Di Antara Dua Musim: Kronik Cinta yang Bertumbuh Pelan

Ada cinta yang datang seperti badai — cepat, menggelegar, lalu hilang.
Ada pula cinta yang datang seperti musim — berganti perlahan, tapi selalu kembali, membawa arti baru setiap kali tiba.

Inilah kisah tentang cinta yang bertumbuh dalam kesunyian, di antara dua musim kehidupan.


I. Pertemuan di Rumah Tua

Tahun 2014, di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, seorang jurnalis muda bernama Lila ditugaskan menulis liputan tentang rumah tua peninggalan Belanda yang akan dijadikan museum kota. Di sana ia bertemu dengan Rendra, arsitek restorasi yang memimpin proyek tersebut.

Pertemuan mereka sederhana — hanya saling menyapa di tengah debu bangunan yang berjatuhan dari atap kayu tua. Tapi sejak hari itu, keduanya sering berada di ruangan yang sama. Lila menulis, Rendra menggambar. Suara pensil dan ketikan menjadi musik latar hubungan yang tak mereka sadari mulai tumbuh.

“Rumah ini sudah tua,” kata Rendra suatu sore sambil menatap langit-langit. “Tapi kadang, yang tua justru paling punya cerita.”

Lila menatapnya sekilas, lalu menjawab, “Mungkin itu sebabnya aku suka menulis. Aku ingin menangkap cerita sebelum hilang.”

Mereka tertawa kecil. Tak ada pengakuan cinta, tapi semua orang tahu — keheningan di antara dua orang yang saling paham jauh lebih keras daripada ribuan kata.


II. Luka dari Masa Lalu

Cinta yang mereka rasakan tak pernah diumumkan. Mereka berdua sama-sama menyimpan masa lalu yang belum selesai.

Rendra pernah kehilangan tunangannya dalam kecelakaan beberapa tahun sebelumnya. Sementara Lila baru saja keluar dari hubungan panjang yang berakhir tanpa penjelasan. Mereka tidak mencari pengganti, hanya seseorang yang bisa duduk diam tanpa menuntut apa pun.

Di ruang kerja yang berdebu itu, mereka menemukan ketenangan. Kadang hanya dengan secangkir kopi dan percakapan ringan tentang buku, atau tentang bagaimana hujan menetes lewat jendela tua yang retak.

Sampai suatu hari, Lila menerima tawaran untuk pindah ke Jakarta — karier impian yang selama ini ia tunggu. Ia ragu, tapi Rendra berkata, “Kalau kamu merasa harus pergi, pergilah. Cinta yang baik tidak mengurung, tapi memberi ruang.”

Kalimat itu menghantam seperti angin dingin. Bukan karena menyakitkan, tapi karena terlalu benar.


III. Jarak yang Menjadi Guru

Di Jakarta, Lila bekerja di redaksi besar. Hidupnya berubah cepat: rapat, tenggat waktu, berita, dan headline setiap hari. Namun di sela-sela hiruk-pikuk itu, pikirannya sering kembali pada Rendra — pada rumah tua, pada sore-sore yang sunyi di bawah cahaya jingga.

Mereka masih berkomunikasi, meski jarang. Setiap pesan terasa lebih pendek, tapi lebih berarti. Kadang hanya, “Sudah makan?” atau “Hujan di sini, kamu gimana?” Tapi di balik kata-kata sesederhana itu, ada kehangatan yang tidak bisa dijelaskan.

Dalam kesendiriannya, Lila sering menulis kisah-kisah tentang cinta dan kehilangan di blog pribadinya. Ia juga gemar membaca tulisan-tulisan reflektif di Gudang4D, tempat di mana banyak penulis anonim membagikan cerita hidup mereka. Ia menemukan ketenangan di sana — bahwa tidak semua kisah cinta harus diakhiri dengan perpisahan pahit; beberapa hanya perlu waktu untuk tumbuh menjadi sesuatu yang lebih matang.


IV. Musim yang Kembali

Tiga tahun berlalu. Proyek rumah tua itu sudah selesai dan menjadi museum kecil yang ramai dikunjungi wisatawan. Lila kembali ke kota itu untuk menulis liputan “Setelah Tiga Tahun: Wajah Baru Kota Lama”.

Ketika ia masuk ke ruang utama museum, aroma kayu tua yang dulu akrab menyambutnya. Di ujung ruangan, berdiri Rendra — masih dengan kemeja lusuh dan pensil di telinga.

Mereka saling menatap tanpa kata. Dunia di sekeliling seolah berhenti.

“Masih suka hujan?” tanya Rendra akhirnya.

Lila tersenyum. “Masih. Tapi sekarang aku tahu, hujan tidak selalu berarti dingin.”

Mereka berjalan di sepanjang koridor museum, membicarakan hal-hal biasa: pekerjaan, kehidupan, masa lalu. Tak ada pengakuan, tak ada janji. Tapi dalam setiap tatapan, ada pengakuan yang tak perlu diucapkan — bahwa mereka sama-sama masih di sini, masih saling mengenal, hanya lebih dewasa dari sebelumnya.


V. Cinta yang Bertumbuh, Bukan Kembali

Setelah pertemuan itu, mereka tidak langsung bersama. Tidak ada kisah besar, tidak ada akhir yang dramatis. Mereka tetap menjalani hidup masing-masing, tapi kini dengan hati yang lebih tenang.

Kadang cinta tidak butuh kepastian. Ia hanya butuh ruang untuk hidup dalam bentuk yang baru.
Bagi Lila, Rendra bukan masa lalu yang harus dilupakan, tapi seseorang yang menjadi bagian dari prosesnya tumbuh. Bagi Rendra, Lila adalah pengingat bahwa kehilangan tidak selalu berarti akhir — kadang justru awal dari sesuatu yang lebih benar.

Musim pun berganti lagi. Hujan turun di kota itu, membasahi genting rumah tua yang kini berdiri kokoh. Di antara rintik hujan, dua orang berjalan di jalan yang sama, tapi mungkin menuju arah yang berbeda — dan itu tak apa.

Karena cinta sejati tidak selalu tentang “bersama”, tapi tentang “tetap saling menjaga dalam jarak yang tidak terlihat”.

Baca Juga: Mustang Gold Megaways Pragmatic Play di Gudang4D, Big Bass Vegas Double Down Deluxe Pragmatic Play di Gudang4D, Fishin’s Bigger Pots of Gold Microgaming di Gudang4D


VI. Penutup

Kisah mereka tidak pernah menjadi berita utama. Tidak ada pernikahan megah, tidak ada foto viral di media sosial. Tapi bagi mereka, cinta itu nyata — hadir dengan tenang, tumbuh dengan waktu, dan tetap hidup meski tanpa nama.

Dan mungkin, di dunia yang semakin bising ini, cinta seperti itulah yang paling langka:
yang tidak butuh sorotan, tidak menuntut balasan, tapi tetap bertahan dalam diam.


on October 12, 2025 by pecinta handal |