama gudang4d, perusahaan yang sedang naik daun berkat sistem distribusi digital yang efisien. Rafi adalah salah satu desainer antarmuka di sana, dan dari situlah semuanya bermula.
Mereka bertemu di ruang rapat, dalam perdebatan tentang tampilan dashboard baru.
“Warna birunya terlalu tajam,” kata Rafi waktu itu.
“Kalau terlalu lembut, data visualnya kehilangan tekanan,” balas Lira tanpa menoleh.
Rapat itu berakhir tanpa hasil, tapi malamnya Rafi mengirim pesan di internal chat:
‘Kamu benar soal tekanan visual. Tapi warna tajam juga punya perasaan sendiri, kan?’
Entah kenapa, Lira membalasnya dengan cepat. Dari percakapan kecil tentang warna, mereka mulai membicarakan hal-hal lain—film, musik, dan hal-hal yang lebih pribadi seperti bagaimana keduanya sama-sama takut kehilangan arah dalam hidup.
Dalam waktu dua bulan, mereka menjadi sesuatu yang lebih dari rekan kerja.
II
Hubungan mereka tidak selalu mudah. Dua-duanya ambisius, dua-duanya keras kepala. Tapi di antara kelelahan lembur dan tekanan pekerjaan, mereka menemukan ruang kecil yang menenangkan: makan malam di warung sederhana setelah jam 11 malam, berbagi headphone saat hujan di halte, atau hanya diam di balkon apartemen sambil menatap kota.
Rafi pernah berkata, “Kamu tahu nggak, lir? Dunia kita ini kayak kode program. Kadang satu tanda koma aja bisa bikin semua runtuh.”
Lira tertawa. “Dan cinta itu bug yang paling susah dideteksi.”
Mereka tertawa bersama malam itu. Tapi di balik tawa, keduanya sama-sama tahu—di dalam diri mereka masing-masing, ada ruang gelap yang belum selesai.
III
Semuanya berubah ketika gudang4d mengumumkan proyek ekspansi besar. Tim Lira terpilih untuk memimpin analisis data regional baru. Tapi kabar baik itu datang bersamaan dengan berita buruk: divisi desain tempat Rafi bekerja akan direstrukturisasi, dan sebagian besar timnya akan dikirim ke luar kota.
“Artinya kita bakal kerja di kota yang berbeda,” kata Rafi suatu malam.
“Cuma enam bulan,” jawab Lira.
“Enam bulan bisa jadi selamanya kalau jarak ikut campur.”
Lira mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan berpikir itu hanya fase. Tapi kenyataan berkata lain.
Hari-hari mereka mulai terasa asing. Pesan-pesan yang dulu panjang jadi pendek. Panggilan video yang dulu setiap malam mulai jarang terjadi. Lira menenggelamkan diri dalam pekerjaan, sementara Rafi mulai tenggelam dalam diamnya sendiri.
IV
Suatu pagi, Rafi mengirim pesan singkat:
“Aku butuh waktu buat sendiri. Jangan cari aku dulu.”
Itu kalimat terakhir yang datang darinya. Setelah itu, tak ada kabar lagi. Nomornya tak aktif, akun kerjanya ditutup, bahkan teman-teman di kantor pun tak tahu ke mana ia pergi.
Lira mencoba melanjutkan hidup seperti biasa. Tapi setiap kali membuka dashboard kerja, setiap kali melihat logo gudang4d, ia merasa seperti ditarik kembali ke masa lalu.
Malam-malamnya diisi dengan tumpukan laporan dan kopi dingin. Tapi tak ada data yang bisa ia analisis untuk menjelaskan mengapa seseorang bisa pergi tanpa sebab.
V
Bulan keempat tanpa Rafi, gudang4d mengumumkan pembukaan cabang baru di luar negeri. Lira ditunjuk sebagai salah satu kandidat. Ia seharusnya bahagia—kesempatan itu impian semua karyawan. Tapi justru malam itu, di tengah pesta kantor yang meriah, Lira merasa kosong.
Di balkon gedung tempat acara berlangsung, ia menatap lampu-lampu kota yang tak berubah sejak malam pertama ia mengenal Rafi. Lalu, tanpa alasan yang jelas, ia membuka email lama.
Di sana, tersimpan satu pesan dari Rafi, dikirim setahun lalu.
“Kalau suatu hari aku hilang arah, tolong jangan cari aku di tempat ramai. Cari aku di tempat yang sepi, tempat kamu dulu pertama kali bilang ingin berhenti jadi kuat.”
Lira membaca kalimat itu berulang kali, dan sesuatu dalam dirinya runtuh perlahan.
