CERITA CINTA: YANG TETAP BERTAHAN DI ANTARA PERUBAHAN

Ada masa dalam hidup ketika segalanya terasa sederhana. Matahari terbit di timur, langit biru, dan hati percaya bahwa cinta, sekali datang, akan bertahan selamanya. Namun waktu tidak selalu berjalan dengan cara yang ramah. Ia bergerak selama kita sibuk dengan berbagai hal: pekerjaan, ambisi, rutinitas, atau sekadar rasa takut menghadapi kemungkinan kehilangan.

Kisah ini adalah tentang dua orang yang pernah saling memandang seperti dunia hanya milik berdua. Namanya Dira dan Lintang.

Mereka bertemu di sebuah pertemuan komunitas baca, bukan karena mereka sama-sama pencinta buku, tetapi karena keduanya kebetulan diajak teman. Dira tidak terlalu paham sastra, tetapi ia menyukai cara orang membicarakan hal-hal yang mereka sukai. Lintang, sebaliknya, selalu tenggelam dalam dunia kata, cerita, dan imajinasi.

Pertemuan itu sederhana. Tidak ada percikan yang langsung terasa. Tidak ada drama. Hanya percakapan ringan yang tidak direncanakan.

Namun setelah itu, mereka bertemu lagi. Dan lagi.

Sampai akhirnya kebiasaan menjadi kenyamanan.

Waktu berjalan dan mereka mulai menjalani hubungan. Tidak ada momen spektakuler yang menandai awalnya. Tidak ada pengakuan cinta yang megah. Semua terjadi seperti sungai yang mengalir ke laut, perlahan tetapi pasti.

Dira adalah orang yang hidup dengan logika. Ia merencanakan masa depan dengan rapi: pekerjaan, tabungan, rencana rumah kecil, bahkan tahun pernikahan. Lintang hidup dengan cara berbeda. Ia mengikuti apa yang dirasa benar saat itu. Hari ini ia bisa sangat yakin tentang sesuatu, besok ia bisa mempertanyakannya lagi.

Namun perbedaan itu, pada awalnya, saling melengkapi.

Dira mengajarkan Lintang untuk melihat dunia dengan lebih konkret. Lintang mengajarkan Dira bahwa hidup tidak harus selalu sesuai rencana untuk tetap berarti.

Mereka menjalani hari-hari bersama. Ada tawa. Ada diskusi panjang. Ada perjalanan kecil ke kota-kota yang jarang dikunjungi orang. Dira menyimpan semua foto perjalanan di ponselnya. Lintang menuliskan catatan-catatan kecil setiap pulang, disimpan dalam akun lama yang pernah ia pakai untuk menuliskan hal keseharian, yang dulu ia sebut gudang4d. Tidak ada alasan khusus mengapa namanya begitu. Hanya sebuah tempat untuk menyimpan memori.

Tapi cinta, seperti hal lain di dunia, tidak kebal terhadap waktu.

Seiring keduanya tumbuh, dunia di sekitar mereka pun ikut berubah.

Lintang mulai mengejar impiannya sebagai penulis. Ia menulis dengan penuh kesungguhan, tetapi jalan itu tidak mudah. Ada banyak penolakan, banyak ketidakpastian, dan malam-malam panjang penuh keraguan. Dira mendukung, sejauh ia bisa. Ia mendengarkan setiap keluhan, setiap kegagalan, setiap kebimbangan. Tetapi di hatinya, tumbuh rasa takut: bagaimana jika mimpi Lintang menjauhkan mereka?

Karena Dira, dengan segala kelogisannya, tidak pernah berhenti berpikir tentang masa depan.

Sementara itu, perhatian Lintang mulai terserap oleh perjuangannya sendiri. Ia mulai sibuk. Pertemuan-pertemuan kecil yang dulu terjadi tanpa direncanakan, mulai jarang. Percakapan hangat sebelum tidur berubah menjadi percakapan praktis: bagaimana hari ini, apa yang harus dikerjakan besok, apa yang masih perlu diperbaiki.

Bukan karena cinta mereka berkurang. Tetapi karena hidup menjadi lebih berat dari sebelumnya.

Suatu malam, setelah hari yang panjang, Lintang berkata, “Kadang aku merasa aku sedang mengejar sesuatu yang bahkan aku sendiri belum tahu pasti bentuknya. Dan aku takut gagal. Aku takut mengecewakanmu.”

Dira terdiam.

Di dalam hatinya ada jawaban yang ingin ia ucapkan: bahwa ia tidak peduli apakah Lintang berhasil atau tidak, karena ia mencintainya bukan karena pencapaian. Tapi kata-kata itu tidak keluar. Yang keluar justru kalimat lain:

“Kita sama-sama takut gagal. Tapi aku lebih takut kalau suatu hari kamu pergi karena mengejar sesuatu yang aku tidak bisa ikut di dalamnya.”

Percakapan itu menjadi titik yang tidak mereka sadari sebagai awal jarak.

Setelah itu, hal-hal kecil mulai terasa berbeda.

Lintang merasa Dira terlalu mengekang. Dira merasa Lintang terlalu jauh. Ketika mereka bertemu, obrolan mereka bukan lagi tentang berbagi rasa, melainkan pembenaran tentang siapa yang lebih terluka dan siapa yang kurang memahami.

Hubungan yang dulu terasa ringan, berubah menjadi sesuatu yang terasa berat.

Pada satu kesempatan, Dira mengajak bicara dengan lebih jujur dari sebelumnya.

“Kita dulu berjalan bersama karena kita saling menguatkan. Tapi sekarang seperti kita berjalan sambil menarik satu sama lain ke arah yang berbeda.”

Lintang menatapnya lama, seolah mencoba mencari jawaban di mata Dira.

“Aku masih mencintaimu,” kata Lintang pelan. “Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mencintaimu tanpa kehilangan diriku sendiri.”

Baca Juga: memahami promo gudang4d, letters i never sent you, fragmen yang tersisa

Dan di sana, kalimat itu bukan tentang tidak cinta. Justru sebaliknya. Itu tentang cinta yang tumbuh, berubah, dan butuh ruang untuk tetap hidup.

Mereka tidak berpisah dengan pertengkaran. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada pintu yang dibanting. Yang ada hanya pemahaman bahwa cinta pun memiliki fase. Bahwa mempertahankan bukan berarti harus selalu bersama di tempat yang sama.

Mereka berhenti sejenak. Memberi ruang. Bukan untuk melupakan, tetapi untuk kembali menemukan diri masing-masing.

Waktu berlalu. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi. Mungkin mereka akan bertemu lagi suatu hari nanti, di tempat yang tidak direncanakan, seperti awal pertemuan dulu. Mungkin cinta itu akan tumbuh kembali, dengan bentuk yang baru. Mungkin juga tidak.

Namun satu hal tetap benar:

Cinta tidak selalu selesai ketika dua orang tidak lagi berjalan berdampingan. Kadang cinta tetap tinggal, meski bentuknya berubah. Ia menjadi bagian dari siapa kita menjadi setelah semua perjalanan itu.

Dira dan Lintang pernah berjalan bersama. Itu cukup untuk membuat kisah mereka tetap hidup, meski tidak lagi saling genggam.

Karena beberapa cinta bukan untuk dimiliki selamanya. Tapi untuk diingat dan dipahami.


on November 10, 2025 by pecinta handal |