“Surat yang Tak Pernah Kukirim” — Tentang Cinta yang Tidak Harus Pulang

Kepada kamu, yang pernah kusebut rumah,
Aku menulis surat ini bukan untuk meminta kamu kembali, tapi untuk mengingatkan diriku sendiri — bahwa cinta yang pernah tumbuh di antara kita tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya berubah bentuk, menjadi kenangan yang tenang, seperti debu matahari yang menari di sela jendela setiap pagi.

Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali kita berbicara. Waktu telah berjalan jauh, membawa kita pada jalan yang berbeda. Namun, setiap kali hujan turun, aku masih bisa mendengar gema langkahmu — langkah yang dulu sering menyamakan ritmenya dengan detak jantungku.


1. Tentang Pertemuan yang Tak Direncanakan

Kau ingat hari itu? Hari ketika kita bertemu di sebuah pameran seni kecil di Yogyakarta. Kau berdiri di depan lukisan yang menampilkan laut dan langit yang nyaris menyatu, seolah batas di antara keduanya sengaja dihapuskan oleh pelukisnya. Kau bilang, “Lukisan ini seperti cinta — kita tidak tahu di mana mulai dan di mana berakhir.”

Aku tersenyum waktu itu, tidak sadar bahwa kalimatmu akan menjadi nubuat bagi kisah kita sendiri.

Sejak saat itu, kita berbagi dunia. Kita menulis kisah di atas kertas-kertas waktu yang belum diwarnai luka. Kau suka memotret senja, aku suka menulis puisi. Setiap sore, kita bertemu di tepi kota, di sebuah warung kopi yang kemudian menjadi saksi diam dari semua percakapan yang tak pernah kita akui sepenuhnya.

Dan di sanalah, tanpa janji, tanpa kata “cinta”, kita mulai saling memiliki.


2. Ketika Waktu Mulai Menguji

Cinta tidak pernah datang tanpa ujian. Kita tahu itu. Tapi kita terlalu muda, terlalu yakin bahwa rasa cukup untuk membuat segalanya bertahan.
Kau mengejar mimpi di luar negeri. Aku tetap tinggal, menjaga rumah yang kau tinggalkan separuh jadi. Awalnya, kita masih saling menulis, masih saling mengirim foto, masih saling menertawakan jarak. Tapi kemudian pesan-pesan mulai jarang datang, suara di telepon terdengar makin asing, dan waktu mulai memisahkan bukan hanya raga, tapi juga hati.

Sampai akhirnya, kau tidak lagi membalas surat-suratku.
Dan aku berhenti menulis — bukan karena kehabisan kata, tapi karena sadar bahwa setiap kalimat yang kutulis sudah tidak punya tujuan.

Namun diam-diam, aku tetap menyimpan semua catatan itu di laci meja kerjaku, bersama beberapa tiket bioskop, potongan nota warung kopi, dan foto lama kita berdua yang mulai memudar.


3. Tentang Rindu yang Tidak Lagi Menyakitkan

Butuh waktu lama bagiku untuk mengerti bahwa rindu tidak harus selalu disembuhkan. Kadang, ia hanya perlu diterima.
Rindu, pada akhirnya, adalah bagian dari cinta itu sendiri — tanda bahwa pernah ada sesuatu yang nyata di antara dua hati.

Sekarang, ketika aku menulis artikel tentang “kenangan dan kehilangan” untuk pekerjaanku di Gudang4D, aku sering memikirkanmu.
Lucu, ya? Dunia mempertemukanku dengan pekerjaan yang terus memaksaku menulis tentang hal yang paling ingin kulupakan.

Setiap kalimat yang kuciptakan terasa seperti serpihan masa lalu yang kutata ulang agar tampak indah. Dan setiap kali tulisanku dipuji, aku tahu itu karena sebagian dariku masih hidup di dalam setiap kata tentangmu.


4. Tentang Cinta yang Tumbuh di Tengah Kehilangan

Beberapa orang bilang cinta sejati adalah ketika dua orang saling memiliki sampai akhir hayat.
Tapi aku tidak lagi percaya itu.

Cinta sejati, bagiku, adalah ketika dua orang tetap saling mendoakan meski sudah berjalan di jalan yang berbeda. Ketika mereka masih mampu tersenyum saat melihat orang yang dicintai bahagia dengan kehidupan baru. Ketika perasaan itu tidak berubah, meski bentuknya sudah berganti menjadi ketulusan.

Mungkin kau tidak tahu, tapi aku sering membaca ulang pesan terakhirmu.
Pesan yang singkat dan sederhana:

“Jangan tunggu aku. Jalani hidupmu seperti kau menulis puisi — dengan hati penuh, tanpa takut salah.”

Aku mematuhi pesan itu. Tapi di antara jeda kalimat, aku tahu kau sebenarnya juga takut kehilangan.

Dan aku pun menjalani hari demi hari tanpa menunggu, tapi tanpa benar-benar pergi juga.


5. Tentang Pertemuan yang Tak Terduga

Beberapa bulan lalu, aku melihatmu lagi.
Bukan sengaja — hanya kebetulan. Kau sedang berjalan di trotoar dengan seseorang di sisimu, wajahmu lebih dewasa, lebih tenang. Ada senyum yang sama, tapi bukan untukku.
Aku hanya menatapmu dari kejauhan, dan untuk pertama kalinya, aku tidak merasa sakit.

Aku tersenyum. Karena ternyata aku bisa bahagia tanpa harus memilikimu.
Dan dalam diam, aku mengucap doa yang dulu tak pernah sempat:
Semoga kau baik-baik saja, di mana pun kamu berada. Semoga cinta kita yang dulu tak selesai, kini menjelma jadi keberanian untuk mencintai orang lain dengan cara yang lebih baik.


6. Tentang Menutup Cerita dengan Hati yang Penuh

Kau tahu, ada hal lucu tentang cinta.
Ketika ia datang, ia membuat kita berani.
Ketika ia pergi, ia mengajari kita sabar.
Dan ketika ia menetap dalam kenangan, ia menjadikan kita manusia yang lebih dalam.

Aku menulis surat ini bukan untuk menghidupkan kembali masa lalu, tapi untuk mengucapkan terima kasih.
Terima kasih sudah pernah membuatku mencintai tanpa batas.
Terima kasih sudah menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu harus dimiliki.
Dan terima kasih sudah menjadi alasan mengapa aku masih percaya pada cinta, bahkan setelah kehilanganmu.


7. Tentang Aku, Kamu, dan Waktu yang Terus Berjalan

Sekarang aku hidup di kota yang berbeda, menulis untuk media yang terus tumbuh, dan belajar mencintai hidupku sendiri.
Kadang aku masih melihat langit sore dan berpikir: mungkin kau juga sedang melihat langit yang sama, di tempat yang jauh.
Dan meski kita tidak lagi saling sapa, aku tahu hati kita masih mengenal arah yang sama — menuju kedamaian yang pernah kita impikan.

Jika suatu hari kita bertemu lagi, aku harap bukan untuk mengulang, tapi untuk tersenyum dan berkata,

“Kita sudah sampai di tempat yang seharusnya.”


Akhir surat, tapi bukan akhir cerita.
Karena cinta sejati tidak membutuhkan panggilan balik, tidak menuntut penjelasan, dan tidak berakhir di antara kata “selamat tinggal”.
Ia hidup di dalam setiap kenangan yang kita rawat dengan ikhlas, di setiap tulisan yang lahir dari hati, dan di setiap doa yang kita kirim dalam diam.

Dengan cinta yang tenang,
Aku.


on November 01, 2025 by pecinta handal |