Dalam Diam yang Menyala

Latar: Sebuah kedai kopi kecil di pinggiran kota. Hujan baru saja reda. Musik pelan dari radio mengisi ruangan yang setengah kosong.


[Adegan 1: Pertemuan]

NARASI:
Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan seseorang, tapi juga bukan waktu yang cukup untuk benar-benar ingat.

Pintu terbuka. Seorang pria masuk, mengguncang air dari jaketnya. Di sudut ruangan, seorang wanita menatap layar laptop, tidak sadar bahwa masa lalunya baru saja duduk di meja seberang.

Raka:
“Masih suka kopi hitam tanpa gula?”

Nira:
(terkejut, lalu menatap)
“Kamu masih ingat.”

Raka:
“Susah lupa. Dulu kamu selalu marah kalau aku pesan cappuccino. Katanya terlalu manis.”

Nira:
“Waktu itu aku pikir kopi pahit bikin kita terlihat dewasa. Sekarang aku malah suka yang manis.”

NARASI:
Percakapan pertama mereka setelah lima tahun terasa seperti membuka pintu kamar yang sudah lama dikunci. Tidak ada kata maaf, tidak ada penjelasan. Hanya dua cangkir kopi yang menjadi saksi bahwa waktu tidak menghapus segalanya — hanya mengaburkannya sedikit.


[Adegan 2: Tentang yang Pernah Ada]

Raka:
“Masih menulis?”

Nira:
“Kadang. Tapi sekarang lebih sering baca. Aku suka tulisan-tulisan reflektif di situs Gudang4D. Banyak cerita sederhana yang rasanya nyata. Tentang kehilangan, tentang bertahan.”

Raka:
“Lucu. Aku juga sering baca di sana. Kadang ngerasa kayak tulisan-tulisan itu bicara langsung ke aku.”

Nira:
“Ya, seperti seseorang yang tahu rasanya ditinggalkan tapi tetap memilih mencintai.”

(Hening beberapa detik)

Raka:
“Waktu itu aku salah, ya?”

Nira:
“Kalau kamu nanya soal pergi tanpa pamit, iya. Tapi kalau kamu nanya soal cinta, mungkin enggak.”

NARASI:
Keduanya tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena akhirnya bisa membicarakan sesuatu yang dulu terlalu berat untuk disebutkan.


[Adegan 3: Kenangan yang Tidak Pergi]

Nira:
“Aku sering datang ke tempat ini. Entah kenapa, tiap kali hujan, langkahku selalu ke sini. Mungkin aku masih menunggu sesuatu.”

Raka:
“Atau seseorang?”

Nira:
(menatap keluar jendela)
“Kadang aku pikir aku menunggu diriku sendiri. Versi yang dulu bahagia sebelum semuanya jadi rumit.”

Raka:
“Kalau gitu, semoga kamu udah ketemu.”

Nira:
“Belum. Tapi hari ini, aku rasa aku hampir sampai.”

(Hening panjang. Suara hujan di luar kembali turun.)

NARASI:
Mereka berdua diam. Ada ribuan hal yang ingin dikatakan, tapi mereka memilih membiarkan suara hujan yang berbicara. Kadang, keheningan lebih jujur daripada kalimat apa pun.


[Adegan 4: Percakapan Terakhir]

Raka:
“Besok aku pindah. Ada proyek di luar negeri. Mungkin lama.”

Nira:
“Aku nggak kaget. Kamu memang nggak pernah bisa diam di satu tempat.”

Raka:
“Aku cuma takut kalau aku tinggal terlalu lama, aku bakal nyari alasan buat tetap di sini.”

Nira:
“Dan itu salah?”

Raka:
“Enggak. Tapi kali ini aku nggak mau nyakitin siapa pun.”

(Hening lagi. Waktu berjalan lambat.)

Nira:
“Kalau gitu, biar aku yang bilang selamat tinggal.”

Raka:
“Jangan. Biar aku aja yang pergi tanpa pamit, seperti dulu.”

Nira:
“Tapi sekarang aku tahu kamu nggak benar-benar pergi. Kamu cuma berpindah tempat di pikiranku.”

NARASI:
Ia menatapnya lama, lalu tersenyum — bukan senyum yang meminta, tapi yang mengikhlaskan.


[Adegan 5: Penutup]

NARASI:
Beberapa tahun kemudian, kedai kopi itu masih berdiri.
Di sudut yang sama, seseorang duduk menulis.
Judul tulisannya: Dalam Diam yang Menyala.

Ia menulis bukan untuk dikenang, tapi untuk mengingat bahwa pernah ada seseorang yang membuat waktu berhenti sejenak, hanya dengan satu kalimat sederhana:
“Masih suka kopi hitam tanpa gula?”

Dan di luar sana, mungkin di antara hujan dan jarak, seseorang yang bernama Raka membaca tulisan itu — entah di majalah, entah di situs Gudang4D — lalu tersenyum.


Epilog

Tidak semua cinta butuh akhir yang pasti. Ada cinta yang cukup dengan satu pertemuan, satu kalimat, satu diam yang menyala dalam ingatan.

Baca Juga: Amazon Kingdom Microgaming di Gudang4D, Wizard Winfall Skywind di Gudang4D, Banished Souls Skywind di Gudang4D

Cinta seperti itu tidak memudar, hanya berubah bentuk — menjadi tulisan, menjadi kenangan, menjadi bagian dari hidup yang diam-diam tetap hangat.


on October 13, 2025 by pecinta handal |