Senja selalu menjadi waktu yang paling jujur. Ia tak menutupi keindahan sekaligus kesedihan dalam satu warna jingga yang pudar perlahan. Di tepi sawah yang mulai menguning itu, Dira berdiri menatap langit, mengenang seseorang yang pernah berjanji akan kembali — Arman, lelaki yang dulu mengisi hari-harinya dengan tawa sederhana.
I. Janji di Bawah Pohon Jambu
Dira dan Arman tumbuh di desa yang sama. Mereka teman masa kecil yang selalu bersama ke mana pun pergi — dari bermain di tepi sungai, memanjat pohon jambu di halaman sekolah, hingga duduk di pematang sawah menatap bintang. Saat remaja, perasaan mereka tumbuh tanpa banyak kata. Cinta hadir begitu saja, dalam diam yang saling mengerti.
Suatu sore, sebelum Arman berangkat ke kota untuk kuliah, mereka duduk di bawah pohon jambu itu. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.
“Kalau aku sukses nanti, aku bakal balik. Aku mau bangun sekolah di sini, supaya anak-anak nggak harus jauh-jauh buat belajar,” kata Arman, menatap jauh ke langit.
Dira menatapnya dengan mata berkaca. “Kalau kamu balik, aku bakal tetap di sini. Aku bakal tunggu.”
Janji sederhana, tapi bagi mereka saat itu, rasanya sekuat batu karang di tepi laut.
II. Kota dan Kenyataan
Tahun-tahun berlalu. Arman benar-benar pergi ke kota dan melanjutkan hidupnya di sana. Ia bekerja keras, belajar siang malam, hingga akhirnya diterima di perusahaan besar. Hidupnya berubah — dari anak desa yang polos menjadi sosok modern yang dikelilingi gedung tinggi dan cahaya lampu kota.
Sementara itu, Dira tetap di desa. Ia mengajar di sekolah dasar, membantu ibunya menanam padi, dan setiap sore masih datang ke tempat yang sama: di bawah pohon jambu. Tempat itu menjadi saksi bahwa cintanya belum pudar, meski waktu terus berjalan.
Namun, seiring berjalannya waktu, kabar dari Arman semakin jarang datang. Surat-surat yang dulu dikirim setiap bulan, kini hanya setahun sekali. Telepon pun mulai berkurang. Dira mencoba mengerti, mencoba percaya bahwa semua hanya soal kesibukan.
Tapi di dalam hatinya, ia tahu — kota telah mengubah Arman.
III. Cinta yang Diuji oleh Waktu
Suatu hari, Arman kembali ke desa. Rambutnya lebih rapi, bajunya elegan, dan mobil hitam mengantarnya ke rumah orang tua Dira. Dira yang saat itu sedang menyapu halaman hampir tak percaya ketika melihat sosok itu keluar dari mobil.
“Dira…” panggilnya pelan.
Suaranya masih sama, tapi tatapan matanya sudah berbeda. Ada jarak, ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Malam itu mereka duduk di beranda, berbicara seperti dulu. Tapi setiap kalimat terasa canggung. Arman menceritakan hidupnya di kota, pekerjaannya, proyek-proyek besar yang ia jalani. Dira hanya tersenyum, mendengarkan. Ia sadar, dunia mereka kini tak lagi seimbang.
“Masih sering ke pohon jambu itu?” tanya Arman akhirnya.
Dira mengangguk. “Masih. Di sana rasanya semua hal bisa tenang.”
Arman terdiam. Ada sesuatu dalam suaranya yang menahan kata-kata lain — sesuatu yang ingin diucapkan tapi tak berani.
Esoknya, Arman pergi lagi, meninggalkan hanya debu jalan dan aroma bensin di udara. Dira berdiri di depan rumahnya, memandangi mobil itu hingga menghilang di tikungan.
Ia tahu, mungkin kali ini Arman tak akan kembali.
IV. Kehidupan yang Terus Berjalan
Waktu terus bergulir. Dira tetap mengajar, tetap tersenyum pada anak-anak, tapi hatinya sudah belajar untuk tidak berharap. Ia mulai menulis buku harian — tempat di mana ia menuangkan semua kenangan tentang Arman, semua hal yang tak sempat diucapkan.
Di sela kesibukannya, Dira sering membaca artikel dan cerita-cerita inspiratif di Gudang4D. Dari sana, ia menemukan banyak kisah serupa — cinta yang bertahan meski tak berujung, pertemuan yang menjadi kenangan abadi. Ia mulai mengerti bahwa cinta sejati tidak selalu berarti memiliki, tetapi menghargai apa yang pernah ada.
Dalam diam, ia berdamai dengan perasaan itu. Ia belajar mencintai dirinya sendiri, menemukan kedamaian tanpa menunggu siapa pun lagi.
V. Kabar dari Kota
Sepuluh tahun kemudian, berita datang dari kota. Arman telah menjadi arsitek terkenal. Namanya muncul di majalah, diwawancarai di televisi, dan disebut-sebut karena membangun banyak sekolah di daerah terpencil.
Salah satu sekolah yang ia bangun, ternyata berdiri di desa tempat Dira tinggal.
Hari peresmian itu ramai. Semua orang berkumpul di lapangan. Dira datang dengan perasaan campur aduk. Ketika Arman naik ke podium, matanya mencari ke arah kerumunan, lalu berhenti tepat pada Dira.
Tatapan mereka bertemu. Dalam sekejap, waktu seolah mundur. Semua kenangan — dari tawa masa kecil, janji di bawah pohon jambu, hingga perpisahan di beranda — kembali berputar di kepala mereka.
Setelah acara selesai, Arman menghampiri Dira. Mereka berdiri di bawah pohon yang sama, yang kini sudah jauh lebih besar dan rindang.
“Sekolah ini… untuk janji yang dulu,” kata Arman, suaranya pelan.
Dira menatapnya lama, lalu tersenyum. “Aku tahu. Aku selalu percaya kamu nggak lupa.”
Tidak ada pelukan, tidak ada air mata. Hanya dua orang yang mengerti bahwa cinta mereka telah berubah bentuk — dari keinginan untuk memiliki, menjadi rasa syukur karena pernah saling mencintai dengan tulus.
VI. Dalam Senja yang Sama
Sore itu, langit kembali jingga seperti dulu. Angin membawa aroma padi yang siap panen, dan suara anak-anak sekolah bergema di kejauhan. Dira berdiri di bawah pohon jambu, menatap senja yang kini terasa hangat, bukan menyakitkan.
Ia tahu, cintanya kepada Arman tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berpindah tempat — dari hatinya, ke dalam setiap kenangan yang ia simpan.
Baca Juga: Break Bones Hacksaw Gaming di Gudang4D, Misteri Buku Waktu di Gudang4D, Keanggunan Sang Ratu Malam di Gudang4D
Dan dalam keheningan senja itu, Dira tersenyum, karena akhirnya ia mengerti: cinta sejati bukan tentang menunggu seseorang kembali, melainkan tentang menepati janji dalam bentuk yang berbeda.
Sementara Arman, di sisi lain lapangan, menatap pemandangan yang sama. Di matanya, ada rasa damai — perasaan lega karena ia tahu, janji masa lalunya kini telah ia tepati.
Senja pun turun perlahan, menutup kisah dua hati yang saling mencintai dengan cara mereka sendiri.