VI
Seminggu kemudian, ia mengambil cuti tanpa izin dan pergi ke pantai kecil di Jawa Timur—tempat mereka dulu pernah liburan bersama. Pantai itu sepi, hanya ada suara ombak dan pohon kelapa tua yang menunduk.
Di sana, Lira duduk di batu besar yang dulu pernah mereka duduki bersama. Ia memejamkan mata dan membiarkan angin membawa semua kenangan.
Lalu ia melihat sesuatu di pasir: selembar kertas kecil terlipat rapi, basah di ujungnya. Di atasnya tertulis tulisan tangan yang sangat ia kenal.
“Kalau kamu membaca ini, berarti aku gagal menghilang sepenuhnya. Aku nggak pergi karena marah, Lira. Aku pergi karena aku takut jadi orang yang menghancurkanmu. Aku butuh waktu buat memperbaiki diriku, bukan buat meninggalkanmu. Tapi kalau aku nggak kembali, tolong lanjutkan hidupmu. Dunia ini luas, dan aku percaya kamu akan menemukan kebahagiaan bahkan tanpa aku.”
Tinta di huruf terakhir sudah luntur. Tapi maknanya jelas.
Lira memandangi laut lama sekali, lalu tersenyum pelan. Untuk pertama kalinya, senyum itu tidak pahit.
VII
Dua tahun kemudian.
Lira kini bekerja di kantor pusat gudang4d yang baru. Ia menjadi kepala analisis data, dengan reputasi sebagai perempuan yang tenang dan tegas. Orang-orang mengaguminya karena profesionalitasnya, tapi tak ada yang tahu bahwa setiap kali hujan turun, ia masih menatap keluar jendela dengan perasaan yang sama seperti dulu.
Sampai suatu sore, di ruang rapat lantai dua puluh, ia menerima laporan proyek baru dari divisi desain.
Nama di kolom paling bawah membuat jantungnya berhenti sesaat: Rafi M. Santoso — Desainer Visual Senior (Reassignment).
Lira menatap nama itu lama, lalu menutup laptopnya perlahan.
VIII
Mereka bertemu lagi dua minggu kemudian, tanpa rencana.
Di lobi gedung yang terlalu dingin, di antara orang-orang sibuk, dua mata yang dulu saling mengenal bertemu lagi. Tak ada pelukan, tak ada air mata, hanya diam panjang yang penuh arti.
“Sudah lama,” kata Lira akhirnya.
“Sudah terlalu lama,” jawab Rafi.
Mereka berjalan ke kafe kecil di seberang gedung. Duduk tanpa bicara lama sekali, hanya mendengarkan suara lalu lintas.
“Aku baca pesanmu di pantai itu,” kata Lira akhirnya.
Rafi menunduk. “Aku nggak nyangka kamu bakal nemuin.”
“Aku nggak nyari, Raf. Tapi kadang, hal yang seharusnya hilang justru balik sendiri.”
Rafi tersenyum samar. “Aku nggak balik buat ngulang semuanya. Aku cuma pengen bilang… aku udah nggak takut lagi.”
Lira menatapnya. “Dan aku udah belajar berhenti kuat.”
IX
Mereka tidak kembali seperti dulu. Tapi juga tidak benar-benar berpisah.
Hubungan mereka kini lebih tenang, lebih matang, tanpa janji dan tanpa kepemilikan. Mereka tahu dunia ini tidak selalu butuh definisi untuk sesuatu yang tulus.
Di kantor gudang4d, mereka sering berada di ruang yang sama tanpa kata. Kadang hanya saling menatap sekilas saat rapat, atau berbagi senyum kecil di lift yang sesak.
Tak ada lagi drama, tak ada lagi luka. Yang tersisa hanya kesadaran bahwa cinta tidak selalu harus diperjuangkan—kadang cukup dirawat dalam diam, seperti lagu yang tetap indah meski tak lagi dinyanyikan.
Baca Juga: Surat yang tak pernah kukirim tentang cinta, dalam hening yang tidak pergi, langit di atas kita
X
Suatu malam, Lira menulis di catatan pribadinya:
“Cinta itu seperti data. Kadang hilang, kadang corrupt, tapi selalu meninggalkan jejak.
Dan kadang, di antara baris-baris log yang berantakan, kita menemukan pola yang selama ini kita cari.
Aku menemukannya di antara angka, warna, dan seseorang yang tak pernah benar-benar pergi.”
Ia menutup laptop, menatap kota yang berpendar di bawah sana.
Hujan turun lagi malam itu. Tapi kini, ia tidak merasa sendiri.